Joget Udara Tak Terasa
Ini sepenggal kisah KH Abdurrahman Wahid ketika menjadi Presiden Republik Indonesia.
Saat itu, kami mampir ke Abu Dhabi, UEA, sebelum mengikuti KTT OKI di Doha, Qatar. Saya gelisah karena media massa dan para politisi di tanah air sedang ramai meributkan biaya perjalanan luar negeri Presiden yang konon selama satu setengah tahun masa kepresidenan telah menghabiskan 52 milyar rupiah.
Tapi dari diplomasi dalam kunjungan sehari itu, Presiden berhasil memperoleh komitmen dari Penguasa UEA, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan, berupa bantuan hibah sebesar 200 juta dollar Amerika untuk Indonesia. Saya semprotkan berita itu kepada teman-teman wartawan,
“Kalian ributkan 52 milyar, ini baru satu tempat saja sudah dapat 200 juta dollar!”
Mereka cuma nyengir. Dan gugatan riuh-rendah tentang “pemborosan” 52 milyar itu tidak berhenti. Dan hibah 200 juta dollar itu tak sehuruf pun muncul dalam berita media massa.
Karena gugatan pemborosan itu, pada lawatan berikutnya ke Australia, rombongan Presiden tidak menyewa Boeing 737 milik GIA seperti biasanya, tapi meminjam Boeing 707, pesawat tua milik TNI. Walaupun tua, pesawat itu masih kelihatan gagah dan lebih gemuk ketimbang milik GIA. Take-off-nya mulus. Dan setelah berada di udara, tak terasa lagi bedanya dari pesawat baru.
Para penumpang bercengkerama menunggu akhir perjalanan, yakni Canberra, ibu kota Australia. Tapi, beberapa saat menjelang masuk kawasan udara Australia, pesawat tiba-tiba oleng. Seluruh penumpang menjerit. Pramugari berusaha menenangkan, tapi gagal menyembunyikan roman ngeri dari wajahnya sendiri. Pilot kemudian menjelaskan persoalan: pesawat tua itu bermesin ganda di setiap sayapnya, salah satu mesin di sayap kiri macet sehingga pesawat jadi tidak seimbang.
“Tak perlu kuatir”, kata pilot, “kita akan berusaha bertahan sampai Darwin, dan mendarat darurat disana. Harap berdoa menurut keyakinan masing-masing”.
Selanjutnya pesawat bagai menari-nari terbangnya, karena salah satu mesin di sayap kanan harus dimatikan (untuk mempertahankan keseimbangan) lalu dihidupkan lagi (untuk mempertahankan ketinggian) bolak-balik. Kabin pesawat senyap. Para penumpang tidak berjarak dari Tuhan.
Sekitar dua setengah jam seperti itu, sebelum akhirnya mendarat dengan selamat di bandara Darwin. Bersalaman dengan Presiden, pejabat setempat yang menyambut memperkenalkan diri,
“George Brown, Wali Kota Darwin”.
Presiden nampak heran, tapi tak berkata apa-apa.
Di ruang VVIP, Presiden berbisik kepada Wimar Witoelar,
“Kok malah Wali Kota Darwin? Lha John Howard-nya mana?”
“Lhah kita kan memang turun di Darwin, Gus!”
“Lho? Bukannya Canberra?”
Rupanya Presiden tidak tahu bahwa pesawat mendarat darurat di Darwin, bahkan sama sekali tidak menyadari kerusakan mesin dan joget udara dua setengah jam, karena beliau tidur dengan lelap sekali!
Pemerintah Australia meminjamkan dua pesawat jet kecil untuk mengangkut rombongan Presiden melanjutkan perjalanan ke Canberra.
(Dikutip dari Terong Gosong Yahya Cholil Staquf. Kiai asal Rembang Jateng ini adalah salah satu Jubir Presiden Gus Dur)