JKW, RR, SMI, BLBI dan Century
Oleh: Erros Djarot
Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, menjaga kehidupan berkonstitusi merupakan kewajiban paling mendasar yang harus dilakukan oleh siapapun yang berkuasa di negeri ini. Dalam praktiknya, sudah beberapa dekade berjalan, menjaga kehidupan berkonstitusi secara baik dan benar, selalu gagal.
Berbagai perilaku dan kegiatan bernegara banyak yang berjalan di atas produk hukum dan peraturan yang justru tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 sebagai sumber hukum, maupun dengan nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Bangunan ekonomi kita yang liberal kapitalistik, sangat bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Idem ditto bangunan politik dengan pilihan demokrasi hiper liberal kebablasan yang sangat bertolak belakang dengan amanat sila keempat dari Pancasila.
Apakah dengan demikian Indonesia hari ini lebih sebagai negara kekuasaan. Ini pun tidak. Pemerintah, atas nama demokrasi malah memberi kebebasan yang superluas untuk setiap warga menyampaikan pemikiran dan pendapatnya. Sangat berbeda saat rezim Orde Baru berkuasa. Pemerintahan pasca Orde Baru justru berbanding terbalik dan bahkan berlebih dalam menjabarkan kebebasan (Demokrasi hiper liberal)
Yang menjadi korban keliaran hidup berkonstitusi ini, rakyat lah yang paling merasakan. Bingung dan tidak tau mana yang benar merupakan gejala umum dalam kehidupan mayoritas rakyat secara nasional. Satu hal yang dapat dijadikan contoh adalah masalah hutang BLBI dan dugaan terjadinya praktik melanggar hukum dalam kasus Century. Dalam dua kasus ini masyarakat terombang-ambing dalam kebingungan; mana dan siapa yang benar?!
Baru-baru ini kasus BLBI dan Century mulai kembali hangat dipergunjingkan masyarakat. Kali ini, Rizal Ramli (RR) sudah begitu terbuka menunjuk langsung hidung pelaku kejahatan ekonomi yang merugikan negara begitu besar. Yang paling serius adalah tudingan RR terhadap Sri Mulyani (SMI) yang begitu terbuka dan sangat berani. Mana mungkin RR dengan segala kredibilitas yang dipertaruhkan, tanpa bukti yang valid berani menyerang dan menuding SMI telah melakukan tindakan merugikan negara lewat kebijakan penjualan aset negara (BDNI) yang sangat tidak masuk akal.
Pada saat pelepasan dari Menkeu Budiono aset BDNI saat itu masih bernilai Rp4,8 triliun (pemerintahan Megawati). Oleh SMI sebagai Menkeu dalam pemerintahan SBY, aset dijual dengan nilai yang hanya mencapai Rp200 milyar. Selisih angka yang mencapai Rp4,6 triliun yang sangat fantastis inilah dijadikan alasan oleh RR menuding SMI telah melakukan tindakan yang merugikan negara. Secara tidak langsung RR menegaskan perbuatan sejenis ini masuk dalam golongan kejahatan kaum kerah putih (white collar crime).
Pernyataan RR ini menjadi super serius karena disampaikan di hadapan majelis hakim dalam persidangan perkara Dipasena yang melibatkan nama seorang konglomerat yang dikenal dekat dengan penguasa. Sebagai fakta persidangan pernyataan RR ini jelas mempunyai konsekuensi hukum.
Sebagai seorang yang mengenal SMI, saya sangsikan SMI secara sadar bersekongkol melakukan tindak kejahatan sebagaimana yang dituduhkan RR kepada SMI. Namun dengan keberanian RR memberikan kesaksian dalam persidangan, saya mulai bertanya-tanya: apa iya?
Begitu juga dengan kasus Century. Ditambah lagi dengan hutang BLBI yang harus dibayar pemerintah yang setiap tahunnya sekitar Rp60 triliun. Kelakuan para konglomerat hitam yang melakukan, rakyat dan pemerintah yang harus menanggung, sementara mereka sekarang kembali berjaya dan mulai sok kuasa membeli semua yang ada termasuk para politisi dan penguasa!
Pantaslah kalau RR marah dan rakyat pun mendukungnya. Tapi apa iya SMI sejahat itu? Nah, tinggal lagi pak Jokowi, ayo tuntaskan rencana memperhadapkan Sri dan Rizal untuk saling menguji; kebenarankah yang mengemuka atau pembenaran? Rakyat ingin tahu pak. Sekaligus agar rakyat pun tahu, urusan BLBI dan Century sampeyan gak melok-melok. Dan tentunya siap membongkar tuntas!
* Tulisan ini Dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com