Joko Tingkir Orkestra Shalawat
Saya berbeda dengan Pak Dahlan Iskan. Tentang hal yang paling berkesan dari Resepsi Puncak 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU). Yang belum lama berlangsung di Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur.
Lewat tulisannya berjudul Abad Banser, Pak Dahlan merekam suasana menuju Delta Sidoarjo. Ia memang menjadi salah satu undangan VVIP. Tapi tak berhasil masuk ke lapangan karena sudah tertahan macet di jalan tol. Berjam-jam.
Mantan Menteri BUMN ini harus puas dengan menyaksikan jalannya resepsi lewat streaming di telpon cerdasnya. Tentu tidak akan sama seperti ketika menyaksikan langsung di lapangan. Ia mengakui hal itu karena layarnya kecil. Ratusan ribu Nahdliyin juga mengalami hal sama seperti Pak Dahlan.
Dari judulnya saja, ia sudah terkesan dengan tampilan Banser. Perhatiannya tertaut ke pasukan GP Ansor itu. Kepada Banser yang memenuhi lapangan utama. Mereka menjadi bagian pertunjukan. Melakukan koreografi dengan koreografer Deny Malik. Jumlah tepatnya ada dua ribu banser.
Pak Dahlan juga terkesan melihat Menteri BUMN Erick Thohir yang berada bersama ribuan banser itu. Yang bertugas menyampaikan laporan panitia kepada Presiden Joko Widodo. Sebagai Banser bersertifikat. Termasuk memperhatikan kesalahan kecilnya saat menutup sambutan laporan panitia.
Disinggung juga tentang Ibu Megawati yang hadir di acara puncak Harlah 1 Abad NU ini. Tentang ekspresi wajahnya yang kepanasan. Padahal, yang kepanasan bukan hanya Ketum PDIP ini. Tapi juga presiden, wapres, mantan wapres, dan para kiai yang hadir.
Seperti Pak Dahlan, saya sama-sama tak berada di lokasi. Tapi punya cara pandang berbeda dengan beliau. Mengikuti detik-detik acara yang hanya akan berlangsung 100 tahun sekali itu, saya begitu terkesan dengan pidato Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dan Orkestra Shalawat Asyghil.
Sungguh saya dibuat merinding oleh pidato Ketum PBNU dan penampilan 4 anak hebat yang melantunkan shalawat diiringi Twilite Orchestra dan Paduan Suara UIN Sunan Ampel ini. Bahkan, perasaan itu tetap saja terulang setiap kali memutar video rekaman dua peristiwa itu.
Saya terpaksa mengusap air mata berkali-kali. Sambil memandang Ka’bah dari ketinggian lantai 37 Swissotel Makkah, dini hari waktu setempat. Masuk dalam sepertiga malam yang dianggap paling istimewa untuk berdoa.
Ya, saya memang sedang di Haram saat warga NU lainnya memenuhi Sidoarjo. Sebab, saya tak mungkin membatalkan rencana mengantar umrah istri yang sudah dijadwal sejak dua tahun lalu. Saya hanya bisa ikut dalam beberapa rangkaian sebelumnya.
Gus Staquf –demikian sejumlah kawannya saat mahasiswa memanggil Ketum PBNU ini– menyampaikan pidato yang luar biasa. Singkat dengan pesan yang sangat jelas. Dengan gaya yang memukau.
Hari itu, saya menyaksikan sosok Gus Staquf bukan seperti yang saya kenal sejak puluhan tahun lalu. Hari itu saya menyaksikan Staquf baru. Staquf yang menggelegar. Staquf dengan power berlipat-lipat. Dengan rangkaian kata puitis, terpilih, dan intonasi yang tertata.
“Ini bukan suara Ketum. Tapi suara Joko Tingkir. Sollu ala Muhammad,” kata Kiai Imaduddin Utsman, kiai muda asal Banten. “Betul sekali Kiai Imad. Saya baru menyadari hal itu,” timpal Ulil Abshar Abdalla, Ketua Lakspesdam PBNU yang juga menantu Ketua Musytasyar PBNU KH A Mustofa Bisri.
Joko Tingkir atau yang dikenal sebagai Raden Mas Karebet adalah keturunan Raja Majapahit, pendiri Kerajaan Pajang. Ia murid Sunan Kalijaga. Tentara Kerajaan Demak yang kemudian menghancurkan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Kerajaan yang menurut banyak sejarawan menganut ajaran Islam fundamentalis. Kerajaan khilafah.
Setidaknya ada tiga momen paling dramatik saat Gus Staquf menyampaikan pidatonya. Ketika ia mengucapkan selamat datang di abad kedua Nahdaltul Ulama kepada Presiden dan Ibu Negara, saat menyampaikanya kepada Banser dan badan otonom NU, serta pada saat menyapa dunia.
Ketika menyebut presiden dan ibu negara, ia tampak penuh tawaduk sambil merangkul. Seperti seorang tuan rumah yang penuh akhlak sedang mempersilakan tamu terhormatnya untuk masuk ke rumah.
“Pak Jokowi dan Ibu, sugeng rawuh, selamat datang di abad kedua Nahdlatul Ulama,” katanya santun.
Setelah menyapa para kiai, para nyai, para ulama, dan para undangan serta hadirin semua, ia mengubah intonasi ketika menyapa Banser.
“Banser! Selamat datang di abad kedua Nahdlatul Ulama,” katanya menggelegar.
Hal yang sama disampaikan kepada Muslimat, Fatayat, Pagar Nusa, Ishari, Banom-Banom, dan kader NU lainnya.
Yang istimewa, ia tidak hanya menyapa Indonesia yang dianggap sebagai titik tolak masa depan yang lebih mulia bagi umat manusia. Tapi juga menyapa dunia.
Sapaan ini mencerminkan visi kuat yang akan diperjuangan NU dalam abad kedua ini. Ia sapa Indonesia dan dunia dalam intonasi ajakan.
“Dunia! Selamat datang di abad ke-2 Nahdlatul Ulama. O Universe, welcome to the 2nd century of Nahdlatul Ulama,” katanya dengan intonasi yang dalam.
Gus Staquf mengawali pidatonya dengan mengatakan bahwa seabad yang telah dilalui NU merupakan satu abad riyadlah dan abad tirakat dari para wali, kiai, dan pecinta NU.
Mereka yang dalam keadaan apapun tidak pernah berhenti meyakini bahwa berkah Nahdlatul Ulama adalah bekal masa depan yang lebih mulia bagi kita semua.
Hasilnya?
“Tirakat satu abad menjelma berkah raksasa, tirakat satu abad mendigdayakan Nahdlatul Ulama,” tegasnya.
Gus Staquf pun juga telah melalui laku tirakat amat lama. Baik saat masih belajar sampai setelah ia memimpin perahu besar dengan ratusan juta ummat.
Dalam tirakatnya itu, ia yakin jika ditakdirkan untuk memimpin NU dalam lintasan masa. Yakin bahwa NU didirikan Hadratus Syaikh Hasyim Asyari sebagai organisasi yang akan menentukan peradaban dunia.
Ia menjadi pemimpin NU yang punya keyakinan diri melebihi Gus Dur. Ia menjadi nakhoda para ulama dengan kalkulasi politik melebihi KH Idham Chalid. Dan ia layak memimpin NU di awal abad kedua perjalanan Ormas Islam ini.
Di luar dugaan pula, Rais Aam Kiai Miftahul Achyar yang menyampaikan pidato iftitah sebelumnya juga tampil dengan sangat kuat. Memberi landasan moril bagi Gus Staquf berikutnya.
Kiai yang berhidmah dari NU Jawa Timur ini juga menyampaikan pidato dengan amat kuat. Lancar, runtut dan pesan yang jelas. Hari itu, Kiai Mif –demikian biasa dipanggil– tidak seperti kiai sehari-hari sebelumnya.
Orkestra shalawat asyghil membuat penutup perhelatan harlah seabad NU makin haru biru. Menjadikan perhelatan ini tidak tampak sebagai hura-hura. Membuat perhelatan ini sebagai laku spiritual yang mengaduk emosi siapa saja yang masih mempunyai hati.
Shalawat yang diyakini kaum Nahdliyin sebagai doa terhindar dari kedzaliman ini membikin air mata mengalir. Mengaduk-aduk rasa, antara kepasrahan dan spirit untuk bekerja lebih cerdas, lebih keras, dan lebih ikhlas. Seperti pesan kuat yang disampaikan Gus Yahya Staquf
Shalawat ini dilantunkan empat anak pemenang lomba. Dua dari keempat anak itu penyandang disabilitas. Keduanya dikaruniai Tuhan tidak bisa melihat. Keempat anak itu adalah Azzam Mukjizat, Majda, Sayed Syauqi Alaidrus, dan Yasmin Najma.
Dari mereka, lantunan Shalawat Asyghil menghipnotis jutaan orang yang mendengarkan. Mereka memiliki suara jernih ketika melantunkan pujiannya atas Nabi. Kebeningan suara dan hati keempat anak ini klop dengan aransemen yang syahdu dan apik karya Addie MS.
Tak ada karya yang mampu membuat menangis banyak orang tanpa diciptakan melalui hati. Apalagi terkait musik religi. Rupanya ini yang terjadi pada pimpinan Twilite Orchestra.
“Beberapa kali mataku basah saat menulis aransemen Shalawat ini. Ada getaran yang mengharukan saat merangkai harmoninya. Ada rasa yang sulit dijelaskan saat merajut orkestrasinya,” katanya.
Persembahan shalawat Asyghil di akhir resepsi itu menjadi pengantar doa pamungkas yang disampaikan Wapres KH Ma’ruf Amin. Begitu doa selesai dipanjatkan, adzan Subuh berkumandang dari Masjidil Haram. Tepat setelah Kiai Ma’ruf yang mantan Rais Aam PBNU selesai salam.
Hari itu, Subuhku menjadi subuh paling istimewa sepanjang hidup. (Arif Afandi)