Jogja Lebih Terasa Tangani Pagebluk Covid Ketimbang Surabaya
Respon warga terhadap pencegahan Covid-19 terasa lebih nyata di Jogjakarta ketimbang Surabaya. Ini yang saya rasakan saat menjemput anak yang sedang kuliah di kota budaya itu.
Kok bisa? Hampir setiap kampung ada penjagaan mandiri dari warga. Tidak hanya secara fisik melalui penjagaan dan semprotan disinfektan di setiap pintu masuk kampung. Tapi juga pendataan warganya.
Sudah sejak lama saya memang menjadi warga ganda. Surabaya dan Jogja. Ini karena semua anak saya kuliah di sana. Mulai dari anak pertama sampai dengan si bungsu yang tahun ini menyusul kakak-kakaknya.
Saya ke Jogja dengan menggunakan kendaraan darat. Tentu dengan tetap mengikuti protokol Covid-19. Berangkat hanya berdua, pulangnya bertiga.
Tak hanya itu. Saya juga melengkapi dengan surat jalan. Surat tugas dari perusahaan tempat saya bekerja. Tentu perusahaan yang masih diperbolehkan beroperasi dengan mobilitas ke berbagai daerah.
Berangkat habis buka puasa, saya sampai Jogja empat jam setelahnya. Jalanan sangat amat lancar. Untuk tidak mengatakan sangat sepi.
Sepanjang perjalanan juga tidak berhenti. Kecuali hanya sekali mampir Rest Area untuk buang air kecil. Tidak berinteraksi dengan orang selama perjalanan.
Karena masuk Jogja jelang tengah malam, maka tidak perlu menjalani pemeriksaan di check point. Check point pertama masuk Jogja ada di samping Candi Prambanan.
Masuk kota Jogja juga aman. Demikian juga saat masuk kampung di daerah Jogja Utara. Setiap pintu masuk kampung memang ada penjagaan. Namun tidak sampai ada pemeriksaan.
Pos-pos penjagaan setiap perkampungan memang ada. Mereka terdiri dari warga kampung yang secara bergiliran bertugas jaga.
Juga tampak sejumlah gerbang penyemprotan disinfektan. Biasanya jika ada mobil dari luar kota, pemeriksaan memang dilakukan. Tapi, malam itu saya tidak mengalaminya.
Jalanan sepi. Hanya ada beberapa tempat yang masih berjualan gudeg dan jajanan. Tapi tidak sebanyak dan seramai dalam kondisi normal.
Malam itu langsung istirahat. Baru besok siangnya, saya didatangi Ketua RT dan stafnya. Mereka menanyakan kok saya tidak melaporkan kedatangan saya.
"Maaf Pak, kalau tidak lapor dan ketahuan Gugus Tugas, kami dari RT yang disalahkan," katanya. Protap itu berlaku di semua perkampungan.
Beberapa waktu lalu, katanya, ada anaknya bendahara RT yang pulang dari Jakarta juga wajib lapor. Saat itu, Jakarta menjadi zona merah penyebaran virus Corona.
Saya pun menjelaskan kalau tidak lapor karena siang itu akan langsung balik ke Surabaya. Hanya menjemput anak untuk mudik, eh...pulang kampung.
Hanya karena masih agak kecapekan, kepulangan kembali ke Surabaya ditunda habis berbuka puasa. Pak RT pun memahaminya. Urusan selesai.
Terasa sekali ada protokol yang dipatuhi semua warga, termasuk para aparat RT. Sesuatu yang tak terasa di berbagai kampung di Surabaya.
Anak saya yang tinggal di kampung itu cerita kalau baru saja dapat pemberian sembako dari RT. "Bilangnya semua warga mendapatkan," katanya.
Sembako itu berisi beras, teh, gula dan minyak goreng. Yang menarik, mereka menyebutkan sembako itu pembagian dari RT. Terasa sekali pelibatan RT dalam penanganan pandemi Corona.
Yang bikin saya terkesan adalah kecepatan Pak RT mengetahui kedatangan saya. Berarti ada sistem deteksi yang memungkinkan kedatangan orang luar ke kampung tersebut cepat diketahui.
Apapun, penanganan virus ini memang membutuhkan sistem informasi dan data. Itu yang membuat penanganan virus ini di Taiwan maupun China efektif.
Sementara di Surabaya, sistem ini tampaknya belum berjalan dengan baik. Ini terbukti dengan terungkapnya cluster Sampoerna yang begitu lama.
Konon, dua minggu sebelum cluster itu terungkap ke publik, pihak manajemen sudah lapor ke gugus tugas Surabaya. Namun tidak mendapatkan respon cepat. Sehingga mereka kemudian lapor ke gugus tugas provinsi di kemudian hari.
Padahal, warga Surabaya sebetulnya punya gairah partisipasi yang tidak kalah dahsyat dengan warga Jogjakarta. Sepanjang mereka digerakkan dengan tepat oleh kepemimpinan daerah yang mumpuni.
Saya baru mulai merasakan keseriusan dalam deteksi potensi penyebaran Covid-19 ketika pulang dari Jogja. Dalam perjalanan pulang, kami harus melalui pemeriksaan di check point Ngawi.
Semua pengguna jalan tol Trans Jawa digiring keluar gerbang Tol Ngawi.
Setiap kendaraan yang lewat diperiksa penumpangnya. Ditanya tujuan perjalanannya. Juga dicek KTP mereka yang ada dalam kendaraan. Pemeriksaan serupa dilakukan di pintu masuk Surabaya di Bundaran Waru.
Yang pasti, sampai dengan saat ini, temuan positif Covid-19 di Jogja jauh lebih kecil dibanding Surabaya. Padahal, di sini diberlakukan PSBB di sana tidak.
Mungkinkah keberhasilan pengendalian virus Corona sangat terkait dengan keseriusan pemimpin daerahnya? Bisa jadi demikian. Jogja lebih terasa menangani pagebluk ini.
Advertisement