Jokowi Tidak Boleh Kalah, Sontoloyo
Seperti orang yang tidur berselimutkan kain sarung yang kependekan. Bila terlalu ditarik ke atas, bagian tubuh bawah akan kedinginan. Sementara bila ditarik ke bawah, bagian atas tubuh yang kedinginan. Tamsil itu sangat pas untuk menggambarkan dilema Jokowi saat ini.
Persiapan Presiden Jokowi menghadapi Pilpres 2019 sempurna sudah. Seluruh desa, kota dan orang miskin, sudah berada dalam genggamannya. Pemerintah akan segera mengucurkan dana kelurahan. “1 Januari,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai Rapat Terbatas, Jumat (2/11) di Istana Bogor.
Rencana pengucuran dana kelurahan sebesar Rp 3 triliun inilah yang sempat memicu umpatan Jokowi, “Politikus Sontoloyo.” Jokowi mengaku tak mampu menahan kekesalannya karena politisi oposisi menentang usulan pemerintah untuk pemberian dana tersebut.
Bagi kalangan oposisi, bukan masalah dananya yang dipersoalkan. Tapi masalah timingnya. Waktunya pengucuran dana yang dilakukan berdekatan dengan pelaksanaan Pilpres 2019 pada 17 April, rawan disalahgunakan. Mereka menghendaki, pelaksanaannya dilakukan setelah Pilpres. Toh dari sisi waktu tidak terlalu lama, dan dana tersebut tidak terlalu mendesak.
Sebaliknya bagi Jokowi, pengucuran dana sebelum Pilpres tentu sangat penting. Program ini akan melengkapi berbagai program populis lain yang telah ditebar. Sebelumnya pemerintah telah memiliki program dana desa. Alokasi dana desa dalam RAPBN tahun 2019 sebesar Rp 832,3 triliun. Jumlah itu meningkat 9 persen dari tahun sebelumnya, atau meningkat 45,1 persen dari realisasinya di tahun 2014 sebesar Rp 573,7 triliun. Dana ini disalurkan melalui Kementrian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Di luar dana tersebut, melalui Kementrian Sosial, pemerintah juga telah memiliki Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini merupakan bantuan dana untuk para keluarga miskin, semacam program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada masa Presiden SBY.
Pada tahun ini anggaran untuk PKH meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2018. Dari sebelumnya hanya Rp 17 triliun, pada tahun 2019 meningkat menjadi Rp 32 triliun. Dana PKH ini diberikan kepada 10 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia. Dengan asumsi setiap KK terdiri empat jiwa, maka program ini telah menjangkau 40 juta jiwa.
Sistem pemberiannya juga diubah. Dari sistem flat, masing-masing KK menerima Rp 1.890.000,-, menjadi non flat. Untuk keluarga yang memiliki lansia, wanita hamil, dan anak-anak usia sekolah bisa menerima bantuan sampai sebesar Rp 3.5 juta/KK, minimal Rp 2 juta/KK.
Program-program semacam ini berkaca pada apa yang dilakukan oleh SBY, sangat efektif untuk menjaring dukungan dari masyarakat. Kalangan masyarakat kelas bawah pasti tidak bisa membedakan, antara anggaran negara, dengan anggaran milik pribadi. Yang mereka tahu, pada masa pemerintahan Jokowi mereka menikmati bantuan yang melimpah.
Berdasarkan sejumlah survei, elektabilitas Jokowi di kalangan pemilih pedesaan, pendidikan rendah, dan miskin, sangat kuat. Sebaliknya di kalangan pemilih perkotaan, terdidik, dan ekonomi menengah, dukungan terhadap Jokowi masih lemah. Dalam konteks inilah dana kelurahan yang menjangkau masyarakat perkotaan menjadi sangat penting. Sangat wajar bila Jokowi sangat geram dan sampai mengeluarkan umpatan, karena merasa dihalang-halangi rencananya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa berbagai bantuan tersebut akan dimanfaat sepenuhnya oleh pemerintah menjadi program pencitraan. Sangat efektif untuk dikapitalisasi menjadi alat kampanye. Itu memang menjadi keuntungan seorang inkumben seperti Jokowi.
Ironi di tengah bencana
Gelontoran berbagai dana yang dengan mudah dikeluarkan oleh Jokowi, ditengah keterbatasan anggaran pemerintah ini, menjadi sebuah ironi. Apalagi bila dikaitkan dengan amburadulnya penanganan berbagai bencana.
Di Lombok para korban bencana sampai harus berunjukrasa menuntut pencairan bantuan yang dijanjikan pemerintah.
Secara simbolis ketika mengunjungi lokasi gempa, Presiden Jokowi menyerahkan bantuan untuk para korban. Untuk rumah warga yang rusak berat diberikan bantuan sebesar Rp 50 juta, rusak sedang Rp 25 juta, dan untuk rumah rusak ringan diberikan bantuan Rp 10 juta. Kendati sudah tertera di dalam rekening buku tabungan yang diberikan oleh Jokowi, ternyata dananya tidak bisa dicairkan.
Untuk mengatasi masalah tersebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD) NTB mempersilakan warga berhutang ke bank. “Sangat boleh utang ke bank. Nanti kalau dana sudah cair dari pemerintah, bisa untuk membayar utang,” kata Kepala BNPD NTB Muhammad Rum.
Kapan dana bantuan dari pemerintah itu akan turun? Soal ini sampai sekarang belum ada kejelasannya. Namun sesuai dengan komitmen dengan Bank Dunia, pemerintah akan mendapat dana pinjaman sebesar USD 1 miliar, atau Rp 15 triliun untuk bantuan dana rekonstruksi di Lombok dan Sulawesi Tengah.
Mengapa pemerintah memilih berhutang untuk membantu para korban bencana, namun disisi lain masih terus mengucurkan anggaran program populis? Agak sulit menepis kecurigaan hal itu erat kaitannya dengan kepentingan Pilpres 2019. Dana-dana tersebut sangat penting untuk menguatkan dukungan pemilih kepada Jokowi. Jadi ini semacam money politics, menggunakan anggaran negara.
Pemerintah sesungguhnya juga punya pintu darurat untuk membantu para korban bencana, yakni melalui pemanfaatan sisa anggaran di sejumlah departemen. Dari tahun ke tahun penyerapan anggaran pemerintah di sejumlah departemen dan kementrian masih rendah.
Berdasarkan catatan Departemen Keuangan, sampai bulan Agustus 2018, penyerapan anggaran baru mencapai 58.70% dari pagu APBN. Hingga 6 Agustus 2018, penyerapan anggaran di Kementrian PUPR baru 38,1 persen dari total Rp 113,71 triliun. Sementara, realisasi fisik baru 41,78 persen.
Seharusnya pemerintah bisa mengusulkan perubahan anggaran (APBNP) ke DPR. Namun bila itu dilakukan, dipastikan program pemerintah yang dikaitkan dengan pencitraan akan sangat terganggu. Kementrian PUPR yang menangani berbagai proyek infrastruktur pasti tidak mungkin dipangkas anggarannya. Infrastruktur adalah jualan utama Jokowi pada Pilpres 2019. Karena itu kementrian PUPR merupakan departemen yang paling besar anggarannya.
Benturan kepentingan (conflict of interest) antara pencitraan dan kebutuhan untuk penanganan bencana, serta anggaran-anggaran lainnya yang mendesak, membuat pemerintah kalang kabut untuk menentukan prioritas.
Belum lagi berbagai program pencitraan pemerintah yang sangat berat diongkos seperti Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) melalui program BPJS Kesehatan. Seperti kata Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris utang mereka yang jatuh pada akhir pekan ini sebesar Rp 7.2 triliun. Darimana pemerintah akan menambal kebocoran anggaran tersebut? Bila tidak dibayar, dampaknya akan sangat serius bagi kelangsungan program andalan Jokowi itu.
Seperti orang yang tidur berselimutkan kain sarung yang kependekan. Bila terlalu ditarik ke atas , bagian tubuh bawah akan kedinginan. Sementara bila ditarik ke bawah, bagian atas tubuh yang kedinginan. Tamsil itu sangat pas untuk menggambarkan dilema Jokowi saat ini.
Dengan target harus menang pada Pilpres 2019, wajar bila Jokowi dan para pejabatnya sering menunjukkan perilaku yang tidak terkontrol. Gejala stress karena menghadapi tekanan berat, mulai tampak. Muncullah berbagai umpatan, “kebangetan, kampungan, Sontoloyo,” dan entah apalagi?
Seorang penulis feminis kelahiran Lithuania Emma Goldman pernah mengingatkan politicians promise you heaven before election, and give you hell after. Politisi akan menjanjikan surga sebelum pemilu, dan memberimu neraka setelahnya. end
*) Oleh Hersubeno Arief, wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik