Jilbab Lagi, Jilbab Lagi: Ada Apa?
Pelarangan jilbab bagi petugas kesehatan di Rumah Sakit Medistra menjadi berita besar yang menghiasi berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Beberapa hari sebelumnya, terjadi isu sejenis yakni pro dan kontra terhadap pelarangan pemakaian jilbab oleh Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terhadap para petugas Paskibrata dalam rangka peringatan Hari Proklamasi.
Saya menjadi teringat pelarangan jilbab terhadap murid wanita sekolah negeri oleh Mendiknas DR Daoed Joesoeuf (era Orde Baru) yang menimbulkan protes keras di masyarakat. Ketika itu Ka-BAKIN Jenderal Yoga Soegama memerintahkan Brigjen Soenarso Jayusman (atasan langsung saya) untuk meminta pendapat tokoh muda Muslim agar dapat memahami esensi persoalan sesungguhnya. Beliau kemudian memerintahkan saya untuk menghubungi DR Amien Rais yang dianggap intelektuil Muslim yang mumpuni.
Jendral Yoga Soegama sangat puas atas pendapat dan saran Pak Amien Rais, sehingga kebijakan pemerintah tersebut ditarik kembali. Pada intinya Pak Amien Rais mengatakan bahwa memakai penutup kepala hukumnya wajib bagi wanita yang sudah baligh. Namun para orang tua umumnya tidak memaksa, melainkan menyarankan sebaiknya anaknya memakai jilbab sebagai bagian dari proses penyadaran pentingnya “kesadaran pribadi": dan bukan menjalankan ibadah karena terpaksa.
Ihwal Pelarangan Jilbab
Atas dasar dua kasus pelarangan jilbab dalam kurun waktu yang berbeda tersebut, tampak adanya pandangan yang kurang tepat tentang hubungan antara “Pancasila dengan Agama". Kedua pejabat di atas melihat hubungan antara agama dengan Pancasila dan negara dari “perspektif Liberalisme atau Barat". Seharusnya agama diletakkan dalam konteks ideologi negara Pancasila.
Liberalisme yang lahir pascaperang agama selama 70 tahun di Eropa antara pemeluk Katolik versus Protestan yang berakhir pada 1648; mengakibatkan hilangnya kekuasaan politik Sri Paus. Agama dijauhkan atau dipisahkan dari politik. Sistem politik (Liberalisme) menempatkan agama di luar urusan negara, sehingga jilbab misalnya bukan urusan negara.
Sedang ideologi Pancasila bukanlah bagian dari Liberalisme Barat, melainkan ideologi khas Indonesia yang meletakkan sila pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian agama menjadi faktor penting bahwa meskipun Indonesia bukan negara berdasarkan agama, tetapi negara menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan nilai lainnya antara lain demokrasi, keadilan sosial, budaya dll. Seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Penulis terkemuka Amerika Serikat, Alfred Stephan menganggap adanya hubungan sangat erat antara agama-negara dengan istilah “Twin Toleration" atau toleransi kembar. Maksudnya “Negara menoleransi agama sebagai azas (sistem nilai), sedangkan negara adalah penjaga asas tersebut. Dengan kata lain negara dan agama tidak dipisahkan, sebaliknya negara dan agama saling bahu-membahu.
Para ulama sejak perdebatan di BPUPKI menerima Pancasila, Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya karena sesuai dengan khazanah keilmuan ulama Abad Pertengahan sebelumnya yang pada intinya menempatkan agama bahu-membahu bersama negara dalam membangun peradaban dunia. Istilah Twin Toleration ternyata dikutip dari pendapat Imam Al-Ghazali bahwa “negara dan agama seperti layaknya saudara kembar yang tidak terpisahkan satu sama lain, agama adalah asas (sistem nilai) dan negara adalah penjaganya (kharis).
Dan kelebihan para ulama Indonesia sejak dahulu kala adalah menerapkan kaidah-kaidah agama sejalan atau selaras dengan budaya dan perkembangan situasi masyarakat, sehingga belum pernah terjadi perang agama yang besar.
Jika kita secara konsisten berpegang pada Pancasila dan lambang Garuda Pancasila, maka perlu selalu dijaga keseimbangan antara nilai agama dengan budaya-politik dalam praktik bernegara. Agama apapun tidak boleh mengesampingkan visi atau politik negara, sebaliknya negara juga tidak boleh mengabaikan kemaslahatan umat beragama.
Untuk itu diperlukan pikiran cermat dan langkah hati-hati dalam mengelola kehidupan umat beragama, sehingga tidak timbul kesan nagara meninggalkan atau menyepelekan peran agama. Sebaliknya pemimpin agama juga jangan abai terhadap persoalan yang dihadapi oleh negara. Karena itu ada baiknya seluruh komponen bangsa memahami pesan moral Pancasila.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.