Jokowi Khianati Amanat Reformasi, Rusak Demokrasi Demi Anak
Demokrasi di Indonesia kini sedang dalam kondisi mengkhawatirkan. Hal itu tak lepas dari berbagai cawe-cawe Presiden Jokowi dalam mendukung anaknya, Gibran Rakabuming Raka. Ia bisa menjadi cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Pakar politik Ikrar Nusa Bakti, saat acara diskusi bertema ‘Mimbar Kebangsaan’ yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis 16 November 2023, merasa prihatin atas kondisi demokrasi yang terjadi jelang Pilpres 2024.
Dalam paparannya, Ikrar Nusa Bakti menilai Jokowi saat ini bukan hanya seorang presiden yang kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang, lembaga legislatif, dan yudikatif. Bahkan, Jokowi telah sampai pada tingkat di dalam pemikirannya menilai negara sebagai dirinya.
“Beliau adalah orang yang merusak masa depan anak-anak bangsa kita. Beliau adalah orang yang kemudian memutar balik arah reformasi. Kita mundur lagi lebih dari 25 tahun yang lalu ya. Beliau juga adalah orang yang tidak peduli pada demokrasi, dia tidak peduli pada reformasi hanya untuk menjadikan sang putra sulung menjadi wakil presiden Republik Indonesia,” ujarnya.
Guru Besar Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI ini menuturkan, saat ini Jokowi tidak lagi mendengarkan suara rakyat. Ikrar Nusa Bakti mengatakan, telinga dan mata Jokowi telah tertutup untuk melihat bagaimana masa depan Indonesia.
Bahkan, Ikrar Nusa Bakti menduga Jokowi juga mempunyai harapan Gibran bisa menjadi presiden jika kelak Prabowo terpilih. Hal itu tak lepas dari usia dan rekam jejak kesehatan Prabowo.
“Tapi menurut saya seperti saya bilang itu kalau Prabowo ternyata tetap sehat jangan berharap yang namanya Gibran Rakabuming Raka akan diajukan oleh Prabowo untuk menjadi calon presiden pada 2029 kalau menang,” ujar Ikrar Nusa Bakti.
Sebab, Gibran bukan anak kandung partai Gerindra dan Golkar, meski dua partai itulah yang mengusungnya pada Pilpres 2024. Gibran, menurutnya hanyalah ‘anak kos’ yang disodorkan Jokowi untuk sementara tinggal di Gerindra dan Golkar.
Sementara pakar militer Connie Rahakundini Bakrie menyebut, Gibran adalah anak haram konstitusi. Sebab, Gibran yang dibantu pamannya telah menabrak konstitusi untuk bisa menjadi cawapres pada iPlpres 2024.
Dia menegaskan tidak mempermasalahkan anak muda bisa menjadi pemimpin Indonesia. Namun, proses untuk bisa menjadi pemimpin harus dilakukan dengan cara yang benar dan beretika.
“Tidak mungkin sebuah tujuan mulia dan benar kita bisa akan capai dengan tujuan yang tidak mulia dan tidak benar. Dan siapa yang mengizinkan untuk melakukan itulah menurut saya adalah para pemimpin atau politisi yang tidak tahu malu,” ujar Connie.
Connie juga menyampaikan kritiknya terhadap Jokowi. Menurutnya, Jokowi telah kehilangan fatsun politiknya sebagai pemimpin bangsa. Dia menuturkan, fatsun politik merupakan etika yang harus dimiliki dan dipegang teguh setiap pemimpin.
“Jadi ketika kita punya pemimpin yang sudah kehilangan etika dan dalam tanda kutip adalah pemimpin yang tidak tahu malu, maka bangsa ini dalam masalah besar,” ujar Connie.
Connie pun mengajak semua pihak untuk memberikan dukungan kepada anak-anak muda yang kritis terhadap pemerintah. Dia tidak ingin dugaan intimidasi aparat terhadap Ketua BEM UI Melki Sadek Huang lantaran mengkritik terkait putusan Mahkamah Konstitusi, terulang kembali.
“Bahwa anak muda bersuara itu bukan dia anti, tetapi dia ingin memperbaiki sesuatu. Dan jangan kita diam ketika melihat anak-anak muda seperti Melki dan lain-lain yang mencoba bersuara atau menyatakan kebenaran itu kemudian dibungkam atau ditakut-takutin,” ujarnya.
Connie mengajak seluruh akademisi tidak takut untuk mengkritisi pemerintah, termasuk kepada Jokowi yang dinilai tidak memiliki komitmen terhadap demokrasi.
“Ini tidak hanya soal Indonesia 2004, ini bukan hanya pemenangan siapa besok jadi presiden atau jadi wakil presiden. Tetapi mampukah kita mempertahankan menjaga Indonesia dan segala kepentingannya sampai 100 tahun, 200 tahun, 1000 tahun ke depan,” ujar Connie.
Untuk diketahui, diskusi tersebut dihadiri sejumlah tokoh bangsa, antara lain Laksamana TNI (Purn) Bernard Ken Sondakh, Jenderal Pol (Purn) Surojo Bimantoro, Eros Djarot, Henri Subiakto, dan juga Ray Rangkuti.