Jerat Pinjol
Ini inisiatif cerdas. Keluarga Alumni Mahasiswa Psikologi Universitas Gadjah Mada (Kapsigama) bekerja sama Kagama Jatim dan OJK baru saja menggelar acara edukasi untuk warga Medokan Semampir Surabaya agar tak terjerat dari pinjaman online. Edukasi yang dikemas dengan tema Mental Nyaman, Finansial Aman.
Puluhan orang ikut dalam kegiatan tersebut. Sebagin besar ibu-ibu rumah tangga. Banyak juga dari kalangan ibu-ibu muda. Mereka serius mendengarkan pemaparan dari psikolog Dr. Miftakhul Jannah, Konsultan Keuangan Syamsaimun, dan Kepala Sub Bagian Pengawasan Bank OJK, Vita Retyana.
Inisiatif seperti ini dibutuhkan karena makin banyak kasus orang terperangkap dalam jebakan pinjol, singkatan dari pinjaman online. Bahkan, sampai ada yang bunuh diri karena terjerat pinjaman. Banyak juga yang ikut menjerat orang tua korban dengan harus menjual aset yang dimilikinya untuk menutup jeratan itu. Akhirnya si orang tua meninggal karena hidup dalam kesusahan.
Sebetulnya, pinjol menyodorkan alternatif lain untuk akses ke lembaga keuangan secara nyaman dan mudah. Namun, selalu saja ada sisi gelap setiap perkembangan teknologi. Selain kemudahan, ia selalu diikuti dampak negatif dari penggunaannya. Tidak hanya dalam soal utang-piutang. Tapi juga terkait gaya hidup baru.
Jika diamati, ada dua jenis orang sampai terjerat pinjol. Pertama karena adanya pemberi pinjaman online yang tak bertanggungjawab dan mengeksploitasi peminjam yang rentan. Kedua karena perilaku baru generasi rebahan. Terjerat pinjol karena gaya hidup yang juga terbangun oleh revolusi digital. Terutama gaya hidup sultanisme.
Yang pertama, tentu bisa diatasi dengan pengawasan dan regulasi yang cukup dari otoritas keuangan. Juga dengan memberikan literasi yang cukup bagi warga. Seperti yang dilakukan Kapsigama tadi. Mengedukasi warga untuk lebih pruden dalam merencanakan keuangan keluarga. Tidak gampang tergoda jebakan utang pinjol yang makin gampang mengaksesnya.
Dulu –dan sebetulnya masih ada sampai sekarang– pola pinjaman yang menjerat. Di Jawa disebut Bank Thithil. Bentuk pinjaman dengan bunga harian. Yang beroperasi banyak di pasar tradisional dan pedesaan. Bank ini dikenal juga dengan rentenir karena bunganya yang tinggi. Bunganya berkali-kali lipat dari bank konvensional.
Seperti halnya pinjol, bank thithil juga tanpa syarat yang ribet. Tanpa dokumen kolateral dan semacamnya. Bedanya, pelaku bank thithil punya relasi kuat dengan peminjamnya. Bahkan, mereka melayaninya tanpa jam kerja. Kapanpun dibutuhkan mereka bisa melayani. Sementara pinjol sifatnya impersonal. Tak saling mengenal antara pemberi utang dan pengutang.
Bahkan, seorang pemberi utang bank thithil sangat paham dengan kondisi sehari-hari pengutangnya. Pola relasinya meski eksploitatif –karena bunga harian dan biasanya tinggi– namun karena hubungannya yang personal menjadi tidak merasa dieksploitasi. Hal inilah yang menjadikan bank thithil susah digantikan bank konvensional meski dengan bunga yang lebih ringan.
Pinjol justru sama sekali tidak ada reaksi sosialnya. Segalanya berlangsung secara mekanik. Bahkan diatur melalui Artifisial Intelligent (AI). Mulai dari proses pengajuan dan approval-nya. Termasuk hitungan bunganya. Baru setelah macet biasanya menggunakan tenaga penagih dari jarak jauh. Juga menggunakan “teror” melalui pihak lain yang menjadi “jaminan”.
Tiadanya pengawasan dan regulasi yang jelas ditambah literasi warga yang kurang, jerat pinjol setting terjadi.
Terbatasnya transparansi dan akuntabilitas di platform pinjol, peminjam bisa terjebak dalam jaring-jaring suku bunga yang terlalu tinggi, biaya-biaya tersembunyi, dan praktik penagihan yang tidak etis.
Jeratan lain adalah gaya hidup. Media sosial tampaknya melahirkan persepsi tentang hidup yang lain. Secara tidak langsung, media sosial teah melahirkan cara pandang sultanisme. Semacam aliran gaya hidup sultan. Gaya hidup orang kaya. Ekspose tentang crazy rich teah melahirkan standar hidup baru: bahwa hidup itu harus seperti mereka yang kaya.
Dampak di tingkat bawah melahirkan orientasi hidup yang hanya melihat hasil. Bukan melihat prosesnya. Maka munculnya istilah baru yang disebut sebagai generasi rebahan atau kelompok rebahan. Kelompok yang merasa tidak perlu kerja keras tapi bisa hidup enak seperti yang dilihatnya di media sosial.
Lalu apa hubungannya dengan pinjol? Mereka bisa terjerat pinjol jika obsesi untuk memenuhi orientasi hidupnya lebih besar dibandingkan kapasitas finansialnya. Misalnya, meraka menganggap hape yang bisa bergaya adlah Iphone. Maka meski harus berhutang melalui pinjol, mereka memaksakan diri untuk membeli Iphone meski sebetulnya belum mampu secara finansial.
Jerat pinjol akan tumbuh subur di tengah keputusasaan dan kerentanan seseorang yang membutuhkan dana segera. Banyak platform pinjol yang tak bertanggungjawab mentarget orang dengan riwayat kredit yang buruk, literasi keuangan yang terbatas, dan kebutuhan keuangan yang mendesak. Apalagi orang yang telah terjangkit cara hidup sultanisme.
Literasi kepada masyarakat menjadi sangat penting. Terutama bagaimana mendorong agar mereka berhati-hati dan memverifikasi platform pinjol setiap akan memanfaatkannya. Sejak awal mereka perlu sejak awal punya kesadaran untuk melindungi dirinya dari jeratan pinjol.
Apa saja yang perlu diperhatikan terkait dengan platform pinjol? Antara lain penting untuk meneliti dan memverifikasi keabsahan platform pinjol. Perlu terlebih dulu meneliti reputasi, ulasan, dan registrasi resmi mereka dapat membantu mengidentifikasi potensi bahaya.
Selain itu, pengutang harus menganalisis dengan cermat syarat dan ketentuan perjanjian pinjaman. Memahami suku bunga, jadwal pembayaran, dan biaya-biaya lainnya akan membantu peminjam untuk membuat keputusan yang tepat. Jika diperlukan, mencari nasehat hukum yang dapat memberikan kejelasan dan perlindungan.
Idealnya, pemerintah seharusnya turun tangan dalam mengatasi fenomena jerat pinjol ini. Tentu dengan menyediakan akses terhadap lembaga keuangan yang lebih mudah dan lebih bertanggungjawab. Apalagi dalam situasi ekonomi yang disruptif seperti sekarang. Selain menyediakan akses, amat penting mengedukasi warganya di sektor keuangan.
Di Surabaya sudah berdiri koperasi simpan pinjam tanpa bunga berbasis masjid. Sudah di mulai di masjid kawasan Surabaya selatan. Jamaah yang membutuhkan hanya boleh pinjam Rp2 juta. Ternyata responnya luar biasa. Sayang aset koperasi yang digagas DMI Kota Surabaya asetnya masih kecil.
Ini inisiatif lain mengatasi maraknya jeratan pinjol di perkotaan.