Jokowi Dijaga, Didukung, Atau ‘Dijongkrongke’?
Oleh: Erros Djarot
Ketika palu pengesahan Omnibus Law-Undang-Undang Cipta Kerja diketuk dalam ‘kegelapan’, maka rakyat pun berbondong turun ke jalan sambil membawa obor untuk menghalau kegelapan! Mereka pun meneriakan tuntutan; Keadilan harus ditegakkan!
Pada awal era kepemimpinan Jokowi, 2014, sebagai ‘The new elected president’, presiden baru terpilih, hasil Pilpres 2014-2019, Jokowi adalah bintang baru yang bersinar cerah. Ia dipuja,dan digadang-gadang sebagai Presiden pro rakyat yang merakyat. Rakyat Indonesia yang haus akan kehadiran seorang pemimpin yang sederhana, keturunan rakyat biasa, dekat dengan rakyat, dan merakyat, membuat Jokowi hadir sebagai ‘The hope and the darling of the people’ ( figur harapan yang populer dan disukai rakyat) .
Bahkan dengan lontaran Nawacita, Revolusi Mental, dan Trisaktinya, ia pun digadang-gadang sebagai penerus jejak langkah dan pemikiran Bung Karno sebagai pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Banyak kemudiaan yang berfanatik menobatkannya sebagai pemimpin barisan kaum Nasionalis Indonesia baru.
Memasuki pintu gerbang menuju periode kedua kepemimpinannya, Jokowi telah berada dalam kedudukan sebagai sentral kekuatan politik nasional. Posisinya yang begitu kuat, dimana kekuatan politik di kubu sipil maupun militer berada dalam genggamannya, menjadikan kepercayaan diri Jokowi melonjak begitu tinggi. Tapi justru dalam posisi yang demikian ini lah antara kekuatan yang berlebih dan kelemahan yang tak tampak tapi terbuka lebar, keduanya selalu hadir bersamaan.
Bermula dari perhelatan Pilpres 2019-2024, lewat strategi untuk hanya memunculkan 2 nama calon Presiden lewat hegemoni kekuasaan yang terbangun, di satu sisi; dan sisi lain membiarkan berkembang suburnya politik identitas, muncul lah persoalan yang serius. Massa rakyat terbelah menjadi dua kubu yang saling berhadapan. Atau lebih tepatnya, diperhadapkan. Akibatnya figur Jokowi pun mulai berhadapan dengan massa rakyat yang telah menganggapnya bukan lagi harapan tapi masalah. Mereka yang tak lagi menghendaki Jokowi, tampil lewat bendera Islam yang langsung diperhadapkan dengan bendera kaum Nasionalis dimana Jokowi bernaung.
Dalam kacamata sejumlah pengamat, bisa jadi pembiaran terhadap pemisahan ini merupakan bagian dari strategi pemenangan Jokowi. Dalam hitungan matematik, Jokowi dan para penasehatnya telah memperhitungkan bahwa sebagian besar kaum nasionalis pendukungnya pun beragama Islam. Ditambah dengan kaum minoritas dan kaum abangan, gabungan keduanya dipastikan masih sebagai kumpulan massa yang dalam hitungan jumlah, merupakan mayoritas. Hitungan itu tak salah, dan Jokowi pun keluar sebagai pemenang dalam Pilpres 2019-2024.
Namun celakanya, strategi pemenangan ala pembelahan massa rakyat ini, harus dibayar dengan harga yang sangat mahal bila dikaitkan dengan sejarah dan tujuan Indonesia merdeka. Semua mencatat bahwa sejak digelarnya Pilkada DKI Jakarta yang berakhir dengan tumbangnya Tjahaya Purnama alias Ahok dan munculnya Anis Baswedan, aroma politik identitas telah terasa begitu kental hadir dalam dunia perpolitikan di negeri ini.
Politik identitas ini menjadi kian meruncing ketika pembelahan melalui politik segregasi ini dijadikan pijakan strategi pemenangan perebutan kekuasaan dalam Pilpres 2019. Akibatnya perseteruan antar kubu kaum nasionalis dan kubu kaum ‘agamis’ yang dikonotasikan sebagai kelompok Khilafah YES-Pancasila NO, sengaja dikembangkan oleh para pemain lapangan politik (kaum Kapitalis global dan new imperialis). Perseteruan dua kubu ini mereka jadikan sebagai pijakan strategis untuk melumpuhkan persatuan rakyat Indonesia. Mereka sangat faham bahwa bersatunya rakyat dalam persatuan yang solid memahami tujuan Indonesia merdeka, merupakan syarat paling dasar untuk membangun Indonesia sebagai negara yang kuat, maju, dan bermartabat.
Dengan mengentalnya pemisahan garis antar kubu rakyat (Kadrun dan Cebong) yang terbelah dua ini lah, Hoax menjadi begitu dominan memimpin lalu lintas informasi di berbagai bidang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perilaku masing-masing kubu di media yang tampil saling merasa paling benar sendiri tumbuh subur dan liar. Bahkan seringkali terjebak ke dalam alam pemikiran dillusional yang memang disediakan ruang dan kemungkinannya oleh peradaban di era post truth ini.
Celakanya, di era kehidupan dimana obyektivitas bergerak liar di ruang maya, sebagaimana liarnya suguhan tentang ‘realita’ yang dihadirkan lewat subyektivitas kepentingan masing-masing kelompok, kurang dipahami oleh para pemimpin kita. Seolah masalah serius yang dihadirkan oleh peradaban era post truth, seperti dianggap tak ada dan tak berdampak apa-apa. Sehingga tanpa sadar para pemimpin kita pun terjebak masuk dan menjadi kumpulan manusia yang tak lagi mampu membaca ‘genuine reality’. Dalam keadaan demikian ini, para fihak yang tak menginginkan Indonesia bangkit sebagai negara yang terkuat di kawasan Asia-Asean, sangat jeli memainkan ‘abagadabra’ politik ala post truth ini.
Bangsa ini pun mengalami gegar budaya yang sangat serius. Keadaan gegar budaya ini, bukan sendirinya terjadi begitu saja. Dan tentunya bukan pula yang sesungguhnya diinginkan rakyat dan pemimpin kita. Ada pendapat yang mengatakan semua kejadian ini direncanakan oleh fihak tertentu, ‘by design’. Mereka yang merasa sebagai tertuduh, menangkis tuduhan dengan melempar isyu balik bahwa pendapat itu datang dari asumsi hasil pemikiran yang sangat konspiratif dan genuine dellusional. Dan celakanya, sebagaian besar pemimpin kita justru menyetujui bantahan ini.
Sebagai akibat, antara ‘kebenaran’ dan ‘pembenaran’ pun berada dalam ruang yang sama sehingga menjadi sulit untuk dipisahkan dan dibedakan. Pada akhirnya, saat masyarakat dalam kondisi gegar budaya yang sangat serius ini, kebenaran cenderung berada di tangan kekuasaan. Dengan kata lain, penguasa politik dan ekonomi, merupakan sejoli yang semakin memiliki legitimasi untuk menentukan norma dan nilai-nilai tentang kebenaran. Pameo bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan pun telah mati. Bersamaan itu pula demokrasi tengah berjalan menuju peti mati.
Bukti bahwa kondisi gegar budaya yang melahirkan pemikiran dillusioanal telah mewabah sangat parah, diwakili dengan baik oleh ucapan seorang menteri dalam sebuah dialog di salah satu Teve swasta. Dalam acara debat dengan para aktivis, sang menteri berkata lantang bahwa; segala sesuatu yang datang dari pemerintah (penguasa) dipastikan bukan Hoax dan pasti benar. Dengan kata lain, mereka yang di luar kekuasaan lah, yang lebih tepat dan berpotensi sebagai produser Hoax, penebar pemutarbalikan fakta, penyebar kebohongan, kebencian, dan sejenisnya.
Dengan sikap dan pemikiran ala penguasa yang demikian ini. Tidak mengherankan para aktivis politik seperti Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, dan kawan-kawannya, diciduk, diborgol, dan dipamerkan sosok mereka lewat tayangan Teve layaknya seorang teroris. Suatu tindakan yang hanya memancing kemarahan kelompok massa (mahasiswa, buruh, aktivis) yang belakangan lantang meneriakkan ‘Keadilan harus ditegakkan!’.
Soal penangkapan ini, delusi penguasa, dengan mereka ditangkap, tak akan ada lagi yang memanasi dan mengompori rakyat untuk berdemo dan melakukan tindakan anarkis. Pemikiran super sederhana ini, tanpa memperhitungkan bahwa penyulut api kemarahan justru bersumber pada gerak politik ala post truth yang dilakukan oleh para penguasa di arena gedung DPR, Senayan. Api yang tujuannya dipadamkan, malah berpotensi menyebar dan menjadi kian membesar.
Yang sangat disayangkan, kehadiran Omnibus Law gagasan pemerintahan Jokowi yang konon bertujuan baik dan mulia, menjadi berwajah buruk yang disebabkan oleh kematian akal sehat dalam ‘kegelapan’ yang melanda sidang paripurna DPR, 5 oktober 2020. Dan ketika palu pengesahan Omnibus Law-Undang-Undang Cipta Kerja diketuk dalam ‘kegelapan’, maka rakyat pun berbondong turun ke jalan sambil membawa obor untuk menghalau ‘kegelapan’! Mereka pun lantang meneriakkan; Keadilan harus ditegakkan!
Dengan ilustrasi panjang di atas, pertanyaan sederhana yang ada dalam benak; mereka yang berada di sekeliling lingkaran satu Presiden Jokowi, dan para pemimpin partai koalisi, benar-benar kah mereka tulus mengawal, mendampingi, melindungi dan menjaga Jokowi lewat opsi dan langkah positif untuk mengharumkan nama Jokowi sebagai Presiden yang merakyat dan pro rakyat? Atau sebaliknya, malah ‘njongkrongke’ (menjorokkan) Jokowi sehingga berada dalam posisi yang potensial menjadi ‘people enemy’ alias musuh rakyat?
Namun juga tersisa kemungkinan lain; jangan-jangan peristiwa ketuk palu ugal-ugalan ala DPR, 5 Oktober 2020, merupakan bagian dari manuver politik Jokowi sendiri? Jawaban akan pertanyaan ini pasti ada dan akan terjawab dalam perjalanan sejarah bangsa ini ke depan. Kita tunggu saja!
*Tulisan ini dikutip sutuhnya dan Watyutink.com
Advertisement