Jerat Birokrasi Presiden Jokowi
Kebijakan bagus Presiden Joko Widodo sering terjerat kinerja birokrasi. Akibatnya, banyak yang tak sejalan di lapangan.
Jerat birokrasi bersumber dari dua hal. Peraturan yang masih tumpang tindih dan moral birokrat yang kurang optimal dalam melayani.
Beberapa aturan yang tumpang tindih sering menimbulkan masalah. Menimbulkan berbagai ragam interpretasi. Membuat birokrat galau dalam ambil keputusan.
Padahal, peraturan selalu menjadi landasan birokrat untuk bekerja. Bahkan, mereka tak akan bekerja kalau tak ada aturan. Apalagi aturannya ambigu yang bisa menjerat mereka ke urusan pidana.
Ini berbeda dengan para pengusaha. Karena orientasi kepada efesiensi dan profit, tak ada aturan justru menjadi opportunity mereka. Tidak jarang mereka selalu mencari celah aturan untuk menggaet banyak laba.
Presiden Jokowi telah berusaha mengatasi berbagai tumpang tindih aturan itu. Agar gerak ekonomi kita makin cepat. Melalui RUU Omnibus Law. Tapi proses politiknya ternyata juga tak gampang.
Yang mengenaskan kalau bersumber moral birokratnya. Yang masih banyak berorientasi untuk dilayani ketimbang melayani. Yang masih punya prinsip kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat.
Saya pernah 5 tahun bergelut dengan birokrasi pun masih sering dibuat gemes dengan urusan ini. Apalagi menghadapi birokrat yang punya interest pribadi dengan bungkus kewenangan yang melekat dalam dirinya.
Saya punya pengalaman yang kurang menyenangkan soal ini. Saat mengurus ijin konsesi pelabuhan milik Pemkab Lamongan dan Pemprov Jatim. Pelabuhan Lamongan Shorbase (LS) yang sudah beroperasi sejak 2007.
Pelabuhan satu-satunya di Indonesia milik BUMD ini sebetulnya sudah mengantongi ijin sebagai pelabuhan umum. Yang melayani industri tambang minyak dan gas di seluruh Indonesia. Bahkan sampai Timor Timur.
Juga pelabuhan untuk berbagai barang dan komoditi. Pelabuhan modern dan bisa jadi kebanggaan. Dibangun dan dioperasionalisasikan bersama dengan Eastern Logistic Indonesia.
Pelabuhan ini diharapkan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi Lamongan. Juga Jawa Timur. Sebab, di belakang pelabuhan itu akan dibangun kawasan industri. Seluas 1.500 hektar.
Sudah terbebaskan ratusan hektar. Dengan investor pengusaha pribumi dari Surabaya dan Jakarta. Jika kawasan ini terwujud, ribuan tenaga kerja akan terserap. Ekonomi Lamongan akan melesat.
Dengan adanya UU Nomer 17 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomer 166, Perijinan Pelabuhan Lamongan Integrated Shorbase harus menyesuaikan. Dengan mengurus perjanjian konsesi dengan pemerintah.
Sejak tahun 2016, perjanjian konsesi sebagai syarat UU ini telah diurus. Saat Menteri Perhubungan dipegang Ignatius Jonan. Untuk tujuan ini, PT LIS yang sepenuhnya milik pemerintah daerah ini harus mengubah perjanjian dengan PT Eastern Logistic Indonesia sebagai investornya.
Sebagai tanggungjawab moral, saya pun meminta Gubernur Jatim (saat itu Soekarwo) untuk tetap menjadi komisaris di PT LIS. Meski saya sudah tak lagi menjadi Direktur Utama PT PWU, holding company BUMD milik Pemprov Jatim.
Alasanya untuk menyelesaikan perjanjian konsesi. Untuk menjaga nama baik pemerintah di mata investor. Agar investasi punya kepastian hukum. Meski dengan gaji yang amat minim. Satu setengah kali UMK Surabaya.
Tapi apa yang terjadi? Hampir satu periode, ternyata urusan tak selesai. Sampai Menteri Perhubungan diganti Budi Karya Sumadi. Yang sama-sama menjadi Pengurus Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada). Saya sampai malu meminta tolong kepadanya.
Bulan lalu, hati saya sempat berbunga-bunga. Setelah mendapat undangan untuk penandatanganan perjanjian konsesi. Di Pelabuhan Lamongan Shorbase. Yang akan dihadiri Dirjen Perhubungan Laut Agus H Purnomo.
Eh, sehari jelang pelaksanaan, saya dapat surat susulan. Isinya pembatalan acara karena Dirjen Hubla tak bisa datang. Tanpa alasan yang jelas. Dan tetap tidak jelas kapan penandatanganan dilangsungkan lagi sampai sekarang.
Padahal, sudah seusia periode jabatan Presiden perijinan konsesi ini diurusnya. Untuk sektor infrastruktur yang sangat penting. Yang bisa mengungkit pertumbuhan ekonomi nasional. Menyangkut kepercayaan investasi asing lagi.
Juga menyangkut pendapatan negara. Sebab, dengan perjanjian konsesi ini, negara akan memperoleh Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Yang nilainya miliaran rupiah setiap tahunnya. Selain pajak dan peluang kerja.
Sementara ada pelabuhan lain yang mengurus ijin konsesi baru lebih dulu beres urusannya. Sedangkan pelabuhan satu-satunya milik BUMD dan menyangkut investasi asing malah tidak tuntas sampai sekarang.
Kasus perijinan Konsesi Pelabuhan Lamongan Shorbase ini hanya salah satu contoh saja. Masih banyak urusan perijinan yang bikin Presiden Jokowi gemes. Yang menginginkan Indonesia melakukan lompatan-lompatan ekonomi. Dengan mendorong investasi masuk dari berbagai penjuru dunia.
Sebagian besar bottleneck-nya ada di birokrasi. Yang masih menjadi problem utama. Yang komitmennya tidak sama dengan visi presiden kita. Mereka ini yang justru menjerat Presiden Jokowi untuk mewujudkan visinya.
Rasanya inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah Presiden Jokowi. Juga menteri-menteri yang bertekad gerak cepat bersama Presiden. Bagaimana menjadikan birokrasi di bawahnya tegak lurus dengan visi dan program yang telah menjadi janjinya.
Sungguh, saya menjadi kasihan terhadap presiden dan sebagian menteri kita. Kasihan juga rakyat Lamongan yang ingin punya kebanggaan baru di daerahnya.
Advertisement