Jika Ditarik ke Politik Praktis, Begini Ujung Muhammadiyah
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra menilai, langkah Muhammadiyah untuk memilih tidak berpolitik (politic disengagement) merupakan pilihan yang tepat.
Sehingga, Muhammadiyah dalam hal ini dapat bebas melakukan upaya-upaya pencerahan dan menyampaikan risalah pencerahan, tidak tertarik dan tidak terpecah pada tarikan-tarikan politik yang ada.
“Muhammadiyah harus mencari cara baru untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan politik Muhammadiyah, mungkin tidak cukup lagi melalui partai, DPD , DPR RI atau melalui jalur-jalur politik formal,” jelas Azyumardi, dikutip ngopibareng.id, dari pengajian di Yogyakarta.
Sementara pada kesempatan yang berbeda, Musa Asy'arie, Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menegaskan, jika Muhammadiyah masuk ke dalam politik, yang dalam hal ini memburu politik kekuasaan, maka Muhammadiyah akan selesai.
“Tapi jangan lupa, saat melihat sisi negatif, kita juga tidak lupa untuk bersyukur banyak-banyak bahwa pemilu itu berjalan dengan lancar, aman, tidak ada kerusuhan tidak ada perkelahian dan tidak ada huru-hara,” ucap Azyumardi.
“Karena dalam politik kekuasaan itu akan selalu terjadi pembusukan. Muhammadiyah tidak bisa melepaskan dirinya dari pembusukan internal yang bersumber dari kehidupan politik itu sendiri,” tegas Musa.
Jika kembali lagi ke sejarah Rasulullah, Rasulullah juga tidak mengambil posisi sebagai penguasa politik, namun mengambil posisi sebagai penguasa moral, karena dua hal ini berbeda.
“Kalau politisi yang diburu kekuasaan, tapi kalo politik moral yang disampaikan yakni bagaimana memberikan arah dari kekuasaan,” jelas Musa.
Memang untuk terjun menjadi politik praktis tidak pernah dicoba oleh Muhammadiyah, tetapi jika dicoba, Musa menilai resikonya akan besar.
Musa juga beranggapan bahwa gerakan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) tidak harus dikendala oleh politik, karena pemberdayaan ekonomi dan umat, tidak bisa dibendung oleh kekuatan politik.
“AUM Muhammadiyah yang digerakkan dan dikembangkan jangan hanya institusinya, namun juga individu-individu yang ada di dalamnya juga harus dikembangkan, karena gerak dan besarnya Muhammadiyah akan disokong dari kekuatan individu-individu tersebut, jadi ini lah yang seharusnya dikembangkan,” pungkas Musa.
Kembali dilanjutkan Azyumardi, jika melihat dari konteks keindonesiaan hanya dari sisi negatifnya maka sangatlah banyak. Ia mencontohkan, jika dalam pemilu, mungkin juga terdapat kecurangan dan banyak anggota KPPS yang meninggal yang mana itu merupakan sisi negatifnya.
“Tapi jangan lupa, saat melihat sisi negatif, kita juga tidak lupa untuk bersyukur banyak-banyak bahwa pemilu itu berjalan dengan lancar, aman, tidak ada kerusuhan tidak ada perkelahian dan tidak ada huru-hara,” ucap Azyumardi, dalam Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Sabtu, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Hal ini menurut Azyumardi perlu disyukuri, karena Indonesia ialah satu-satunya negara muslim yang masih damai.
“Cobalah lihat negara muslim lain, tidak ada yang damai, misal, di Timur Tengah. Yaitu, Aljazair Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, Arab Saudi semuanya mengalami krisis politik. Jika Indonesia kacau dalam skala yang luas, maka yang rugi ialah umat Islam. Oleh karena itu kewajiban kita, yaitu Muhammadiyah untuk menjaga dan memelihara Indonesia,” pungkas Azyumardi.(adi)