Ketika Surabaya Jadi Rumah Kedua Orang Papua
Surabaya sesungguhnya kota yang terbuka. Tak ada laku diskriminasi bagi warganya. Semua perbedaan -- etnis, agama dan perbedaan lainnya --tak menjadikan keharmonisan hidup di tengah masyarakat menjadi terganggu.
Beragam etnis pun hidup berdampingan sejak lama di Kota Pahlawan ini. Mulai dari Jawa, Madura, Batak, Banjar, Maluku hingga Papua, tetap bisa hidup secara damai. Mereka saling menghargai perbedaan.
Namun, ada sekelompok orang yang tak menginginkan ketenangan di Surabaya. Maka, ketika terjadi insiden yang kemudian menjadi pangkal persoalan atas peristiwa berkutnya di Papua, merupakan hal yang aneh.
Kenapa di Surabaya justru terjadi?
Salah seorang Papua yang dikenal publik Surabaya, Muhammad Fikser, angkat bicara. Ia dipercaya sebagai Juru Bicara Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.
"Saya ini dilahirkan dari rahim perempuan Papua. Kalau orang Papua 'monyet', berarti Mama saya 'monyet', saya anak monyet dong. Semua orang Papua monyet. Itu sangat salah yang mengatakan begitu," kata Fikser kepada ngopibareng.id di Balai Kota Surabaya, Senin 16 September 2019.
Bagi Fikser, selama ini, Surabaya sudah dianggap oleh orang Papua sebagai rumah kedua bagi mereka. Bagaimana tidak. Di Surabaya, seluruh orang keturunan apapun diterima dengan terbuka. Tidak ada saling merendahkan bahkan yang berkaitan dengan SARA.
"Surabaya ini egaliter masyarakatnya. Orang Papua sangat senang hidup di Surabaya. Dari mulai saya datang hingga saat ini, orang Papua sangat diterima. Sangat disayang oleh orang Surabaya," katanya.
Selain itu, dalam hal sepakbola, menurut Fikser, Persebaya Surabaya adalah cerminan dari egaliternya masyarakat Surabaya, khususnya kepada orang Papua.
Tak terhitung, sejak Persebaya berdiri, berkompetisi di Liga Indonesia, Perserikatan, ISL, IPL, hingga Liga 1 musim ini, sudah berapa banyak orang Papua yang berseragam bajul ijo.
Bahkan dalam tiga musim terakhir saja, terhitung ada sembilan pemain asal Papua dan Maluku yang memperkuat Persebaya Surabaya. Mulai dari sang kapten Ruben Sanadi, Osvaldo Haay, Elisna Basna, Feri Pahabol, Nelson Alom, Samuel Reimas, Fandry Imbiri, Nerius Alom, Ricky Kayame, dan 1 pemain kelahiran Maluku, Muhammad Alwi Slamat.
"Tiga musim terakhir saja sudah berapa? Bila diurut lagi dari awal, sudah berapa puluh orang Papua dan orang Timur di Persebaya," kata Fikser.
Bahkan, tak tanggun-tanggung, Fikser begitu yakin dengan kehadiran orang Papua mewarnai kemajemukan masyarakat Surabaya. "Orang Papua itu pintar-pintar, kuat-kuat dan cerdas," tuturnya. Bagi Fikser, itu semua didapatkan dari makanan bumi Cendrawasih.
"Itulah kenapa orang Papua hebat dalam segala hal. Kami ini makan dari tanah surga Papua. Apapun bisa dimakan di sana. Mau ikan tinggal berenang ke laut. Surga sekali. Tidak ada apa itu namanya pestisida atau apa," kelakarnya.
Bukan hanya itu, ia menceritakan bagaimana ia dulu diterima sangat baik di Surabaya, meskipun ia tak punya keluarga di Kota Pahlawan.
Ia menceritakan, saat pertama kali bertugas di Pemkot Surabaya menjadi salah satu staf di Kecamatan Sambikerep, ia diterima sangat baik oleh staf lama dan para warga sekitar. Bahkan, karena dianggap orang dari jauh, Fikser lebih dimanjakan oleh warga sekitar.
"Ya saya itu dibantu sekali. Kalau ada apa-apa ya ditolong begitu, jadi malah seperti dimanjakan. tidak ada namanya rasis atau bagaimana itu dulu," ujar Fikser sambil menggebu-gebu.
Bukan hanya itu, saat masih pelatihan PNS dan belum mendapat gaji, Fikser yang pernah bekerja sebagai buruh panggul barang di Pelabuhan Tanjung Perak, merasakan kehangatan warga Surabaya. Ia sering kali diajak makan bersama, atau diberi sesuatu barang oleh kawan-kawannya.
"Saya waktu belum dapat gaji PNS 'kan masih pelatihan 6 bulan itu, jadi buruh panggul di Perak. Cuma untuk sesuap nasi. Meski begitu, saya dan teman-teman Papua lainnya itu diterima dengan baik oleh orang Madura di Perak. Kadang juga diberi makan, atau barang apa gitu. Benar-benar hangat mereka," katanya dengan sedikit perlahan.
Ia bercerita, saat itu, kapal dari Papua hanya datang 2 kali dalam 1 bulan. Jadi mereka pada tanggal-tanggal itulah bisa mendapat uang lebih. Bahkan, dari hasil kuli panggul itu, Fikser dan beberapa kawan Papua harus menyisakan untuk dikirimkan keluarga mereka, di tanah Papua.
"Jadi teman saya ada yang kerja dan kuliah. Ya begitu, karena gaji sedikit. Mau tidak mau harus irit. Malah tetap harus sisakan untuk tabung untuk adik-adik di Papua sana. Karena Mama bukan orang berada, pernah jual pinang di pinggir jalan, sampai jual pisang goreng di sekolah-sekolah," lanjutnya.
Beberapa tahun setelah dilantik, akhirnya ia ditugaskan untuk menjadi Lurah di salah satu kelurahan di Surabaya. Menurutnya, bagi orang Surabaya, jabatan Lurah adalah hal yang biasa dan lumrah. Namun, bagi ibunda Fikser (dia memanggilnya, Mama - Red) di Papua, jabatan itu sangat berkelas dan dibanggakan.
"Saudara kalau datang ke Papua, tanya mama saya. 'Eh ko pu anak jadi Lurah ya di Surabaya? Hebat sekali jadi Lurah'. Mama saya selalu bangga. Sering menangis juga karena hal itu. Padahal di Surabaya, sudah biasa saja Lurah itu," ungkapnya Fikser.
Oleh karena itu, Fikser sangat sedih ketika ada orang-orang yang kurang bijak hingga menganggap rendah orang Papua. Bukan hanya itu, ia juga sedih ketika melihat mahasiswa asal Papua di Surabaya, tidak menggunakan kesempatan belajar dengan baik.
"Sedih sekali. Coba bayangkan, Mama Pace Papa di Papua sana jual makanan, pinang, buah, babi, jadi nelayan, agar kitorang di Surabaya bisa belajar. Malah ada yang tidak selesai, ada yang tidak kuliah. Kan sayang sekali," ungkapnya.
Menurut Fikser, Mama-mama Papua itu, tidak minta sesuatu yang lebih dari anaknya yang merantau ke Surabaya. Intinya, mereka ingin datang melihat anaknya lulus kuliah. Padahal, setelah lulus belum tentu dapat kerja. Tapi wisuda itu juga sebuah kebanggaan bagi mama-mama Papua.
"Kitorang punya mama itu pingin lihat kitorang Wisuda toh. Itu saja sudah bangga. Padahal belum tentu dapat kerja. Tapi hal sesimpel itu saja sudah bangga," kata Fikser diselingi dengan nada khas Papua.
Maka dari itu, Fikser berpesan kepada para mahasiswa Papua di Surabaya agar bisa segera menyelesaian kuliahnya. Sehingga, mimpi para Mama di Papua bisa terwujud melihat anaknya wisuda.
"Ayo kuliahnya adik-adik dilanjut lagi. Kamorang di Surabaya dikirim untuk sekolah. Selesaikan ya, pikirkan bagaimana Mama kamorang di Papua sana," katanya.
Selain itu, Fikser ingin para mahasiswa Papua ini tidak menyia-nyiakan sayangnya Surabaya kepada orang Papua. Jangan sampai, Surabaya yang sudah dianggap sebagai rumah kedua bagi orang Papua, akhirnya menjadi neraka bagi mereka.
"Sekolah yang benar, bertindak yang benar, harus tau unggah-ungguh. Dimana bumi dipijak, di situ langgit dijunjung 'kan. Surabaya sudah jadi rumah kedua bagi Papua, jangan sampai berubah," pungkasnya.
Advertisement