Joe Biden dan Langkah Recovery Perekonomian Kita
Tampilnya Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bertepatan dengan mulai bangkitnya dunia membasmi Covid-19 yang ditandai dengan dimulainya vaksinisasi di berbagai negara. Di bawah Trump, AS tidak lagi menganggap diri sebagai pemimpin dunia, sebaliknya “inward looking”. Trump juga tidak percaya isu pemanasan global dan tidak percaya pendapat pakar kesehatan sehingga akibatnya ada 24 juta kasus Covid-19 dan 400 ribu orang meninggal di negara tersebut, terbesar d idunia.
Dengan tampilnya Biden , dunia berharap AS akan memperbaiki peran dunianya atau lebih outward looking, sehingga membuka peluang kerja sama multilateral yang lebih luas terutama dalam rangka membasmi Covid-19. Banyak yang memperkirakan “iklim politik dunia” akan lebih kondusif dari sebelumnya. Terutama perang dagang AS - RRC. Wallahu a’lam.
Tiga bulan ke depan menjadi bulan penting, apakah Indonesia mampu keluar dari lingkaran Covid-19 dan mengatasi dampak ikutannya di bidang ekonomi. Vaksinasi massal telah dimulai dan kita menunggu langkah recovery (pemulihan) ekonomi lebih lanjut.
Siapa pun presidennya, pilihan kebijakannya tidak mudah terutama mencari dana segar untuk menggerakkan roda ekonomi di tengah situasi ekonomi dunia yang terpuruk. Tentu ada peluang dan risikonya.
Dan ada dua hal lagi yang krusial karena akan mempengaruhi sukses dan tidaknya kebijakan pemerintah:
Pertama: Keseriusan Parpol untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Dua menteri dari parpol yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah langkah awal yang membuat optimisme pemberantasan korupsi. Lebih optimis lagi kalau parpol pro-aktif mencegah kadernya dari perilaku korup. Jangan pula pemberantasan korupsi mengurangi soliditas Koalisi Pemerintah.
Kedua: Pembelahan politik diakar rumput sebagai residu pilkada DKI Jakarta sesegera mungkin dipersempit. Persoalan pokoknya adalah “kesenjangan ekonomi yang melebar pasca-Reformasi“ dan bukan rasialisme atau intoleransi seperti yang sering kita dengar. Mungkin mereka yang menyebut intoleransi tersebut menggunakan Liberalisme dan bukan menggunakan Pancasila sebagai parameter untuk mengukur kadar toleransi.
Sedapat mungkin elite politik tidak menunggangi ormas khususnya ormas keagamaan menjadi semacam kendaraan politik. Apalagi dengan menebarkan isu politik adu domba yang tidak produktif untuk membangun persatuan bangsa.
Sudah saatnya Pendidikan Ideologi Pancasila (PIP) menjadi arus politik utama untuk memperkokoh persatuan dan perkuatan ideologi bangsa dan negara. Pembubaran ormas ekstrem tidak serta merta mematikan upaya untuk penyebaran ideologinya. Tidak terlalu sulit untuk mendeteksinya keberadaannya, walaupun telah bersembunyi di balik baju merah, putih, hijau atau coklat.
PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila) adalah jawabannya dan dalam mempersempit pembelahan masyarakat tidak perlu menciptakan suasana horor. Sebaliknya melalui proses penyadaran ideologis seperti dialog, pendidikan, penggalangan dengan menggunakan ideologi Pancasila sebagai pelurunya.
DR KH As'ad Said Ali
Pengalamat sosial politik, tinggal di Jakarta.