Jeritan Palestina di PBB, Mahmoud Abbas Jadi Perhatian Dunia
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan, rakyat Palestina sepenuhnya menolak rencana aneksasi yang diatur dalam “Kesepakatan Abad Ini”. Sebuah proposal perdamaian yang diajukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
“Di bawah kesepakatan Israel berencana untuk mencaplok 33 % wilayah Negara Palestina serta pendudukan Yerusalem Timur, termasuk Masjid Al-Aqsa dan Gereja Makam Suci. Kami dan seluruh dunia telah menolak rencana yang bertentangan dengan semua resolusi internasional yang mengakui negara Palestina pada tahun 2012 sebagai anggota Komunitas Internasional.
"Kami selalu mendukung perdamaian yang adil dan abadi yang komprehensif,” tegas Mahmoud Abas dalam pidatonya pada Debat Umum Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-75, Jumat 25 September 2020.
Seperti diketahui, pendudukan Zionis Israel menimbulkan penderitaan serta kesedihan bagi rakyat Palestina, yang tidak sedikit di antaranya diusir untuk meninggalkan tanah mereka.
Setidaknya sekitar 700.000 orang Yahudi Israel saat ini menduduki Tepi Barat, Palestina. Wilayah itu pun menjadi bagian dari rencana aneksasi (pencaplokan) oleh Israel sebesar 30 persen.
Lebih jauh Abbas menyatakan Israel merupakan pihak yang kerap melanggar resolusi maupun hukum internasional demi menguasai tanah Palestina, termasuk mengabaikan Prakarsa Perdamaian Arab dan Solusi Dua Negara.
“Saya pribadi telah mendedikasikan hidup saya untuk tujuan perdamaian sejak 1988 hingga konferensi Madrid dan Kesepakatan Oslo pada 1993. Dan hingga hari ini kami telah sepakat bahwa kami telah berkomitmen pada prakarsa perdamaian Arab yang menjamin keamanan perdamaian dan hidup berdampingan setelah akhir pendudukan.
"Israel telah mengingkari semua perjanjian yang ditandatanganinya dan telah merusak solusi dua negara melalui agresinya. Ini telah membunuh dan menangkap orang-orang yang menghancurkan rumah dan melumpuhkan ekonomi. Israel menghancurkan kesempatan terakhir untuk perdamaian,” ungkapnya.
Abbas turut menyoroti normalisasi hubungan diplomatik antara Uni Emirat Arab dan Bahrain bersama Israel dengan difasilitasi Amerika Serikat, telah melanggar inisiatif Perdamaian Arab dan berbagai resolusi yang adil di bawah hukum internasional.
“Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) tidak pernah meminta siapa pun untuk berbicara atau bernegosiasi atas nama rakyat Palestina. Satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian yang adil dan abadi yang komprehensif di wilayah kami adalah dengan mengakhiri pendudukan dan memastikan kemerdekaan Negara Palestina di sepanjang perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya,” terang Abbas.
Abbas meminta PBB untuk menggelar Konferensi Internasional pada awal tahun depan dengan mempertemukan pihak-pihak terkait, sebagai upaya mencapai proses perdamaian dan menghentikan pendudukan di Palestina oleh zionis Israel.
“Konferensi harus memiliki kewenangan penuh untuk meluncurkan proses perdamaian sejati berdasarkan hukum internasional dan kerangka acuan yang relevan. Ini harus bertujuan untuk mengakhiri pendudukan, memberikan rakyat Palestina kebebasan dan kemerdekaan mereka di negara mereka sendiri di sepanjang perbatasan tahun 1967. Yaitu, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota dan untuk menyelesaikan semua status akhir masalah ini. Terutama, masalah pengungsi yang sejalan dengan resolusi 194,” ujar Abbas dalam pidato berdurasi sekitar 15 menit itu.
Solusi Dua Negara yang diajukan oleh komunitas internasional sebagai solusi bagi Palestina dan Israel meraih perdamaian yang turut tercantum dalam “Perbatasan 1967”, tampaknya belum menemukan titik terang.
Meski, Uni Emirat Arab (UEA) maupun Bahrain menegaskan normalisasi hubungan bersama Israel merupakan bentuk dukungan perdamaian bagi Palestina-Israel sehingga tercapainya Solusi Dua Negara.
Kemerdekaan dan kebebasan merupakan fondasi dasar suatu negara dalam menjalankan pemerintahan guna mencapai kesejahteraan. Sayangnya, dua hal yang diperoleh dengan harga mahal itu, masih menjadi mimpi rakyat Palestina.