Jokowi, Prabowo, Budi Gunawan, dan Siapa Lagi?
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi presidential threshold. Syarat partai atau gabungan partai yang dapat mengusung capres/cawapres, harus memiliki 20 % kursi DPR RI atau 25% perolehan suara nasional, tetap berlaku.
Dengan keputusan tersebut, secara teknis maksimal hanya akan ada lima orang pasangan capres/cawapres. Namun melihat peta perkubuan di pilkada serentak 2018, kemungkinan besar hanya akan ada tiga pasang capres/cawapres, atau maksimal empat pasang.
Nama-namanya juga sudah bisa diperkirakan bakal berputar diantara mereka-mereka yang sudah banyak disebut media. Dalam bahasa anak gaul disebut sebagai 4L… Loe lagi…loe lagi.
Jangan berharap akan ada kejutan, ataupun tiba-tiba muncul Satrio Piningit yang akan menjadi Ratu Adil. Ramalan atau mistifikasi politik semacam itu tidak bakal laku. Kalau benar seperti dulu banyak diramalkan, bahwa yang akan menjadi presiden pada Pilpres 2014 adalah seorang Satrio Piningit, maka Jokowi lah yang dimaksud.
Apakah pemerintahan Jokowi sudah sesuai dengan gambaran seperti dalam mitos, Indonesia menjadi negara tata tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi? Silakan Anda menilai sendiri.
Partai apa saja yang akan berkoalisi, siapa berpasangan dengan siapa sebagai capres/cawapres? Sudah mulai bisa dipetakan. Pilkada Jabar yang memunculkan empat pasang kandidat bisa menjadi gambaran, tentu dengan sedikit perubahan dan variasi.
Di Jabar partai Golkar berkoalisi dengan Demokrat mengusung Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (Duo D). Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura mengusung Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Haq (Rindu). PKS-Gerindra, PAN mengusung Sudrajat-Syaikhu (Asyik). PDIP tampil sendirian mengusung Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan (Tuan).
Secara garis besar bila ditarik ke peta politik nasional, maka peta Jabar mengerucut pada tiga poros utama. Dua poros yakni Rindu dan Duo D merupakan poros Jokowi. Poros Prabowo diwakili oleh Asyik, dan Tuan merupakan representasi Poros Megawati.
Tiga poros tersebut akan menjadi peta perkubuan di Pilpres 2019. Petanya bisa bertambah menjadi empat poros bila SBY membuat poros sendiri. Namun tetap tiga poros, bila Megawati/Jokowi memutuskan untuk “balik kucing” dan menyatu kembali.
Selain kalkulasi potensi untuk menang, jumlah perolehan kursi di DPR sangat menentukan pembentukan poros dan perkubuan tersebut. Jumlah total kursi di DPR sebanyak 560. Untuk dapat mencalonkan kandidat, harus mempunyai 112 kursi (20%). Empat partai yang berada di urutan teratas adalah : PDIP 109 kursi, Golkar 91, Gerindra 73, dan Demokrat 61 kursi. Di kelompok menengah dan bawah secara berurut-turut PAN 49, PKB 47, PKS 40, PPP 39, Nasdem 35, dan Hanura 16 .
Sejauh ini Pilkada Jatim dan Jabar menjadi indikasi kuat Jokowi mulai berpisah jalan dengan Megawati. Begitu juga dengan pernyataan Megawati yang menegaskan kembali bahwa Jokowi adalah “petugas partai” menjadi signal yang sangat terang. Megawati sangat kecewa dengan Jokowi.
Di Jatim Jokowi mengajukan Khofifah-Emil untuk menandingi Saifullah Yusuf-Puti yang didukung Megawati. Di Jabar, Megawati yang gagal membangun koalisi dengan PKS, atau setidaknya merekrut kader PKS (Netty Heryawan) memutuskan mengusung calon sendiri, Tubagus-Anton.
Dalam pilpres PDIP belum sama sekali menyebut nama Jokowi sebagai calon. Sebaliknya Jokowi malah dengan senang hati menerima pencalonan dari Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura. Sebagai kader partai tidak pada tempatnya Jokowi menerima pencapresan dari partai lain.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ada persoalan komunikasi internal antara PDIP dengan Jokowi. Barangkali latar belakang Jokowi sebagai mualaf PDIP menjelaskan hal itu. Jokowi baru menjadi kader PDIP setelah dia diusung dan terpilih menjadi Walikota Solo (2005). Sebelumnya Jokowi adalah seorang pengusaha dan bukan anggota partai.
Jokowi belum aman
Dari sejumlah kandidat, baru Jokowi dan Prabowo yang di atas kertas sudah punya modal kuat untuk maju. Koalisi Golkar (91), Nasdem (35), PPP (39), dan Hanura (16), total memiliki 181 kursi. Namun bila Melihat cairnya peta perkubuan pada pilkada serentak 2018, calon yang sudah bisa disebut sangat “aman” barulah Prabowo. Persekutuan Gerindra-PKS sudah memastikan satu tiket di tangan. Sementara Jokowi masih harus bekerja keras untuk mensolidkan partai pendukungnya.
Prabowo memiliki modal dari Gerindra 73 kursi, bila ditambah dengan sekutunya PKS 40 kursi, maka total 113 kursi. Sudah aman. Jumlahnya akan bertambah bila PAN (49) bergabung, maka total sebanyak 163 kursi.
Untuk mengusung calon sendiri, PDIP (109) membutuhkan tambahan tiga kursi. Partai yang tersisa tinggal Demokrat (61), dan PKB (47).
Dengan gambaran peta kepemilikan kursi di DPR tersebut, maka peta perkubuan akan sangat ditentukan siapa yang menjadi presiden dan siapa yang menjadi wakil presidennya.
Jokowi sudah hampir pasti akan maju kembali sebagai capres. Sebagian besar partai --diluar Gerindra, PAN, dan PKS --berlomba-lomba ingin menjadi cawapres Jokowi.
PKB sudah mempersiapkan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres Jokowi. Keakraban Jokowi dengan Muhaimin saat meresmikan kereta api bandara, memunculkan spekulasi keduanya akan berpasangan. Demokrat nampaknya sudah menyiapkan Agus Harimurti sebagai cawapres Jokowi. Koalisi Golkar dengan Demokrat di Jabar menjadi indikasi awal mereka akan bergabung dalam pilpres 2019.
Demokrat akan mengusung capres sendiri bila deal dengan Jokowi tidak cocok. Namun ini tidak mudah, karena dengan modal 61 kursi, setidaknya Demokrat harus menggandeng dua partai lain.
Pilihannya yang sangat mungkin adalah PAN, dan PKB. Dalam poros ini juga sangat mungkin PPP bergabung. Ketiga partai ini di Pilkada DKI putaran pertama berkoalisi mengusung Agus-Silvy
Siapa capresnya? Yang ini agak sulit membayangkan AHY menggandeng Zulkifli Hasan sebagai cawapres. Secara ketokohan Zulhasan jauh lebih senior. Yang sudah terbentuk relawannya justru Agus-Muhaimin. Namun kursi Demokrat-PKB tidak cukup.
Kendati hubungan sedang menegang, PDIP kemungkinan akan tetap bergabung dengan Jokowi dan menempatkan seorang wapres? Hal itu bisa saja terjadi, dan masih menjadi opsi utama.
PDIP mungkin mengajukan Puan Maharani bila ingin tetap mempertahankan trah Soekarno di sirkulasi elit kekuasaan. Namun spekulasi yang sangat kuat kemungkinan Megawati akan mengajukan nama Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan.
Mantan Wakapolri ini mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Megawati. Dia juga menjalin komunikasi yang sangat baik dengan elit parpol.
Secara mengejutkan namanya masuk dalam radar berbagai survei sebagai kandidat yang potensial. Bayangkan menjadi seorang kepala badan rahasia, namun Budi Gunawan ternyata tetap cukup populer.
Budi Gunawan juga baru terpilih menjadi Wakil Ketua Majlis Pakar Dewan Masjid Indonesia (DMI) pimpinan Jusuf Kalla.
Bila PDIP berpisah dengan Jokowi, maka Budi Gunawan akan didorong menjadi capres, dan bisa berpasangan dengan Muhaimin misalnya.
Bagaimana dengan Prabowo? Sampai saat ini Gerindra masih bertekad mengajukannya sebagai capres. Namun melihat elektabilitasnya yang cenderung stagnan, banyak yang menyarankan agar Prabowo menjadi king maker, dan mengajukan calon lain.
Prabowo sudah dua kali mengikuti pilpres. Dia menjadi cawapres Megawati (2009), dan capres berpasangan dengan Hatta Rajasa (2014). Dua-duanya kalah. Sebaliknya ketika mendukung seorang kandidat, Prabowo dikenal bertangan dingin dan sukses. Jokowi-Ahok (2012), dan Anies-Sandi (2017) menang di Pilkada DKI.
Bila Prabowo tidak maju, siapa yang akan didukungnya? Di kalangan Koalisi Reuni (Gerindra, PAN, dan PKS) atau dikenal juga koalisi keumatan, ada dua nama yang digadang-gadang. Mantan Panglima TNI Jend Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan.
Namun melihat masa pendaftaran tinggal beberapa bulan lagi (Agustus), yang berpeluang paling besar adalah Gatot. Pada bulan Maret Gatot akan pensiun dari TNI, sementara Anies baru saja menjabat sebagai Gubernur DKI.
Siapa pasangannya? Bila PAN tetap bergabung dalam koalisi keumatan, maka Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan tokoh yang diajukan PKS berpeluang menjadi cawapres.
PAN sudah terbuka mendeklarasikan Zulhasan sebagai capres/cawapres. Sementara di PKS belum ada suara bulat.
Sumber internal PKS menyebut ada tiga nama yang terpilih sebagai capres dalam pemilihan raya (pemira). Mekanisme internal memilih kandidat itu diikuti oleh kader inti di seluruh Indonesia. Yang terpilih adalah Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, mantan Presiden PKS Anis Matta, dan Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid.
Munculnya nama Anis Matta sebagai salah satu capres yang mendapat dukungan kuat kader di bawah mengalahkan tokoh struktural, sangat mengejutkan, karena sejak lengser, Anis jarang muncul di publik.
Nama-nama tersebut kemungkinan akan ditambah dengan Ketua Majelis Syuro Salim Segaf Aldjufri, Presiden PKS M Sohibul Iman, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, dan beberapa nama lain yang dimasukkan melalui mekanisme penokohan.
Pasangan ini bila jadi terbentuk, akan sangat kuat karena bisa menjadi representasi NKRI (Militer- Islam). Kerjasama semacam ini pernah berhasil menumbangkan Orde Lama dan memunculkan Orde Baru.
Selain pertimbangan koalisi, pasangan kandidat juga sangat ditentukan oleh peta politik mutakhir. Pasca Pilkada DKI 2017 terbentuk poros kekuatan baru yang sering disebut sebagai alumni 212/Poros keumatan. Suara poros ini sangat didengar oleh Koalisi Reuni dan sedikit banyak ikut mempengaruhi koalisi pilkada.
Yang paling mencolok adalah peran mereka membatalkan koalisi PKS dan PAN dengan Demokrat di Jabar. Alasannya karena Demokrat merupakan partai pendukung Perppu Ormas, dan dicurigai akan berkoalisi dengan Jokowi.
Dukungan alumni 212, atau poros keumatan harus sangat diperhitungkan, karena berdasar survei nasional Median (September 2017), pengelompokan pemilih di poros ini sangat kuat dan besar. Dengan membuat pengelompokan idiologi ekstem kiri, kiri tengah, tengah, kanan tengah, dan ekstem kanan, maka pemilih terbesar berada di kelompok tengah dan kanan.
Pemilih yang berada di ekstrem kiri, dan kiri tengah (PDIP) total sebesar 24.4%. Yang berada di kanan tengah dan ekstrem kanan (partai-partai Islam) 32.1 %. Sementara yang di tengah (Golkar, Demokrat, Gerindra, Nasdem, dan Hanura) sebesar 43.5%.
Untuk memenangkan pilpres maka partai-partai yang berada di kelompok tengah harus bekerjasama dengan kelompok kanan. Kalkulasi politik semacam itu menjelaskan mengapa PDIP dalam berbagai pilkada berusaha merangkul kekuatan Islam. PDIP mencoba bergeser ke tengah. Mereka berusaha menunjukkan iktikad baik, sehingga nantinya dapat memudahkan PDIP membangun koalisi pada Pilpres 2019. End
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik
Advertisement