JK, KPK & Pemberantasan Korupsi
Oleh Erros Djarot
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), mengatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kinerjanya pasti ada kekurangan dan kekhilafan. Hal ini sepenuhnya benar karena menjalankan tugas kurang pas dan tanpa sadar melakukan kekhilafan, adalah perbuatan yang sangat manusiawi. Selanjutnya KPK dinyatakan sebagai bukan Malaikat, itu pun benar adanya.
Tapi yang pasti, sebagai lembaga, KPK adalah musuh dan lembaga yang paling tidak disukai oleh para setan dan genderuwo. Begitu pula para rampok dan garong pembobol uang rakyat dan negara, pasti merasa sangat terganggu kinerjanya dengan keberadaan KPK. Apalagi ketika KPK bebas bergerak mengamati ulah mereka, siang dan malam, kapan saja dan di mana saja.
Kebebasan melakukan apa saja dalam kaitan kerja pemberantasan korupsi, belakangan ramai dipersoalkan. Undang-Undang yang menempatkan KPK sebagai lembaga yang super body, dirasakan perlu direvisi. Tujuannya agar tindak kesewenang-wenangan tanpa ada yang bisa mengontrol dan menghentikan saat KPK bertindak dan menjatuhi putusan atas kasus yang ditangani, itulah yang dipersoalkan. Pasalnya, di dalam tubuh KPK sendiri ditengarai terjadi pengelompokan di antara para penyelidik dan penyidik. Hal ini bermuara pada tudingan adanya bohir-bohir yang memelihara mereka.
Lebih terasa lagi kecurigaan ini mencuat ke permukaan sejak terjadinya musibah yang menimpa diri Novel Baswedan. Sehingga sikap netral-profesional para penyidik maupun penyelidik dan petugas pun di lingkungan KPK pun menjadi dipertanyakan kualitasnya. Bahkan ada yang lebih jauh berspekulasi bahwa para komisioner pun ada yang menjadi kepanjangan tangan yang bertugas menjaga kepentingan dari individu boss partai-institusi tertentu. Walau dugaan ini hingga sekarang belum mampu menyodorkan bukti-bukti yang menguatkan dugaan tersebut.
Atas asumsi-asumsi yang berkembang atau ‘sengaja dikembangkan’, pihak DPR berinisiatif untuk melakukan revisi terhadap undang-undang yang mengatur keberadaan dan wilayah kewenangan kerja KPK. Hal inilah yang dengan penuh semangat didukung oleh JK lewat beberapa pernyataannya. Tentunya dalam hal ini saya yakin, dan haqul yakin, JK tidak ada niatan sedikit pun untuk memperlemah kewenangan dan membatasi ruang gerak KPK dalam melaksanakan kerja pemberantasan Korupsi.
Tapi kita pun tidak boleh menutup mata dan melupakan catatatan yang membukukan rekam jejak kinerja DPR di era reformasi selama ini. Seperti terjadi pada saat melakukan amandemen terhadap UUD’45. Kesepakatan para pimpinan partai pada saat itu, sebelum DPR-MPR bersidang, hal yang perlu dilakukan perubahan disetujui oleh para pimpinan partai penggerak roda reformasi, terbatas hanya pada dua isu: heavy eksekutif dan pembatasan jabatan presiden. Namun ketika digelontorkan sebagai bahan yang harus dibahas dan disempurnakan di sidang MPR dan selanjutnya (1999-2002), setelah melalui empat kali amandemen, UUD’45 menjadi berubah hingga lebih pantas disebut sebagai UUD 2002.
Kekhawatiran bahwa upaya merevisi UU KPK akan berakhir dengan sebuah tragedi konstistusi sebagaimana terjadi pada amandemen UUD-45, bukanlah sesuatu kekhawatiran yang tanpa dasar. Apalagi kandidat yang cukup potensial menjadi mangsa KPK adalah para wakil rakyat yang terhormat, anggota DPR RI maupun para legislator di tingkat provinsi maupun daerah tingkat dua itu sendiri. Banyaknya para wakil rakyat yang terjerat hukum atau bahkan terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, hal ini bukan merupakan isapan jempol atau hoax. Peristiwa ini merupakan kenyataan yang sangat memprihatinkan.
Oleh karenanya dukungan terhadap upaya melakukan revisi terhadap UU KPK harus disertai pengawasan ekstra ketat. Agar revisi yang dilakukan tidak melebar hingga upaya melemahkan kedudukan, kewenangan dan penciutan wilayah kerja KPK dalam melakukan kerja pemberantasan korupsi, berhasil dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan terjadinya hal itu. Setidaknya Presiden harus benar-benar memberi dukungan moral dan politik agar revisi UU KPK tidak berakhir menyedihkan. Jangan sampai hasil revisi identik dengan memberi kemenangan kepada para calon koruptor.
Secara pribadi, saya sangat mendukung upaya pembersihan dalam tubuh KPK. Tapi sebagaimana pepatah kuno, menangkap tikus yang menggerogoti dan merusak lumbung padi, tidak harus dilakukan dengan membakar lumbung padinya. Kecuali lumbung padi ini ada yang berpandangan perlu dan harus dibakar. Karena keberadaannya merupakan penghambat dan penghalang keleluasaan para pedagang beras melakukan permainan harga semaunya (pedagang-importir nakal), bekerja sama sangat erat dengan para pengantur lalu lintas perdagangan beras (pejabat korup).
Sebenarnya, buat apa susah-susah merevisi UU KPK. Kalau mau tuntas memberantas korupsi secara terpola, terencana, terstruktur, terukur dan terjamin bakal sukses, ajukan saja Undang-Undang pembuktian terbalik. Sehingga tugas lembaga pemberantas korupsi tidak lagi susah-susah harus mencari barang bukti dan pembuktian yang njlimet.
Dengan modal UU pembuktian terbalik, seseorang, seperti para pejabat negara, petinggi militer, para legislator, para hakim, jaksa, dan lain-lain dibenarkan oleh hukum untuk dimintai pertanggungjawaban. Merekalah yang harus menjelaskan kepada petugas penegak hukum atau di meja persidangan, dari mana kekayaan yang melimpah ruah mereka dapatkan? Sementara berdasarkan data income per bulan yang mereka terima secara resmi, sangat jauh lebih rendah dan sangat tak mungkin bisa memiliki harta sebagaimana yang mereka miliki setelah duduk sebagai pejabat, petinggi negara dan pengusa.
Satu hal yang menarik adalah pernyataan JK yang mencibir KPK bahwa banyaknya hasil tangkapan yang dilakukan KPK bukan ukuran sebuah keberhasilan yang perlu dibanggakan. Karena kesuksesan pemberantasan korupsi justru diukur dari semakin sedikitnya koruptor yang dijaring KPK. Hal ini menarik, karena pernyataan ini justru mengundang pertanyaan; bukankan yang Pak JK lakukan seperti menepuk air di dulang terpercik wajah sendiri?
Bukankah maraknya korupsi di sebuah negara sering diidentikan oleh para pengamat sebagai bagian dari pemerintahan yang terindikasi sebagai pemerintahan yang korup. Artinya tidak adanya good governance merupakan pintu masuk bagi tidak terciptanya sebuah pemerintahan yang bersih (clean government). Dalam hal ini bukankan duet Pak Jkw dan Pak JK kedudukannya adalah sebagai kapten kapal dari kapal besar yang bernama Indonesia? Dan baik buruknya para kelasi, mualim, juru mesin, juru masak, dan siapa pun yang bekerja di kapal tersebut, sepenuhnya menjadi tanggungjawab sang Kapten kapal. Bukankah begitu?
Jadi Pak JK, kalau ada juru mesin yang nakal (maling), berhentikan, pecat, dan kalau perlu beri hukuman seberat-beratnya. Tapi jangan mesin kapalnya yang diganti apalagi dirusak. Sangat setuju kalau ada salah satu atau sebagian onderdilnya diganti. Agar kapal dapat berlayar lebih baik, lebih cepat, efisien dan efektif.
Sebagai catatan, masih banyak lho Pak JK anak buah di kapal bapak yang hobinya jual oli dan onderdil mesin kapal. Pendek kata masih banyak yang korup. Karenanya tim pengawas khusus masih sangat perlu dihadirkan pak!
Andai saja pihak keamanan kapal yang resmi bertugas melakukan pengawasan bekerja dengan baik sebagaimana harapan, tim pengawas khusus tak perlu dibentuk. Tapi kalau tim yang ditugaskan secara resmi untuk melakukan pengawasan malah ikut bermain dengan tikus-tikus kapal, ya berabe Pak. KPK-nya di kapal yang bernama Indonesia ini, ya masih perlu ada Pak.
Saya malah titip kepada Pak JK, tolong KPK dijaga dan diperkuat keberadaannya. Dan mudah-mudahan Pak JK masih ingat syair lagu...Bila sang kucing tak ada di rumah.., anak tikus bersorak horeeee..!
*Tulisan ini kami kutip sepenuhnya dari Watyutink.com.
Advertisement