Jenis Doping yang Populer di Kalangan Atlet, Jerat Lifter China
Kontingen Indonesia masih menunggu keputusan resmi Komite Olimpiade Internasional (IOC), Badan Anti-Doping Dunia (WADA atau World Anti-Doping Code), dan Panitia Penyelenggara Olimpiade Tokyo (TOCOG) terkait isu doping yang menjerat atlet angkat besi China, Hou Zhihui. Ia diduga menggunakan doping ketika tampil di kelas 49 kg Olimpiade Tokyo 2020.
Rumor itu ramai dibicarakan setelah pertama kali diberitakan kantor berita India, Asian News International (ANI). Hou Zhihui sukses meraih medali emas kelas 49 kg putri Olimpiade Tokyo 2020, pada 24 Juli 2021. Selain meraih medali emas, ia juga berhasil memecahkan rekor total angkatan Olimpiade. Total angkatan Hou Zhihui kala itu mencapai 210 kg dengan rincian 94 kg snatch dan 116 kg clean & jerk.
Wakil India, Mirabai Chanu meraih perak setelah menempati urutan kedua kelas 49 kg putri Olimpiade Tokyo 2020 dengan total angkatan 202 kg. Medali perunggu kelas 49 kg putri Olimpiade Tokyo 2020 menjadi milik lifter Indonesia, Windy Cantika Aisah. Total angkatan Windy Cantika Aisah kala itu mencapai 194 kg dengan rincian 84 kg snatch dan 110 kg clean & jerk. Atlet 19 tahun itu pun menjadi atlet pertama Indonesia yang menyumbang medali di Olimpiade Tokyo 2020.
WADA dan Interntional Testing Agency (ITA) turut andil dalam penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020. Seluruh atlet peserta Olimpiade Tokyo 2020 wajib lulus tes doping sebelum atau sesudah bertanding. Dikutip dari situs ANI, Hou Zhihui saat ini sedang dalam pemeriksaan karena dikabarkan ada temuan dalam hasil tes doping pertamanya.
"Hou Zhihui saat ini diminta untuk tetap tinggal di Tokyo untuk menjalani tes doping. Tes doping itu dipastikan akan dilakukan," kata seorang sumber.
Jika pada akhirnya terbukti positif menggunakan doping, Hou Zhihui dipastikan akan kehilangan medali emas miliknya. Di sisi lain, medali milik Mirabai Chanu dan Windy Cantika Aisah akan dinaikkan satu tingkat jika Hou Zhihui terbukti melanggar aturan doping.
Mirabai Chanu nantinya akan naik sebagai peraih medai emas sementara Windy Cantika berhak mendapatkan perak. Skenario itu bisa terjadi hanya jika Hou Zhihui terbukti positif menggunakan doping.
Sejarah Penggunaan Doping Zaman Romawi Kuno
Pada masa Romawi Kuno, doping sudah dikenal dalam perlombaan pacuan kuda. Doping diberikan ke hewan kuda. Doping kemudian diminum atlet ketika perlombaan renang di saluran air di Amsterdam, Belanda, pada 1865. Ketika itu, para perenang menggunakan minuman yang diberi campuran narkotika. Saat itu doping belum dilarang dalam dunia olahraga.
Selanjutnya, pada 1879 dalam perlombaan balap sepeda, orang telah menggunakan caffein, heroin, dan cocaine. Pada 1886, seorang pembalap sepeda mengonsumsi obat berlebihan saat mengikuti perlombaan sepeda yang menempuh jarak 600 km antara Bordeuse dan Paris. Korban tewas.
Pada 1908, strychine dan campuran brendy plus cocaine dikonsumsi atlet tinju saat berlaga di ring. Puncaknya, setelah Olimpiade Melbourne pada 1960 ada seorang pembalap sepeda tewas setelah mengonsumsi amphetamine dalam nicitine.
Pemakaian doping yang berujung maut membuat IOC menerbitkan daftar obat terlarang pada 1967. Meskipun sudah dilarang, toh beberapa atlet masih ada yang menggunakan doping.
Pengertian Doping
Doping adalah zat terlarang yang dikonsumsi oleh atlet untuk menunjang performanya. Zat ini biasa disebut sebagai Performance Enhancing Drugs (PED). Meski memiliki fungsi untuk meningkatkan performa, doping bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Maka dari itu, doping dilarang oleh badan pengatur olahraga.
Tes anti-doping
Dikutip dari laman Olympics, ada dua jenis tes anti-doping: urin dan darah. Setelah sampel dikumpulkan, sampel dikirim ke laboratorium terakreditasi WADA untuk dianalisis. Mereka tidak pernah tahu sampel siapa yang mereka miliki, karena sifatnya anonim.
Spesialis pengumpulan sampel dikenal sebagai Petugas Kontrol Doping (DCO). Ketika darah diperlukan, sampel akan diambil oleh seorang spesialis yang dikenal sebagai Petugas Pengumpul Darah (BCO) yang merupakan pemegang lisensi medis profesional yang terlatih khusus.
Seorang 'pendamping' akan memberitahu atlet yang dipilih untuk kontrol doping dan akan memantau semua kegiatan yang dilakukan oleh atlet sampai proses pengambilan sampel. Pada Olimpiade Tokyo 2020, para relawan akan berperan sebagai pendamping.
Meskipun pendamping tidak memiliki kualifikasi spesialis, DCO dan BCO diwajibkan untuk menghadiri kuliah dan sesi pelatihan yang disediakan oleh Badan Anti-Doping Jepang (JADA) dan memperoleh sertifikasi resmi.
Doping yang Populer di Kalangan Atlet
Otoritas anti-doping menyatakan bahwa penggunaan obat peningkat kinerja bertentangan dengan "semangat olahraga". Dikutip dari berbagai sumber, berikut jenis-jenis doping yang populer digunakan.
1. Eritropoietin (EPO)
EPO adalah hormon peptida yang diproduksi secara alami oleh tubuh manusia. EPO dilepaskan dari ginjal dan bekerja pada sumsum tulang untuk merangsang produksi sel darah merah. Dengan menyuntikkan EPO, atlet bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi sel darah merah dan kapasitas aerobik mereka.
Penyalahgunaan EPO dapat menyebabkan risiko kesehatan yang serius bagi atlet. Diketahui bahwa EPO, dengan mengentalkan darah, dapat menyebabkan peningkatan risiko beberapa penyakit mematikan, seperti penyakit jantung, stroke, dan emboli otak atau paru. EPO telah terlibat dalam kematian beberapa atlet.
2. CERA
Continuous Erythropoiesis Receptor Activator atau CERA, adalah bentuk generasi ketiga dari EPO. Berbeda dengan bentuk obat sebelumnya, CERA membutuhkan injeksi yang lebih jarang karena memiliki waktu paruh yang lebih lama. Biasanya, atlet menggunakan CERA untuk meningkatkan kapasitas pembawa oksigen guna meningkatkan daya tahan tubuh. CEPA juga dapat digunakan setelah pelatihan untuk mendorong pemulihan yang lebih cepat.
3. Nabolic steroid
Steroid anabolik adalah obat yang menyerupai testosteron, hormon yang diproduksi di testis pria dan, pada tingkat yang jauh lebih rendah, di ovarium wanita. Testosteron dan obat-obatan terkait mempengaruhi pertumbuhan otot, meningkatkan kadarnya dalam darah dapat membantu atlet meningkatkan ukuran dan kekuatan otot. Atlet yang menggunakan steroid anabolik juga mengklaim bahwa obat tersebut mengurangi waktu pemulihan setelah cedera. Contoh steroid anabolik termasuk testosteron, stanozolol, boldenone, nandrolone dan clostebol.
4. Diuretik
Diuretik biasanya digunakan untuk penyamaran dalam mencegah deteksi zat terlarang lainnya. Selain menutupi obat lain, diuretik juga dapat membantu atlet menurunkan berat badan, yang dapat mereka gunakan persyaratan mereka dalam olahraga dengan kategori berat tertentu. Contoh diuretik yang umum digunakan termasuk furosemide, bendroflumethiazide dan metolazone.
5. Blood doping
Ada dua bentuk doping darah. Doping darah autologous adalah transfusi darah sendiri, yang telah disimpan, didinginkan atau dibekukan, sampai dibutuhkan. Doping darah homolog adalah transfusi darah yang telah diambil dari orang lain dengan golongan darah yang sama.
Meskipun penggunaan transfusi untuk doping darah sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu, para ahli mengatakan doping ini banyak ditemukan karena pengenalan metode deteksi EPO yang efisien.
6. Insulin
Insulin meningkatkan penyerapan glukosa ke dalam otot dan membantu pembentukan dan penyimpanan glikogen otot. Atlet mungkin menggunakannya untuk olahraga yang membutuhkan daya tahan tingkat tinggi. Penyalahgunaan doping insulin dapat menyebabkan kadar gula darah sangat rendah - suatu kondisi yang dikenal sebagai hipoglikemia yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi kognitif, kejang, ketidaksadaran, dan dalam kasus ekstrim dapat menyebabkan kerusakan otak hingga kematian.
Advertisement