Joko Dolog, Sosok Pendiri Surabaya
Joko Dolog. Begitulah nama sosok arca Budha yang mendiami lahan kecil di belakang Taman Apsari, Surabaya. Lokasinya strategis, kerap menjadi lirikan masyarakat ketika bertandang ke gedung negara Grahadi di jalan Gubernur Suryo.
Ada yang sekedar memarkir kendaraan di sekitar area arca dan ada pula yang melepas dahaga dengan minum es teh, es degan, es soda gembira di lapak PKL yang tidak jauh dari keberadaan arca Joko Dolog.
Namun, tidak banyak dari mereka yang mengetahui siapa Joko Dolog itu, mengapa arca itu bisa di sana dan apa makna yang tersirat dari inskripsi yang ada?
Arca Joko Dolog adalah sosok benda arkeologi yang sangat mudah diakses, dilihat dan dikunjungi. Bertempat di sebuah taman kecil, di bawah sebuah cungkup yang diteduhi oleh dua pohon beringin dan didampingi oleh arca-arca dan serpihan benda-benda arkeologi lainnya di lahan taman yang berpagar.
Dari luar pagar sosoknya mudah dilihat dan untuk memasuki pagar pun juga sangat mudah. Siapapun bisa berkunjung ke tempat ini.
Arca Joko Dolog adalah perwujudan Raja terakhir dari kerajaan Singasari, yang bernama Kertanegara. Arca ini dibuat untuk menghormati Raja Kertanegara, yang terkenal kebijaksana dan berpengetahuan luas dalam bidang hukum.
Raja Kertanegara wafat pada tahun 1292 karena dibunuh oleh Raja Jayakatwang dari Kadiri dalam perebutan kekuasaan (Panjalu dan Jenggala).
Arca Joko Dolog ini sebenarnya berasal dari Desa Kandang Gajah, Wurare, desa Bejijong, kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Pada tahun 1817 arca ini dibawa ke Surabaya yang rencananya akan dibawa ke Belanda.
Tapi arca ini terlalu berat untuk diangkut dengan perahu dari Simpang ke pelabuhan untuk tujuan Eropa. Karena tidak berhasil dibawa, maka arca Joko Dolog tetap disimpan di lahan yang tidak jauh dari Istana Simpang (gedung Grahadi).
Mengapa arca Budha perwujudan Raja Kertanegara ini pada akhirnya harus menetap di Surabaya? Tahun 1817 adalah masa berkuasanya kembali pemerintah kerajaan Belanda di tahan Hindia Timur (Oost Indie) setelah sejak 1811 - 1816 Pemerintah Inggris berkuasa atas Hindia Timur.
Berdasarkan inskripsi pada arca Budha perwujudan Prabu Kertanegara ini diketahui bahwa arca ini menyimpan makna yang luar biasa. Di antara pesan tertulis dalam aksara Jawa Kuna itu terdapat harapan sang Prabu yang ingin menyatukan kembali dua wilayah yang terbelah. Yaitu Jenggala dan Panjalu.
Pada lapik dimana arca Joko Dolog bersila terdapat prasasti yang merupakan sajak, memakai huruf Jawa kuno, dan berbahasa Sansekreta. Dalam prasasti tersebut disebutkan tempat yang bernama Wurare, sehingga prasastinya disebut dengan nama prasasti Wurare.
Namun jika melihat lapiknya, disebut prasasti Wurare, sangat menarik karena memuat beberapa data sejarah di masa lampau. Angka prasasti menunjukkan 1211 Saka (1289 M), yang juga menurut legenda patung ini dibuat dan ditulis oleh seorang abdi raja Kertajaya bernama Nada.
Prasasti yang berbentuk sajak sebanyak 19 bait ini isi pokoknya dapat dirinci menjadi 5 hal, yaitu :
Pada suatu saat ada seorang pendeta yang benama Arrya Bharad bertugas membagi Jawa menjadi 2 bagian, yang kemudian masing-masing diberi nama Jenggala dan Panjalu. Pembagian kekuasaan ini dilakukan karena ada perebutan kekuasaan diantara putra Mahkota.
Pada masa pemerintahan raja Jayacriwisnuwardhana dan permaisurinya, Crijayawarddhani, kedua daerah itu disatukan kembali.
Pentahbisan raja (yang memerintahkan membuat prasasti) sebagai Jina dengan gelar CriJnanjaciwabajra. Perwujudan sebagai Jina Mahasobya didirikan di Wurare pada 1211 Saka.
Raja dalam waktu singkat berhasil kembali menyatukan daerah yang telah pecah, sehingga kehidupan menjadi sejahtera.
Penyebutan si pembuat prasasti yang bernama Nada, sebagai abdi raja. Patung tersebut dibuat untuk menghormati Kertanegara Putra Wisnu Wardhana sebagai raja Singosari pada masa itu. Beliau terkenal karena kebijaksanaannya, pengetahuannya yang luas dalam bidang hukum dan ketaatannya pada agama Budha serta cita-citanya yang ingin mempersatukan bangsa Indonesia.
Penyatuan dua wilayah Panjalu dan Jenggala ini adalah impian wawasan Nusantara, yang diinisiasi oleh Prabu Kertanegara. Namun sayang impian hanya sekedar impian karena sebelum ia mewujudkan impian itu, Raja Kertanegara wafat terlebih dahulu karena dibunuh oleh Jayakatwang dari Kediri (Panjalu) pada 1292 M. Namun demikian pesan wawasan nusantara ini kelak berhasil diwujudkan oleh pembesar Majapahit, Hayam Wuruk.
G.H. von Faber dalam bukunya “Er Werd Een Stad Geboren” memaparkan bahwa sesungguhnya Raja Kertanegara adalah Raja (Singasari) yang membuka permukiman baru yang diberi nama “Surabaya”.
Pembukaan permukiman bernama Surabaya pada tahun 1275 ini untuk menghormati para prajurit Kertanegara yang berhasil membantu meredam pemberontakan Kemuruhan pada tahun 1270.
Di antara masa 1270 hingga 1275 inilah sebuah permukiman baru disiapkan oleh Kertanegara dan resmi pada 1275 permukiman baru ini dibuka untuk dihuni oleh prajurit Kertanegara yang gagah berani (Jawara).
Handinoto, dalam Laporan Penelitian No. 01/Pen/ARS/1992 berpendapat bahwa bukan suatu kebetulan bahwa patung “Joko Dolog” yang merupakan gambaran dari Raja Kertanegara diletakkan di depan gedung “Grahadi”, sebab mungkin karena menurut hipotesis dari von Faber, Kertanegara dianggap sebagai pendiri Surabaya.
Dua alasan tersebut di atas (pesan inskripsi tentang wawasan nusantara dan simbol Kertanegara sebagai pendiri Surabaya) sangat masuk akal untuk menerima dan menempatkan arca Budha sebagai perwujudan Raja Kertanegara ini di Surabaya.
Memiliki benda arkeologi acra Budha “Joko Dolog” sangat membanggakan bagi warga Surabaya karena di dalamnya tersimpan semangat wawasan nusantara dan semangat persatuan dan kesatuan. Apalagi diketahui bahwa Raja Kertanegara adalah sosok yang mendirikan Surabaya, sebuah permukiman baru yang dikelilingi air (sungai dan kanal).
Advertisement