Jil P. Kalaran : Saya Kena Covid
Selama pandemi berlangsung sudah satu setengah tahun ini, saya memang pantang ke luar rumah. Beberapa pekerjaan bikin video terpaksa saya tolak. Saya hanya menerima ngeditnya saja. Selama pandemi saya berusaha hidup sebersih mungkin, makan makanan yang sehat dan taat pada prokes.
Seperti biasanya, setiap bulan saya harus kontrol ke rumah sakit. Kebetulan saya penderita diabet dan tensi yang selalu turun naik, meskipun gula darah saya tidak pernah melampaui 200 (saya harap jangan). Tanggal 30 Juni adalah saatnya kontrol bulanan ke rumah sakit (gak perlu saya sebutkan ya nama rumah sakitnya). Hasil lab gula darah saya bagus, 103. Seperti biasanya pula, usai diperiksa dokter saya pun dapat obat.
Sehari setelah dari rumah sakit saya merasa badan gak enak. Isteri kebetulan sudah diserang batuk lebih dahulu. Malam harinya badan saya panas (saya telah konsumsi paracetamol), lalu mulai flu, batuk-batuk, demam. Saya mulai minum demacolin.
Hari berikutnya saya dapat obat batuk dari dokter saya, acetylcystein. Tapi batuk saya parah, tidak mau berhenti, sampai tenggorokan saya terasa terbakar dan kalau menelan terasa perih seperti ditusuk-tusuk. Belakangan baru saya tahu dari salah satu keponakan yang apoteker bahwa acetyl memang merangsang untuk batuk dan mengeluarkan dahak.
Saya segera ganti obat batuk, sirup, namanya siladex dan untuk tenggorokan saya diberi FG Troches. Setelah itu agak mendingan. Batuk mereda dan saya bisa tidur dengan enak. Tapi yang namanya demam terus saja turun naik. Artinya, panas mereda jika dikasih demacolin. Begitu durasinya selesai badan panas kembali.
Hari ketiga -- saya masih demam dan batuk -- usai dari kamar mandi tiba-tiba nafas agak sesak dan pandangan seperti berkabut. Isteri saya, Retno Priyatni memegangi badan saya yang masih berdiri di samping tempat tidur. Lalu saya diberikan air hangat dan saya meminumnya terus. Alhamdulillah tubuh stabil lagi dan saya tidur.
Sewaktu demam dan batuk itu, makan memang jadi gak enak. Karena gak enak (walaupun masih merasakan rasa masakan), rasa malas makan mulai menghinggapi saya. Untung saja isteri saya terus memaksa saya untuk makan. Walaupun cuma dua-tiga sendok, yang penting ada makanan yang masuk ke dalam tubuh saya. Makan merupakan salah satu cara tubuh bisa memerangi virus. Ya akhirnya, enak gak enak saya harus memasukan makanan, perut musti kenyang.
Pada hari keempat, demam dan batuk agak mereda, badan terasa enak, keringat sudah mulai keluar dari badan saya. Merasa enakan, saya menuju ke komputer, melanjutkan kerjaan ngedit video kiriman penyair D. Zawawi Imron untuk acara Bulan Puisi Bengkel Muda Surabaya. Setelah selesai ngedit (juga sekalian menguploadnya ke kanal Youtube BMS) saya merasa badan saya lemas, pusing, seperti tak punya daya. Tubuh saya anyep, mungkin karena banyak keluar keringat. Saya kembali ke tempat tidur. Isteri saya sempat marah.
Dan saya bilang ke teman-teman BMS (Bengkel Muda Surabaya) bahwa proses editing saya hentikan sementara supaya saya bisa fokus pada penyembuhan. Teman-teman setuju. Soal ngedit itu niat saya memang ingin jadikan hiburan supaya saya gak terlalu memikirkan sakit. Harapannya supaya imun naik terus. Tapi ternyata tubuh gak bisa diajak kompromi. Harus istirahat total. Ya sudah.
Pada hari kelima, demam dan batuk agak mereda. Ketika saya mencoba melumuri tubuh bagian depan dengan minyak kayu saya merasa tak merasakan bau minyak kayu putih yang khas itu. Saya hanya merasa hangat. Lalu saya mencium langsung minyak kayu putih itu dan benar tidak ada baunya. Wah, agnosia nih. Saya bilang ke isteri saya bahwa saya kehilangan penciuman, dan sore itu juga saya dan isteri segera ke rumah sakit untuk swab. Sebetulnya isteri, anak-anak saya, juga dokter saya, telah menganjurkan supaya segera swab, tapi saya cuek aja. Hasil swab antigen saya positif covid dan isteri saya negatif.
Saya merasa babak baru dimulai. Isoman. Tapi saya ingin isoman di rumah saja. Saya merasa lebih nyaman. Kebetulan ada beberapa kamar tidur di rumah, sehingga saya dan isteri saya memutuskan untuk pisah kamar.
Malam itu juga isteri saya segera mengabarkan ke ketua RT, ke Puskesmas, dan berkonsultasi dengan dokter saya dan juga dokter di halodoc. Pihak Puskesmas menyarankan (agak memaksa sih) saya isoman di Asrama Haji Donohudan, Solo. Saya menolak. Saya pengen di rumah saja.
Bahkan keesokan harinya orang-orang Puskemas dan gugus covid datang ke rumah saya lengkap dengan alat pelindung diri (APD) dan kembali menyarankan supaya saya isoman yang telah disediakan oleh Pemkot Solo. Saya bilang sama isteri saya, kalo saya harus isoman di sana, saya bakalan stres. Akhirnya pihak Puskesmas menyetujui saya isoman di rumah.
Isoman ternyata bukan hal yang mudah meski di rumah sendiri. Hidup serba terpisah dengan isteri. Bahkan kamar mandipun harus sendiri-sendiri, harus semprot sana sini barang yang harus dipegang atau tempat yang dilewati.
Awalnya situasi ini agak mengganggu psikologis saya. Apalagi jika buka HP dan membaca berita-berita kematian baik di wag maupun di laman FB (apalagi yang wafat itu saya kenal) membuat saya cemas, waswas. Yang juga bikin saya shock ketika melihat foto salah seorang teman saya, wartawan, Zed Abidin di rumah sakit menggunakan alat bantu pernafasan dan bilang bahwa dia kena covid. Saya hanya bisa mendoakan semoga cepat sembuh. Dan beberapa hari kemudian datang kabar beliau meninggal dunia. Ya Allah .... Saya memutuskan untuk menyetop buka HP dan melihat medsos.
Tapi cuma sehari. Gak tahan godaan. Hari selanjutnya saya buka lagi HP dan lihat-lihat medsos. Saya pun bertekad bahwa saya harus menerima situasi ini dengan pikiran dan hati terbuka. Melihat kenyataan di luar. Walau bayangan buruk kerap muncul, saya harus mampu melawannya. Satu-satunya cara melawan waktu itu saya terus berdialog dengan tubuh saya supaya tetap kuat, sabar, sembuh, sehat. Saya selalu mengatakan pada tubuh saya, ayo sehat, ayo sembuh, ayo kita kerja lagi, bergembira lagi. Ini cuma sementara. Tapi sebenarnya, melakukan itu karena saya diajarkan isteri saya lho.
Selama isoman, Alhamdulillah saya banyak dapat kiriman buah, makanan dari tetangga, bantuan sosial dari Pemkot Solo, dapat multivitamin dari Puskesmas, dapat resep obat-obatan dari dokter halodoc. Salah satu obatnya adalah azithromycin, obat antibiotik. Urusan cari obat azithromicyn ini susah bukan main. Apotek di Solo kehabisan stok. Isteri saya minta tolong ke saudara dan akhirnya dapat dari sebuah apotek kecil di Yogya.
Selama isoman, saya berusaha memakan makanan yang sehat, banyak protein dari hewani maupun nabati. Menghindari makanan yang berminyak. Memakan makanan yang serba kukus. Selain minum multivitamin, termasuk vitamin D dosis tinggi (demacolin dan obat batuk sudah tidak saya minum lagi karena kondisi tubuh mulai membaik), saya juga gerojok terus dengan jus buah, khususnya buah jambu merah, apel, angggur, wortel, tomat dan tak ketinggalan madu. Mewah juga nih penyakit dan bikin repot.
Saya dianjurkan teman supaya minum empon-empon. Saya melalukannya, tapi karena ada unsur jahe perut saya gak tahan. Saya berhenti minum empon-empon. Selama isoman saya juga masih bisa ngobrol dengan isteri walaupun berjauhan dan pakai masker.
Lima hari setelah swab antigen pertama, isteri saya disarankan oleh pihak Puskesmas supaya swab pcr. Pihak Puskesmas pun mendaftarkannya. Setelah swab pcr di rumah sakit Bung Karno, isteri saya harus menunggu hasilnya selama sepuluh hari (karena banyaknya orang diswab pcr sehingga waktu tunggu hasilnya lama). Maka isoman terus berjalan hingga hari keempat belas untuk saya. Berdasarkan teori, setelah hari keempat belas saya boleh menyudahi isoman, mengingat juga karena sudah tidak ada gejala.
Waw hati saya berbunga-bunga. Alhamdulillah isoman terlewati. Lepas masker. Bebas merdeka. Saya mulai ngedit lagi, lanjutkan mengunggah video kiriman teman-teman ke kanal Youtube BMS. Kegembiraan, bisa kerja kembali, tentu saja bikin imun naik terus. Bagi saya, kerja bukan cuma ngibadah, tapi juga hiburan.
Tiba-tiba hati saya kembali kecut karena dapat kabar hasil swab pcr isteri saya positif. Memang yang kena batuk itu awalnya isteri saya, lalu saya. Tapi cuma empat hari batuknya mereda dan dia tidak pernah merasakan perubahan yang signifikan pada tubuhnya, kecuali dada suka terasa panas. Timbul-tenggelam. Bahkan sampai dia dinyatakan positif covid pun dia selalu merasa baik-baik saja pada tubuhnya.
Untuk meringankan beban psikologis, akhirnya kita hanya bisa tertawa-tawa menghadapi kenyataan ini. Perlu isoman lagi? Gak usah, kata anak-anak saya. Bapak dan ibu sudah lewat masa inkubasi covid, kata mereka. Walaupun begitu, kami tetap isoman, tidak keluar rumah, walaupun di rumah kami sudah lepas masker, tidur sekamar, ngobrol seperti biasa.
Mari kita saling mendoakan, saling menguatkan dan stop unggah hal-hal buruk tentang covid. Dampaknya besar lo terhadap imun seserang yang kena covid. Tetep sehat tetep produktif tetep kreatif.
*Jil P. Kalaran, pekerja seni, tinggal di Solo..
Advertisement