Jokowi, Netral atau Sentral???
Oleh: Erros Djarot
Sepanjang Pemilu-Pilpres 2024 digelar, Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan POLRI, harus netral. Begitu perintah Jokowi sebagai Presiden di depan para Pelaksana tugas (Plt) Bupati, Wali Kota, Gubernur se-Indonesia yang kumpul di Istana, ratusan jumlahnya. Siapa pun yang melanggar perintah ini, bakal langsung digusur, dicopot dari jabatan. Ancaman ini disampaikan dengan tenang tapi terkesan sungguhan.
Saat menyampaikan perintah ini, suara Jokowi terdengar sangat indah dan menyejukkan. Tiba-tiba di negeri ini seperti kembali hadir seorang Presiden negarawan di tengah kehidupan kita yang selama ini hilang. Perintah Jokowi ini tentu mengikat dirinya juga untuk memberi contoh. Presiden akan bersikap NETRAL sepanjang perhelatan Pemilu-Pilpres 2024, mulai sekarang. Hal yang wajib ia lakukan, karena Presiden tidak boleh bohong!
Untungnya, selama ini kata ‘bohong’ memang tidak pernah melekat pada diri Jokowi. Akan tetapi ketika publik mencari sinonim dari kata bohong, banyak ditemukan catatan yang serba minus. Seperti ucapan dan perbuatannya yang sering tidak sinkron. Sesuatu yang dikatakannya ‘ada’ tapi ternyata ‘tak ada’. Janji tinggal janji…berlalu tanpa bukti.
Mungkin rakyat lebih fasih untuk menggunakan kata ‘gombal’ dalam mengekspresikan reaksinya ketika mengurai sejumlah catatan negatif seputar sinonim dari kata ‘bohong’ ini. Seperti ketika rakyat mempertanyakan; di mana dan ke mana Trisakti, Revolusi Mental, Nawacita yang dulu dijadikan dagangan politiknya hingga menggantarnya masuk Istana? Mana dan ke mana itu mobil ESEMKA yang konon ada dan bakal jadi mobil kebanggaan Indonesia? Yang ada malah pencipta dan penggagasnya, Sukiyat, keleleran nagih hutang yang tak kunjung dibayar.
Begitu juga dengan janji Jokowi bahwa anak-anaknya tidak akan masuk kancah politik, cukup jadi saudagar martabak! Buktinya malah semantu-mantunya berpolitik, bahkan jadi pejabat jabatan politik, Wali Kota. Untuk masalah yang satu ini, mantan Wali Kota Solo, FX Rudi, dapat dengan sangat fasih membeberkan realita politik patgulipat ala Jokowi ini. Berlanjut dengan jadinya Kaesang dalam sekejap, ujug-ujug Ketua Umum PSI.
Menyusul kemudian pernyataan Jokowi yang tegas menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menginginkan 3 periode. Buktinya, tak terbantahkan Sekjen PDIP, Sdr Hasto dan Sdr Adian Napitupulu kader PDIP yang sangat akrab dengan Jokowi, berkata lain.
Yang terkini dan paling mutakhir adalah manuver luar biasa trio Jokowi, sang ayah, Gibran sang putra, dan Anwar Usman sang Paman, Ketua Mahkamah Konstitusi. Dengan keberanian membangun kekuatan sangat gigantik, sang paman berhasil menjadikan sang ponakan Cawapres. Walau harus dengan pasang badan menabrak konstitusi.
Dan…, ketika semua ini terjadi, ditanggapi oleh Jokowi dengan memainkan politic innocent. Seolah tidak tahu menahu bahkan menyatakan tidak ikut-ikutan. Sementara publik mencatat, sejak masalah Capres dan Cawapres jadi tema sentral percaturan politik di panggung politik nasional, kata kerja ‘cawe-cawe’ nyaris menjadi nama belakang (family name) Jokowi.
Dengan sejumlah catatan panjang ini, apakah publik masih percaya pada sikap NETRAL seorang Jokowi? Pasalnya, dari mulai penunjukkan para Plt Bupati, Wali Kota, dan Gubernur saja sudah tercium aroma yang sangat menyengat dari masakan politik olahan ‘cawe-cawe’ dari dapur Istana. Begitu pun dengan pergantian posisi-posisi di sejumlah jabatan strategis perwira menengah dan tinggi di POLRI dan TNI. Di mana penempatan personil dengan tugas khusus ‘mengamankan’ Pemilu-Pilpres 2024, sudah menjadi pembicaraan hangat di publik politik belakangan ini. Contoh konkrit, diviralkan seorang Wakil Menteri (Pembantu Presiden) berani terang-terangan mengancam.. para Komisaris perusahaan BUMN yang gak dukung Gibran, wajib 'OUT'..! Dan Pak Wamen, sang pelaku kejahatan Demokrasi pengacau Pemilu, aman-aman saja..!
Rekam jejak politik Istana di dunia politik nasional, ternyata telah tertulis rapi di lembaran ‘negative list’ yang dapat dibaca oleh publik secara luas. Dikhawatirkan mayoritas publik cenderung tidak percaya lagi kepada ucapan dan janji-janji Jokowi. Artinya, sikap NETRAL dan tak akan ingkar janji, dipersepsi sebagai bukan ‘gen politik’-nya seorang Jokowi. Bahwasanya ia bukanlah seorang yang bisa dinyatakan sebagai pembohong, bisa saja begitu. Tapi tidak sinkronnya ucap kata dan perbuatan merupakan perilaku politik yang melekat kuat dalam diri seorang Jokowi.
Beruntung Jokowi memiliki pasukan buzzer yang hebat, yang bisa membuat citra dari sesuatu yang hitam menjadi putih, dan sebaliknya. Dalam dunia dongeng, mencat (mewarnai) langit pun mereka bisa. Sehingga sihir modern mereka melalui teknologi media informasi, berhasil mencetak para pendukung fanatik yang menjadi buta akan berbagai realita adanya sederetan daftar negatif di atas.
Celakanya, ketika mendung datang dan badai angin bertiup cukup keras, para buzzer tak mampu lagi mencat (mewarnai) langit. Maka, satu persatu butir hujan masalah berjatuhan hingga sampai pada situasi berhasil membasahi air mata para pemuja dan fanatikun Jokowi. Mata mereka pun, kembali terbuka bersih sehingga mampu menyaksikan kerusakan nilai, pelumatan nalar sehat, dan sejumlah perbuatan tak terpuji yang dipicu muncul oleh deburan nafsu membangun kerajaan dinasti politik J. Widodo belakangan ini. Sebagai akibat, terjadi secara luas ‘Krisis kepercayaan pada Presiden’ yang berpotensi mengundang terjadinya krisis Kepemimpinan Nasional.
Pemicunya? Karena Jokowi sebagai Presiden, tidak berada dalam posisi NETRAL. Tapi ia justru berada pada posisi SENTRAL dari pat-gulipat politik yang tega mengorbankan konstitusi negara sebagai alat permainan politik. Maka, bila krisis kepemimpinan ini kian memuncak, Civil Society harus mampu menjadikan dirinya sebagai institusi yang menjalankan dan mengarahkan kompas Kepemimpinan Nasional.
Rakyat menantikan kebangkitan para intelektual, cendikia-akademisi, para agamawan, para profesional patriotik, para pemuda, mahasiswa, buruh, tani, nelayan, dan para pekerja, untuk bersatu dalam satu barisan rakyat Merah-Putih; yang sadar bahwa kedaulatan tertinggi harus tetap berada di tangan rakyat!
Daulat rakyat tidak boleh digantikan dengan daulat Tuanku. Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Alam pun sudah turut bersuara, pengawasan ketat harus segera dilakukan. Presiden harus NETRAL, bukan malah menjadi SENTRAL patgulipat politik yang terbukti telah sangat destruktif. Daya rusaknya sangat gigantik. Sanggup mengubah Mahkamah Konstitusi, menjadi Mahkamah Keluarga.
Kembali lagi, hanya ada satu kata: LAWAN!!! (Dikutip seutuhnya dari GBN.Top)
* Erros Djarot, budayawan.
Advertisement