Jokowi Vs Prabowo, El Clasico?
Dunia sepak bola Spanyol memberi nama khusus, El Clasico, setiap kali kesebelasan Real Madrid berjumpa tanding dengan FC Barcelona. Bisa jadi nama ini diberikan karena kedua kesebelasan merupakan musuh bebuyutan dalam beberapa dekade ini. Antara FC Barcelona dan Real Madrid selalu berebut posisi nomor satu dalam setiap musim kompetisi di liga sepak bola Spanyol. Keduanya merupakan team terbaik dan paling sexy di mata fans sepak bola Spanyol, bahkan dunia.
Setiap kali mereka saling berhadapan, penggemar sepak bola di seluruh dunia selalu memperbincangkan kehebatan masing-masing bintang dari kedua kesebelasan: Messi dan Ronaldo. Masing-masing memiliki kelebihan dan keunggulan teknis bermain yang selalu mengundang decak kagum penggemar sepak bola setiap kali mereka tampil di lapangan hijau.
Ronaldo yang berpenampilan glamour bak seorang seleb memiliki penggemar tersendiri. Terutama kaum hawa yang tertarik akan penampilan sang bintang yang konon dinilai selalu tampil sexy dengan bentuk tubuh yang sangat ideal sebagai seorang olahragawan. Sementara Messi yang bertubuh tidak terlalu tinggi digemari para pecintanya karena penampilannya yang hangat, sederhana, berwajah imut, bersahabat, dan damai.
Walaupun mata dan hati publik selalu tertuju dan terfokus pada nama dua bintang ini, kemenangan kesebelasan masing-masing tidak sepenuhnya ditentukan oleh mereka berdua semata. Pemain pendamping yang diturunkan oleh sang manajer cukup menentukan kemenangan yang diraih. Begitu pun peran manajer di belakang kesebelasan. Terkadang justru faktor manajer yang berpengaruh luar biasa dalam menentukan kemenangan masing-masing kesebelasan.
Terminologi El Clasico ini coba saya pinjam sebentar untuk menyoroti kemungkinan adu tanding ulang antara Jokowi vs Prabowo pada perhelatan Pilpres 2019. Sudah tentu tidak berbanding lurus atau sama dan sebangun, tapi nuansanya sepertinya mirip dan menarik untuk diudar. Bila Prabowo jadi maju dan memenangkan cukup dukungan, maka Prabowo bin ‘Ronaldo’ akan bertemu lagi dengan Jokowi bin ‘Messi’. Sama-sama punya pendukung dengan gaya dan penampilan yang saling berbeda pula. Untuk sementara skor 1-0 untuk Jokowi. Pertanyaannya; bisa dan mungkinkah skor berubah menjadi seri, 1-1?
Nah di sini bedanya. Kalau dalam dunia sepak bola dikenal istilah: bola itu bundar. Segala sesuatu bisa terjadi di lapangan. Yang diprediksi akan keluar sebagai juara ternyata digilas habis saat berlaga di lapangan hijau. Situasi dan kondisi lapangan, kondisi para pemain dan manajer, sangat mempengaruhi hasil akhir. Sementara dalam perhelatan Pemilu-Pilpres, mengantisipasi hasil akhir lebih pasti untuk diperkirakan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Apalagi ketika dua kubu pernah saling berhadapan.
Agaknya, pergeseran pendukung dari masing-masing kubu tidak akan banyak berubah sekalipun banyak wajah baru di dalam komunitas pemilih. Pengaruh para pendahulu dalam menentukan pilihan bagi para pendatang baru masih cukup kuat. Terutama ketika pendidikan politik tidak berjalan dengan baik. Tawaran dari kedua tokoh pun sudah dapat dengan mudah terbaca; miskin terobosan!
Para pendukung dan pemain di lingkaran satu para calon Presiden pun sudah terbaca dengan jelas. Sehingga menghitung kekuatan masing-masing kubu menjadi lebih mudah. Akibatnya, ‘El Clasico’ Pilpres 2019 pun menjadi kurang menarik, karena hasilnya sudah cukup jelas untuk dibaca. Apalagi bila di kubu ‘Ronaldo’ para pendukung inti yang ada di lingkaran satu, orangnya ya hanya itu-itu lagi.
Pertandingan akan menarik bila salah satu kubu mengganti bintang pemainnya. Seperti misalnya, Prabowo bin ‘Ronaldo’ yang akan tampil untuk ketiga kalinya lebih memilih duduk di bangku manajer meng-conduct jalannya pertandingan bagi ‘kesebelasan’nya. Taruhlah Gatot Nurmantyo, misalnya, yang ditampilkan. Hitungan di kalkulator politik bisa jadi menyuguhkan angka yang masih tersembunyikan oleh waktu. Figur yang segar akan mendongkrak histeria massa pendukung yang akan secara fanatik memberikan dukungan secara all out. Semata-mata karena figur baru selalu berkecenderungan memberi harapan baru.
Apalagi figur baru ini didampingi oleh pasangan yang memiliki basis massa pendukung yang terukur dan teruji. Sementara di sisi lain, Jokowi menaruh pendamping yang kurang menguntungkan.
Bila demikian halnya, berbagai kemungkinan bisa terjadi, walau dari para pendukung di lingkaran satu Jokowi ada yang berkeyakinan, Jokowi disandingkan dengan tiang listrik pun akan tetap menang. Dalam kaitan ini, saya tidak sependapat. Over keyakinan di kubu petahana yang berlebih, justru menjadi kelemahan utama yang saya lihat!
*) Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com
Advertisement