Junjung Tunjungan
Sebetulnya saya enggan menceritakan ini. Setelah Varna Culture Soerabaia selesai dibangun, hotel milik BUMD Provinsi Jawa itu membuka layanan cafe shop di teras depan. Di bawah balkon yang memang menjorok ke trotoar.
Kebetulan saya yang punya ide itu. Karena ingin Jalan Tunjungan Surabaya seperti di Champs-Elysees di Paris. Yang banyak restoran dan cafe memasang kursi di pedestriannya. Sehingga pelanggan bisa menikmati kopi sambil melihat lalu lalang orang di jalan.
Hotel itu pun sengaja dibangun untuk memancing keramaian Jalan Tunjungan. Jalan legendaris yang telah lama telantar. Padahal lagunya sangat terkenal. Yang digubah dan dinyanyikan almarhum Mus Mulyadi: Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan.
Bukan bangunan baru. Tapi merombak dalamnya gedung cagar budaya kelas C. Yang boleh dirombak bagian dalamnya. Tak boleh mengubah struktur dan fasad depannya. Gedung itu tercatat dibangun tahun 1930. Oleh orang Belanda.
Ternyata cafe dengan kursi di depan itu hanya berumur dua malam. Malam ketiga, serombongan Satpol PP Pemkot Surabaya mengobraknya. Dengan atraktif pula. Membawa pasukan dan truk untuk menyita kursinya.
“Ini perintah walikota,” kata komandannya.
Gagasan hidupkan Tunjungan sebagai tempat jalan-jalan di kota memang sudah lama. Sejak pemerintahan Walikota Bambang DH. Yang kebetulan saya membantu menjadi wakilnya. Nah, saat sudah tidak menjadi sesuatu, saya pun ingin berperan ikut meramaikannya.
Bangunan yang semula menjadi kantor itu saya rombak. Menjadikan di dalamnya sebagai hotel. Tidak besar. Hanya 56 kamar. Lantai bawah, menjadi coffee shop sekaligus resepsionis. Enak dipakai nongkrong alias cangkrukan. Sehabis mlaku-mlaku nang Tunjungan.
Kalau saja Walikotanya Eri Cahyadi, aksi mengobrak layanan hotel itu tak pernah terjadi. Sebab, dia kini sedang getol untuk menjadikan Romansa Tunjungan sebagai destinasi wisata. Dengan serius pula. Sampai menata dan menyediakan tempat-tempat parkir kendaraan.
‘’Kita siapkan di beberapa tempat. Termasuk kerjasama dengan hotel di jalan itu yang punya tempat parkir luas. Mereka ternyata juga antusias,’’ kata Eri saat berbincang santai di Black Canyon Jalan Ahmad Yani, beberapa waktu lalu.
Ketika Walikotanya Bu Risma, upaya junjung atau mengangkat kembali Tunjungan juga dilakukan. Ia membangun pedestrian dan tata lampu sepanjang jalan tersebut. Juga sempat beberapa kali menutup jalan tersebut untuk sebuah kegiatan.
Tapi program itu tak berkelanjutan. Sebab, digelar dengan berbasis anggaran pemerintah. Seperti biasanya, program seperti itu tak berketerusan. Berbeda dengan program yang berbasis partisipasi warga. Apalagi di sektor pariwisata.
Karena itu, mendorong swasta untuk ikut menghidupkan jalan tersebut menjadi lebih penting. Ketimbang memonopoli dengan kegiatan-kegiatan pemerintah. Yang biasanya hanya terselenggara ketika ada anggaran.
Lalu apa yang bisa dilakukan pemerintah selain menata parkir? Membuat kebijakan yang menstimuli warga untuk berkegiatan di tempat itu. Atau mengubah peruntukan bangunan di sepanjang jalan tersebut. Misalnya tidak boleh ada bengkel atau showroom mobil di sepanjang kawasan tersebut.
Kalau perlu memberi insentif kepada pengusaha yang ingin mendirikan cafe atau restoran di sepanjang Jalan Tunjungan. Misalnya dengan membebaskan pajak restoran selama 2 tahun. Juga mengundang beberapa brand coffee yang kuat untuk membuka usaha di jalan tersebut.
Selain itu, bisa dengan mengizinkan brand lokal untuk membuat permanen startup cafe di sepanjang jalan. Dengan titik-titik yang sudah ditentukan oleh pemerintah kota. Sehingga para pejalan kaki bisa membeli minuman atau makanan kecil dengan take away.
Belakangan, sisi selatan Jalan Tunjungan sudah tampak hidup. Bukan karena kegiatan pemerintah. Tapi karena ada cafe-cafe shop yang atraktif di depan Hotel Majapahit yang legen itu. Menjadi tempat nongkrong anak muda sekaligus obyek fotografi mereka yang ingin nampang.
Bahwa pemerintah kota ingin lebih meramaikan dengan berbagai kegiatan, itu tentu sangat membantu. Tapi sekali lagi, sebaiknya itu hanya pancingan. Selebihnya gerakkan warga untuk menghidupkan suasana. Pemerintah menjadi pengatur sekaligus mendistribusikan jadwal dan keramaian.
Menggerakkan warga Surabaya untuk berpartisipasi dalam setiap program pemerintah sangatlah gampang. Apalagi kalau program tersebut memberi manfaat kepada mereka. Apalagi kalau program itu makin membuat kotanya moncer dan menumbuhkan kebanggaan baru.
Setelah junjung Tunjungan berhasil, tampaknya yang perlu dilakukan kembali adalah memasarkan berbagai destinasi wisata kota ke luar. Menciptakan City Brand baru yang sesuai dengan mood era sekarang.
Ada banyak potensi yang bisa dikembangkan Surabaya. Mulai dengan wisata belanja, wisata kuliner, wisata kesehatan, sampai dengan wisata kota tua atau wisata sejarah. Semua itu sudah mulai digerakkan secara mandiri oleh warga. Yang akan semakin dahsyat jika pemerintah mendukungnya.
Saya jadi teringat dialog dengan para kepala dinas saat hendak membangun pariwisata kota satu setengah dekade yang lalu. Saat itu, becak masih banyak di Surabaya. Ketika hendak mengenalkan city brand dengan istilah asing, seorang kepala dinas langsung menyela: ‘’Itu tak dipahami tukang becak.’’
Saya pun dengan nada guyon menjawab, City Brand bukan ditujukan untuk tukang becak. Tapi untuk orang-orang di luar Surabaya. Dengan City Brand yang atraktif, mereka menjadi tertarik dengan kota kita. Lalu berdatangan di kota ini. Saat di sini, mereka naik becak dan menghidupi mereka.
Membangun pariwisata, pada dasarnya bukan sekadar menyediakan destinasi yang nyaman untuk dinikmati. Ia bisa memberikan dampak kepada ekonomi kota. Dengan makin banyak orang yang berdatangan dan membelanjakan duitnya, dengan sendirinya makin banyak uang yang beredar.
Pemerintah atau negara tinggal mengatur strategi bagaimana agar uang yang beredar menyentuh berbagai kalangan. Mulai dari pengusaha besar sampai dengan pengusaha kecil. Juga mereka yang bergerak di bidang industri jasa. Dari yang kakap sampai yang teri. Apa pun saja.
Destinasi wisata juga mempunyai makna sosial. Ia akan menjadi tempat interaksi warga. Pusat interaksi warga yang terbuka akan membangun kohesifitas sosial. Yang pada akhirnya akan menciptakan harmoni sebagai sumber dari keamanan kota.
Jadi, Junjung Tunjungan bukan hanya akan bermakna ekonomi. Tidak sekadar mengungkit pertumbuhan ekonomi kota. Tapi menyediakan ruang terbuka interaksi warga yang murah meriah. Memberi ruang alternatif bagi yang bosan atau tak mampu jalan-jalan di pusat perbelanjaan.
Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan pada akhirnya bukan hanya romansa. Tapi juga membangun kenyamanan kota. Bisa memakmurkan warga dengan gembira.
Advertisement