Jokowi 'Presiden' Republik Survei Indonesia
"Survei sebenarnya adalah sebuah proses intelektual, yang berlandaskan pada teori ilmiah statistik. Semuanya terukur dan bisa dipertanggungjawabkan. Namun kembali meminjam pernyataan Ferdinand Hutahean, di tangan para “pencari makan,” angka-angka statistik, bisa diutak-atik, bahkan dijungkir balikkan."
Sejumlah lembaga survei dalam beberapa pekan belakangan, membeberkan temuan, Jokowi-Ma’ruf jauh lebih unggul dibanding Prabowo-Sandi. Lembaga Survei SMRC pimpinan Syaiful Mujani menyatakan elektabilitas Jokowi -Ma’ruf 60,4%, Prabowo-Sandiaga 29,8%. Ada selisih 30.6%. Jika percaya dengan hasil lembaga survei tersebut, kesimpulannya hanya satu: Pilpres sudah selesai.
Benar, memang itulah opini yang sedang coba dibangun. Juru bicara Partai Demokrat Ferdinand Hutahean secara bergurau menyebut Jokowi sebagai presiden hasil survei.
Ferdinand mengajak masyarakat untuk memaklumi mengapa sejumlah lembaga survei terlihat seperti berlomba mempublikasikan hasil sigi mereka. “Biarkan saja, mereka sedang cari makan, karena itu profesi mereka, ” ujarnya.
Independensi dan kredibilitas lembaga survei belakangan banyak dipertanyakan. Melesetnya hasil survei pada Pilkada Serentak 2018 mendorong publik untuk beramai-ramai mempersoalkannya.
Umumnya yang disorot adalah hasil survei pada pilkada Jabar dan Jateng. Selisih antara hasil survei dengan hasil penghitungan suara lebih dari 20%. Hal itu menimbulkan kecurigaan, bahwa lembaga survei banyak yang “memainkan” hasil surveinya untuk mempengaruhi pilihan publik.
Lembaga survei biasanya berlindung pada margin of error, (MoE) atau kesalahan yang biasa terjadi dalam pengambilan sampel penelitian. Namun angka margin of error biasanya tak terlalu besar. Semakin besar sampel yang diambil, semakin kecil tingkat margin error-nya. Kalau sampai lebih 20% bukan lagi margin of error namanya. Mungkin lebih tepat disebut sebagai major error, atau bahkan fatal error.
“Kesalahan” prediksi semacam itu bukan hanya terjadi di Pilkada Serentak 2018. Pada Pilkada DKI 2017 banyak lembaga survei yang salah, atau mungkin sengaja salah memprediksi.
Dua hari sebelum kampanye berakhir, SMRC merilis hasil surveinya. Elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok-Djarot Saiful Hidayat sebesar 46,9 persen. Kemudian pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebesar 47,9 persen. Hanya selisih 1% . Sementara margin of error 4.7%.
Apa artinya? Besar kemungkinan pasangan Ahok-Djarot akan memenangkan pilkada. Apalagi trend Ahok-Djarot sedang menanjak. Sedang Anies-Sandi cenderung turun. Biasanya mendekati hari H, pasangan yang trend elektabilitasnya naik, akan terus naik. Begitu pula sebaliknya.
Charta Politica yang dipimpin Yunarto Wijaya hasilnya malah lebih menarik. Pada hari terakhir kampanye Charta, mengumumkan Ahok-Djarot akan memenangkan Pilkada. Pasangan Ahok-Djarot 49%, Anies-Sandi 47,1%. Anies-Sandi suaranya stagnan, Ahok-Djarot terus naik.
Hasilnya? Angkanya terbalik sangat jauh. Anies-Sandi menang mutlak dengan memperoleh 57,96%, Ahok-Djarot 42,04%. Ada selisih suara 15.92%. Kalau toh semua suara tidak menjawab 7.9%, dan margin of error 3.5% ditambahkan ke Ahok-Djarot, hasil pilkada tetap jauh dari prediksi Charta.
Bagi Anda yang dulu mendukung Anies-Sandi pasti deg-degan, bahkan jantungan membaca hasil-hasil survei SMRC dan Politika. Begitu juga Anda yang sekarang mendukung Prabowo-Sandi pasti juga ngenes, bahkan putus asa membaca hasil-hasil lembaga survei belakangan ini. Memang itulah targetnya.
Pembentukan publik opini, dan framing
Pada pilpres kali ini hampir semua lembaga survei bekerja untuk inkumben. Prinsip dimana ada gula, disitu ada semut, tetap berlaku sepanjang zaman. Beberapa lembaga yang mencoba independen, banyak yang takut ketika ditawari bergabung dengan kubu Prabowo-Sandi. Mereka kebanyakan memilih jalan aman, hanya mau menangani pileg. Tidak ada risiko.
Mengapa inkumben berkepentingan merangkul semua lembaga survei? Jawabnya adalah penguasaan dan pembentukan publik opini. Karena lembaga survei merangkap sebagai konsultan, maka unsur publikasi hasil survei menjadi sangat penting.
Dengan berkumpulnya para pemilik media besar di kubu inkumben, maka penggiringan opini menjadi sempurna. Publik bisa didikte dan diarahkan preferensi pilihannya sesuai agenda mereka. Publikasi yang massif menjadi sangat penting untuk mempengaruhi preferensi pemilih. Dalam hal ini berlaku doktrin propanda “kebohongan yang diulang akan menjadi kebenaran.”
Dalam marketing, yang juga diadopsi dalam pemasaran politik dikenal sebuah teori band wagon effect. Sebuah efek ikut-ikutan, yakni kecenderungan orang untuk ingin memiliki barang yang banyak dimiliki orang lain. Secara psikologis pemilih cenderung akan ikut kandidat yang dianggap berpotensi menang.
Ada dua kelompok yang disasar. Pertama, adalah para pemilih mengambang, atau belum memutuskan akan memilih siapa (swing voter/undecided voter). Kedua, pemilih yang tingkat militansinya rendah. Mereka bukan die hard yang hidup mati memilih kandidat tertentu. Dalam beberapa survei menunjukkan pemilih die hard Jokowi hanya sebesar 32%.
Keuntungan lain dengan merangkul sebanyak mungkin lembaga survei, inkumben bisa mendapat banyak endorser. Para pemilik, atau pemimpin lembaga survei kebanyakan adalah publik figur yang sering tampil media. Dengan posisi yang seakan netral mereka sangat efektif membantu mempromosikan inkumben.
Bila kita amati, ada beberapa pola yang “dimainkan” lembaga survei.
Pertama, seperti telah disebutkan sebelumnya, dengan melakukan publikasi survei. Ini jurus yang paling baku dan dinilai paling ampuh.
Mereka biasanya bermain-main dengan angka margin of error. Misalnya bila margin error 3.5%, maka mereka bisa mengambil rentang terendah sampai rentang tertinggi. Hasilnya bisa mencapai 7%. Namun belakangan tampaknya mereka tidak cukup puas hanya dengan memainkan margin error. Mereka melangkah terlalu jauh dengan mengambil major error. Akibatnya yang terjadi fatal error. ha…..ha…ha…
Kedua, membuat framing. Pada Pilkada DKI 2017 framing ini dimainkan habis-habisan. Ada lembaga survei yang menyebut bahwa pasangan yang anti Pancasila , anti pluralisme dan anti NKRI cenderung memilih Anies-Sandi. Sebaliknya yang pro Pancasila, pro NKRI, dan pro keberagaman lebih memilih Ahok-Djarot. Karena itu pemilih Ahok-Djarot adalah pemilih rasional. Sebaliknya pemilih Anies-Sandi adalah pemilih emosional. Strategi ini cukup bisa dipahami, karena ada stigma penista agama terhadap Ahok.
Pada pilpres kali ini, framing yang membawa isu SARA agak sulit dimainkan karena Jokowi memilih Kyai Ma’ruf, sebaliknya Prabowo malah memilih Sandi. Seandainya tetap dipaksakan, framing semacam itu menjadi terbalik. Kendati begitu ternyata masih ada saja lembaga survei yang nekad menggunakan isu itu. Misalnya pemilih Jokowi-Ma’ruf yang setuju Pancasila meningkat, pemilih Prabowo-Sandi yang pro Pancasila menurun. Pemilih Prabowo-Sandi lebih banyak yang setuju dengan NKRI bersyariah. Tujuannya jelas memberi stigma, bahwa Islam garis keras berada di kubu Prabowo-Sandi. Ini untuk menakut-nakuti kalangan non muslim, dan nasionalis.
Ketiga, meng-endorse hasil survei lembaga lain. Fenomena menarik tersebut baru muncul belakangan ini. Biasanya sangat jarang lembaga survei merujuk pada hasil lembaga survei lain. Sebab bagaimanapun mereka bersaing.
Ada beberapa lembaga survei yang dalam rilis resminya mengutip data lembaga lain. Misalnya dari sembilan lembaga survei, tujuh diantaranya memenangkan Jokowi. Ada pula yang rajin mem-brodcast hasil survei lembaga lain di berbagai platform pertemanan/WAG. Tujuannya untuk menunjukkan bukan hanya survei mereka yang memenangkan inkumben. Jadi survei mereka kredibel.Mengapa lembaga survei terkesan tidak cukup percaya diri (pede) dan perlu mendapat pembenaran dari lembaga survei yang lain? Sikap kritis dari kalangan civil society yang mempertanyakan kredibilitas hasil survei, membuat mereka butuh sandaran lain sebagai pembenaran.
Survei sebenarnya adalah sebuah proses intelektual, yang berlandaskan pada teori ilmiah statistik. Semuanya terukur dan bisa dipertanggungjawabkan. Namun kembali meminjam pernyataan Ferdinand Hutahean, di tangan para “pencari makan,” angka-angka statistik, bisa diutak-atik, bahkan dijungkir balikkan. Praktik semacam itu bukan hal baru. Darrell Huff pada tahun 1954 pernah menerbitkan sebuah buku legendaris berjudul “How to lie with statistics”. end
*) Oleh Hersubeno Arief, wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik - Dikutip sepenuhnya dari laman hersubenoarief.com atas ijin penulis
Advertisement