Jualan Kota Tua
Rasanya Semarang bisa disebut kota yang paling berhasil merenovasi Kota Tua. Juga paling berhasil menjual kota tua sebagai destinasi wisata andalannya. Meski beberapa kali masih diterjang banjir rob, tak mengurangi minat wisatawan untuk tetap mengunjunginya.
Beberapa kali saya datang ke kawasan Kota Tua Semarang, tetap saja melihat keramaian. Baik di hari kerja maupun di hari-hari liburan. Banyak keluarga berdatangan menikmati bangunan-bangunan heritage yang telah dibangun ulang dengan tetap mempertahankan kekunoannya.
Pekan lalu, saya kembali datang ke Kota Tua di Ibukota Propinsi Jawa Tengah itu. Menghadiri undangan Butet Kertarejasa yang menggelar pameran lukisan di Galeri Semarang. Galeri milik arsitek kenamaan Chris Dharmawan. Dialah yang melakukan konservasi bangunan kuno itu dan menjadikannya sebagai Contemporary Art Gallery.
Pameran lukisan dengan titel Seni Agawe Santosa itu menampilkan karya-karya perupa dari Jogjakarta. Mulai dari Joko Pekik, Kartika Afandi, Nasirun, Putu Sutawijaya, Butet Kertarejasa, Jumadi Alfi, Ong Hari Wahyu, Lucia Hartini dan Bambang Heras. Ada juga perupa anyaran seperti Agus Noor dan masih banyak lagi. Total ada 45 perupa, termasuk lukisan karya kiai seniman KH A. Mustofa Bisri.
Jadilah, pembukaan pameran lukisan yang akan berlangsung selama dua bulan itu menjadi ajang reuni. ‘’Ini menjadi semacam ajang reuni. Ketemu teman-teman lama. Bertemu seniman-seniman yang sudah familiar. Di sini dipamerkan karya-karya senirupa khas Jogja. Saatnya, karya khas Jogja ini diperkenalkan ke daerah lain,’’ kata kolektor seni asal Magelang dr Oei Hong Djien saat diminta membuka acara.
Galeri Semarang merupakan bangunan tua. Terdiri dari dua lantai. Dulunya merupakan tempat beribadah umat Katolik sekaligus tempat tinggal Pastur L Prinsen. Dibangun 1882. Nah, pada tahun 1918, bangunan itu diruntuhkan dan dibangun lagi dengan gaya Spanish Colonial. Tahun 1933, gedung ini menjadi kantor Oei Tiong Ham Concern, pemilik De Indiche Lloyd, perusahaan asuransi pertama di Indonesia.
Sebelum diambil alih Chris Dharmawan, gedung ini pernah menjadi pabrik sirup. ‘’Saya ambil alih bangunan ini dari bank,’’ kata Chris yang juga dikenal sebagai kolektor lukisan ini. Ia melakukan konservasi di tahun 2007 dan selesai tahun 2008. Sejak saat itulah, ia fungsikan gedung tua yang megah ini menjadi galeri dengan nama Galeri Semarang.
Memasuki gedung ini, saya teringat salah satu galeri seni di Praha yang bulan lalu saya kunjungi. Lokasinya di pusat kota tua. Di Old Town Square atau alun-alun Kota Praha. Di dekat Prague Astronomical Clock, jam astronomi tertua di dunia yang masih berfungsi. Bangunan dan jam astronomi yang sudah ada sejak tahun 1410.
Di seberangnya jam astronomi itu ada bangunan tua yang berjajar dengan bangunan tua lainnya. Terdiri atas 4 lantai. Bangunan itu menjadi museum dan galeri tiga perupa kenamaan di Eropa dan Amerika: Salvador Dali, Alfons Mucha, dan Andy Warhol. Masing-masing karya perupa itu menempati satu lantai bangunan kuno tersebut.
Galeri dan museum ini memang tidak sebesar Museum Vincent Van Gogh, Rijks Museum dan Stedelijk Museum di Amsterdam. Juga tidak sebesar Museum Louvre maupun Musee d’Orsay di Paris. Namun, museum di Praha ini tidak kalah menarik justru karena menempati bangunan kuno yang ditata dengan apik. Untuk masuk ke semua museum yang ada di Eropa itu sudah berbayar.
Tentu kita belum saatnya membandingkan galeri maupun museum di negeri kita dengan Eropa. Namun, menjadikan museum dan galeri sebagai destinasi wisata di Indonesia bukan lagi sebuah angan-angan. Minat publik terhadap karya seni dan museum sudah mulai tumbuh. Misalnya, Artjog di Jogja dan Distrik Seni di Sarinah Jakarta sudah menjadi destinasi langganan meski harus berbayar.
Rumusnya sederhana. Semakin masyarakat sejahtera, kebutuhan akan wisata hati akan semakin besar pula. Perhatian terhadap seni akan makin tumbuh ketika urusan perut sudah selesai. Ini hukum alam. Ini naluriah manusia. Bahkan, tidak hanya berlaku untuk masyarakat sekuler. Masyarakat yang agamis seperti Arab Saudi pun mulai memperhatikan dunia seni lewat Islamic Art Bennale yang keren.
Apalagi menjadikan galeri dan museum sebagai bagian dari jualan kota tua untuk destinasi wisata. Menurut saya, Semarang telah berhasil menyulap kota tua sebagai destinasi baru. Bahkan, lebih berhasil dibanding dengan kota tua di Jakarta. Jika dulu wisatawan domestik hanya menjadikan Lawang Sewu sebagai tujuan, kini Kota Tua menjadi destinasi yang tak boleh ketinggalan.
Saya merasakan masuk ke Galeri Semarang sudah seperti mengunjungi Pameran Salvador Deli dan Warhol di Praha. Gedung tuanya dan suasana kota tua di sekitarnya. Yang membedakan hanya alun-alunnya. Tapi nuansa tuanya sangat terasa. Apalagi kelak dilengkapi dengan toko gift dan suvenir, selain coffee shop dan restoran yang sudah ada.
Bagaimana dengan Surabaya? Kayaknya masih harus mengejar ketertinggalan dari Semarang dan Jakarta soal ini. Modal dasar untuk mengkonservasi kota tua sudah ada. Sebab, kota ini juga memiliki warisan bangunan pemerintahan kolonial Belanda yang banyak. Bahkan, kota ini dulu dibangun untuk menjadi kota perdagangan di zaman Hindia Belanda.
Secara historis, Surabaya seharusnya lebih kuat dibandingkan dengan Semarang. Karena kota ini dulu menjadi pusat perdagangan di luar Batavia. Bahkan, dealer Mercedes Benz pertama bukan di Batavia melainkan di Surabaya. Ini menggambarkan bahwa sebagai kota perdagangan, kota ini lebih digdaya dibandingkan Jakarta.
Hanya saja, sejak pemerintahan Orde Baru, semua sumberdaya perdagangan dipusatkan di Jakarta. Sehingga kekuatan ekonomi Surabaya semuanya menjadi tersedot ke pusat. Jika sekarang orang menempatkan Surabaya sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta, itu masih jauh dari fakta. Sebab, PDRB (Product Domestic Regional Bruto) kota ini sangat jauh dibandingkan dengan Jakarta saat ini.
Fungsi Surabaya sebagai hub antara Indonesia Barat dan Timur mulai tergeser oleh kota-kota lain. Misalnya, Makasar dan Balikpapan yang tumbuh dengan cepatnya. Apalagi kelak jika Ibukota Nusantara (IKN) sudah selesai dibangun di Kalimantan. Karena itu, rasanya sudah mulai dipikirkan membangun ikon baru Surabaya agar tidak tergeser oleh kota-kota lainnya.
Konservasi Kota Tua Surabaya merupakan jalan baru untuk tetap menjadikan Surabaya sebagai kota penting di Jawa dan Indonesia Timur. Sebagai penanda tentang kebesaran kota Surabaya di masa lalu. Sebagai bagian dari pentingnya kota ini dalam perjalanan sejarah Indonesia. Perlu masterplan baru untuk menjaga nama besar Surabaya sebagai bagian sejarah Indonesia.
Lalu bagaimana bisa menuju ke sana? Rasanya perlu prioritas untuk menyusun masterplan konservasi kota tua Surabaya. Yang tidak hanya sekadar konservasi untuk destinasi wisata. Tapi juga menggambarkan arti penting kota ini dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Tidak sekadar mennghidupkan kota tua, tapi juga museum hidup sejarah perjuangan bangsa.
Kita telah berhasil menghidupkan kembali Jalan Tunjungan sebagai ikon destinasi baruu Surabaya. Dengan menjadikan citywalk bernuansa sejarah. Jalan Tunjungan yang sempat mati suri lama, kini telah hidup kembali. Menjadi pilihan lahin dari jalan-jalan di mall yang sejak lama menjadi andalan Surabaya.
Pemerintah bisa memeloporinya dengan membangun sarana-prasarana. Misalnya dengan membangun dan mengkonservasi jalan-jalannya. Dengan jalan batu sehingga mengesankan ketuannya. Lantas menginstruksikan kepada pemilik gedung tua di kota tua untuk merenovasi miliknya. Sesuai dengan desain dan masterplan yang telah ditentukan.
Masak kota tidak bisa jualan kota tua kita? Masak kita kalah dengan Semarang dan Jakarta? Saatnya rebranding kota dengan memanfaatkan kekayaan sejarah yang kita punya. (Arif Afandi)
Advertisement