Jubir Presiden
Oleh: Andi Mallarangeng
Juru mudi tugasnya mengemudi. Juru tulis, menulis. Juru bayar, membayar. Juru bicara, mestinya ya bicara. Kalau tidak, lalu untuk apa ada atribut di belakang kata "juru" itu.
Presiden Soekarno tidak punya Jubir langsung, tetapi ada Jubir Usman, Juru Bicara Urusan Manifesto Politik. Presiden Soeharto pun tidak punya Jubir langsung, tetapi Mensesneg Moerdiono boleh dikata menjalankan peran sebagai Jubir Presiden. Presiden Habibie juga tidak mengangkat seorang Jubir, lalu beberapa Menteri bergantian melakukan fungsi Jubir.
Jubir resmi Presiden dimulai pada masa Presiden Gus Dur. Tidak tanggung-tanggung, ada 4 Jubir yang diangkat sekaligus. Keempat Jubir itu bergantian melakukan tugasnya setiap hari.
Presiden Megawati kembali tidak mengangkat Jubir. Seperti era Presiden Habibie, beberapa menteri yang melakoni fungsi Jubir secara tidak resmi.
Pada era Presiden SBY, ada dua Jubir yang ditunjuk. Dino Patti Djalal untuk urusan luar negeri, dan saya sendiri untuk urusan dalam negeri. Karena pembagiannya adalah per bidang, maka kedua Jubir bertugas setiap hari. Pada masa Jabatan kedua Presiden SBY pun posisi dan pembagian tugas kedua Jubir pun tetap sama walau orangnya berganti.
Yang terakhir Presiden Jokowi, mengangkat seorang Jubir. Tentu maksudnya adalah agar masyarakat bisa mengetahui pikiran, pandangan, atau tanggapan Presiden tentang berbagai isu yang perlu diketahui oleh masyarakat. Karena Presiden adalah pemimpin tertinggi pemerintahan, sekaligus Kepala Negara.
Seringkali ada berita yang simpang siur atau beberapa pejabat pemerintahan berdebat di publik tentang kebijakan pemerintahan, atau ada pesan yang ingin disampaikan presiden agar masyarakat tahu, Jubir mewakili Presiden menyampaikan pandangan, sikap dan pikiran Presiden.
Setiap kali Presiden menerima tamu, lalu ada konperensi pers sesudahnya, Jubir mewakili Presiden agar apa yang disampaikan oleh tamu Presiden tentang pandangan dan pesan Presiden tidak berbeda dengan yang benar-benar dikatakan oleh Presiden dalam pertemuan itu.
Masyarakat perlu tahu apa pikiran, pandangan, bahkan arah kebijakan Presiden. Kalau tidak, masyarakat akan bingung, lalu mengambil kesimpulan sendiri2, tergantung arah angin. Hal seperti itu akan merugikan Presiden sendiri, seakan-akan situasinya "leaderless."
Itulah sebabnya mengapa fungsi Jubir Presiden menjadi penting. Memang, bisa saja beberapa menteri menjalankan peran sebagai Jubir, tetapi dalam pengalaman saya, menjadi Jubir boleh dikata adalah pekerjaan 24 jam sehari. Dalam menjalankan tugasnya, Jubir "melekat" dengan Presiden. Di manapun Presiden berada, kapan pun, Jubir ada di situ.
Jubir harus punya akses setiap saat kepada Presiden, sehingga ia bisa mengerti apa pikiran, pandangan, dan sikap Presiden tentang berbagai isu. Bahkan Jubir harus tahu suasana kebatinan Presiden. Jubir Presiden tak boleh salah, karena kesalahan bisa berakibat fatal. Karena itu, Jubir memerlukan trust yang penuh dari Presiden.
Saya tidak tahu bagaimana seorang menteri (atau pejabat setingkat menteri) bisa menjalankan tugasnya sesuai bidangnya dan sekaligus menjadi Jubir yang melekat dalam pemerintahan modern sekarang ini. Namun, itu tentu saja adalah prerogatif masing-masing Presiden.
Tetapi kalau memang ada Jubir, lalu tidak bisa bicara mewakili Presiden, maka apa kata dunia?
* Andi Mallarangeng, doktor bidang ilmu politik lulusan Northern Illinois University, mantan Jubir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2005-2010).