Jokowi Way
Jika ada presiden sampai jelang akhir masa jabatannya masih mencatatkan tingkat kepuasan publik yang tinggi, itulah Presiden Joko Widodo. Terakhir, survei LSI dan SMRC menembus angka 82 persen dan 81,7 persen. Inilah presiden pertama yang membangun karir politiknya dari bawah sebagai kepala daerah: walikota dan gubernur.
Presiden Sukarno menjadi presiden karena proklamator kemerdekaan RI. Presiden Soeharto mengambil alih kepemimpinan dari Bung Karno melalui proses politik. Presiden KH Abdurrahman Wahid melalui pemilihan di MPR RI. Demikian juga Presiden Megawati Soekarnoputri. Presiden Habibie melalui peralihan yang dipicu gerakan reformasi politik.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lewat pemilihan presiden secara langsung. Proses terpilihnya Jokowi sama dengan Presiden SBY. Yang membedakan, Presiden SBY dan presiden sebelumnya tidak melalui tahapan dari kepemimpinan daerah. Semuanya adalah politisi yang sudah sejak awal tumbuh di pusat pemerintahan. Tak pernah bergulat dengan pemerintahan daerah.
Reformasi politik dan desentralisasi pemerintahan memberikan ruang bagi para kepala daerah untuk membangun karir politik sampai ke puncak kepemimpinan nasional. Pemilu langsung membuka pandora lapis kepemimpinan baru di Indonesia. Otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah menjadi sumber kepemimpinan baru di tingkat nasional.
JALUR POLITIK BARU
Presiden Jokowi membuka jalan baru bagi lahirnya seorang pemimpin nasional. Jalur baru karir politik di luar yang terbiasa selama hampir 8 dekade Indonesia merdeka. Perjalanan politik Jokowi bisa menjadi model baru bagi anak bangsa untuk menuju istana. Di jagad politik atau kepemimpinan nasional, ia telah melahirkan pola baru: sebut saja Jokowi Way.
Menurut saya, jalan politik seperti Jokowi ini lebih masuk akal di Indonesia. Jika pengalaman memimpin dianggap mempengaruhi orang dalam gaya dan orientasi kepemimpinan, maka presiden yang berangkat dari daerah akan lebih memahami kebutuhan rakyat Indonesia yang besar dan beragam. Dia lebih paham kepentingan daerah ketimbang mereka yang karirnya hanya berkutat di Pusat. Terlalu besar Indonesia jika hanya dipahami oleh dan dari Jakarta.
Kepuasan publik terhadap kepemimpinan presiden kini meneguhkan bahwa Jokowi Way bisa menjadi rujukan bangsa Indonesia dalam memilih presiden baru. Peta jalan karir politik seseorang yang tak hanya dibentuk oleh partai politik. Namun juga digembleng langsung oleh rakyat melalui tahapan kepemimpinan di daerah. Jalan baru yang menempa pemimpin tidak hanya matang dalam kompetensi politik, tapi juga menguasai kompetensi teknokratis.
Bagaimana bisa demikian? Pengalaman memimpin daerah pasti membentuk cara pandang dan gaya kepemimpinan seseorang. Kepala daerah –walikota, bupati, dan gubernur– adalah pemimpin yang berhadapan langsung dengan warganya. Kebijakan baik akan langsung dirasakan, kebijakan jelek demikian juga. Apalagi, sesuai dengan kewenangan, kepala daerah berurusan dengan pelayanan dasar: layanan administrasi, pendidikan dan kesehatan.
Kebiasaan melayani dan mendengar aspirasi rakyat secara langsung lebih mungkin muncul dari pemimpin yang pernah menjadi kepala daerah. Kebiasaan blusukan Presiden Jokowi bisa jadi terbentuk dari pengalamannya ini. Gaya blusukan, bukan semata-mata sebagai ekspresi populisme politiknya, tapi juga menjadi alat dia untuk memonitor pelaksanaan program pembangunan di lapangan. Ia bisa blusukan dengan luwes karena sudah terbiasa.
Bayangkan blusukan itu dilakukan pemimpin yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan rakyat. Selain akan mempunyai kesan pencitraan yang kuat, justru bisa menimbulkan persepsi yang tak positif karena bukan kebiasaan sebelumnya. Kebiasaan menyapa warga dengan ramah dan kesan kedekatan bukan sesuatu yang bisa dicipta secara instan. Kebiasaan ini akan menghasilkan persepsi positif jika dilakukan secara alami dan tulus.
Selama dua periode, Presiden Jokowi tampak berusaha untuk mengukuhkan diri sebagai presiden yang populis dan pro rakyat. Bukan presiden yang elitis. Bahkan, untuk itu ia cerminkan dalam berbusana: baju putih dengan sepatu sneakers. Identifikasi diri sebagai presiden dari rakyat biasa di awal periode, secara konsisten ia implementasikan sampai sekarang.
Yang menarik adalah keteguhannya terhadap strategi dan gaya dalam membangun lompatan Indonesia melalui infrastuktur. Ia begitu yakin bahwa tidak mungkin mengungkit perekonomian daerah tanpa infrastruktur jalan, transportasi publik dan logistik yang memadai. Ia genjot sektor ini sambil meningkatkan berbagai inovasi di bidang pelayanan masyarakat.
Ia menjadikan hal ini sebagai prioritas –dengan tidak banyak kata– sebelum merambah ke sektor lain. Penambahan ribuan kilometer jalan tol, jalan arteri, bandara, pelabuhan dan bendungan akan menjadi legacy untuk menandai era Jokowi Way. Penguasaan sumberdaya alam dan hilirisasi industri tambang akan ikut memperkokohnya.
Skala prioritas pembangunan dalam negeri ini sempat membuat ia seperti tertinggal dalam politik luar negeri. Ternyata, itu bagian dari strategi. Jokowi tak terpengaruh untuk membangun citra politiknya di luar negeri sebelum persoalan dalam negeri selesai. ‘’Kita akan dihargai di luar negeri kalau pembangunan di dalam negeri kita berhasil,’’ katanya seperti ditirukan Mensesneg Pratikno di periode pertama lalu.
Seperti diketahui, di periode pertama pemerintahannya, Jokowi sangat jarang memenuhi undangan seremonial di luar negeri. Berbagai acara seperti di PBB lebih banyak didelegasikan kepada wakil presiden maupun menteri luar negeri. Sikap itulah yang melahirkan kritik keras dari sejumlah penentangnya. Bahkan ada yang menghubungkan kenggenannya itu dengan kemampuan presiden dalam berbahasa asing.
Tapi dia bergeming. Baru setelah berhasil mencatatkan keberhasilan dalam pembangunan infrastruktur, sukses mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi meski digelontor pandemi Covid, dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, ia mulai tampil percaya diri di dunia internasional. Periode kedua adalah pembuktian akan strategi pembangunannya: dari pinggiran untuk Indonesia baru, lalu merambah dunia.
Tak tanggung-tanggung. Gerak mengglobalnya telah menjadikan dia tokoh penting dunia melalui presidensi G20 dan sukses menjadi penyelenggara KTT kelompok negara yang masuk dalam 19 perekonomian besar dunia tersebut. Sukses itu diikuti dengan kepemimpinan Indonesia untuk negara-negara ASEAN. Lompatan diplomasi luar negerinya menambah daftar panjang elemen Jokowi Way.
Gaya sederhana dan ramah tak mungkin bisa dilakukan pemimpin yang mempunyai latar belakang nyaman sejak lahir. Bisa saja gaya dan keramahannya dianggap para penentangnya sebagai strategi populisme untuk kepentingan politik semata. Tapi, jika itu hanya sebagai pencitraan akan susah untuk dilakukan seseorang untuk jangka yang sangat panjang. Tapi Jokowi bisa melakukan itu secara konsisten selama hampir satu dekade kepemimpinannya.
Ia tetap terus berbicara dan berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Ia terus berusaha untuk menjadi dekat dengan rakyat, mengunjungi daerah-daerah terpencil, dan mendengarkan masalah yang dihadapi warganya. Bahkan, ia melakukan hal itu semua kepada masyarakat yang ketika pemilihan tidak mendukungnya.
Jargon kerja, kerja dan kerja di awal kepemimpinannya diwujudkannnya dalam keseharian sampai sekarang. Ia berusaha keras mewujudkan target pembangunan yang telah dia tetapkan. Latar belakangnya sebagai pengusaha yang berjuang dari bawah menjadikan dia memiliki visi besar. Juga berkomitmen melaksanakan program-program pembangunan dengan cepat dan efisien.
Saya pernah mendapat cerita dari Mensesneg Pratikno tentang ketidaksukaan Presiden akan usulan atau proposal yang bertele-tele. Ia lebih suka diskripsi singkat tapi jelas agendanya. Juga jelas output dan outcomenya. Ini sejalan dengan prinsip umum dalam dunia bisnis: Perencanaan yang baik tak ada artinya tanpa eksekusi dan eksekusi. Latar belakang Jokowi sebagai pengusaha memungkinan ia terbiasa cepat mengambil keputusan dan eksekusi.
Inovasi digital menjadi Jokowi Way lainnya. Ia sangat percaya bahwa teknologi digital sebagai jalan bagi transformasi ekonomi di Indonesia. Digitalisasi sebagai industri maupun teknologi digital sebagai instrumen untuk layanan pemerintah dalam meningkatkan efisiensi dan konektifitas. Dalam berbagai kesempatan ia mempromosikan inovasi digital sebagai jalan untuk melompat menuju kemajuan.
BANCHMARK BARU
Masih banyak gaya, agenda dan pendekatan presiden yang bisa dicatat sebagai elemen kunci Jokowi Way. Yang sudah pasti, kinerja faktual dari Jokowi Way ini telah mamatok banchmark tinggi akan standar kepemimpinan nasional di kemudian hari. Pencapaian dan kemajuan Indonesia melalui Jokowi Way jelas akan menjadi tolok ukur kinerja presiden yang akan menjadi penggantinya.
Tentu ada celah untuk melengkapi Jokowi Way ini dengan pendekatan dan gaya kepemimpinan nasional berikutnya. Namun, Jokowi Way telah berhasil membangun fundamen lompatan kemajuan bangsa Indonesia yang akan berusia seabad 2045 mendatang. Karena itu, presiden berikutnya tidak perlu menafikan atau bahkan menjadi antitesis Jokowi Way. Yang diperlukan sosok kepemimpinan yang bisa meneruskan Jokowi Way plus menyempurnakannya.
Diperlukan sosok yang memiliki sensitifitas terhadap kebutuhan daerah dan rakyat, kemampuan menyerap aspirasi dan terbiasa bergaul dengan warga, serta kemampuan mengisi sektor kemajuan bangsa yang belum tersentuh secara optimal dalam dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi. Ini tidak mungkin diisi pasangan presiden dan wakil presiden yang biasa-biasa saja.
Lalu siapa? Rasanya, Presiden Jokowi pasti lebih tahu siapa sosok calon penerusnya yang paling tepat.