Jemaah Haji Dilarang Laksanakan Tarwiyah, Ini Penjelasan Kemenag
Kepala Daerah Kerja Mekkah 1440 H/2019 M, Subhan Cholid mengatakan, Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan tidak melaksanakan Tarwiyah karena waktunya sangat pendek, namun energi yang dikeluarkan oleh jemaah haji sangat besar.
Menurutnya, kebijakan tidak melaksanakan Tarwiyah diambil karena waktunya sangat pendek dan perlu energi yang sangat besar. Sehingga berpotensi ada jemaah yang tidak bisa melanjutkan perjalanan atau kesulitan melaksanakan wukuf di Arafah.
"Karena itu, pemerintah konsentrasi untuk memfasilitasi pelaksanaan wukuf di Arafah. Jemaah berangkat pada 8 Dzulhijjah langsung menuju Arafah," kata Subhan.
Selama ini memang ada sebagian jemaah haji Indonesia menjalankan Sunnah Tarwiyah. Yaitu, berdiam di Mina pada 8 Dzulhijjah lalu menuju Arafah pada 9 Dzulhijjah. Jemaah berangkat dari hotel menuju Mina pada 7 Dzulhijjah.
Menurutnya, Sunnah Tarwiyah bersifat pilihan sehingga menjadi tanggung jawab masing-masing, baik pribadi maupun rombongan. Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Arab Saudi telah membuat surat edaran yang disebarkan ke seluruh kepala sektor untuk disosialisasikan kepada jemaah.
"Jemaah yang akan melaksanakan Tarwiyah harus membuat pernyataan tertulis, dan bertanggung jawab baik terhadap pribadi maupun rombongan. Proses ibadah haji perlu energi dan stamina prima. Prioritaskan yang rukun, lalu wajibnya, dan terakhir Sunnah," tegas Subhan.
KH Imam Ghazali Said menulis, Tarwiyah secara bahasa berarti segar dan menyegarkan. Ini, karena Mina atau Muna sebagai situs haji sejak masa nabi Ibrahim as (w 1800 SM) sampai masa Nabi Muhammad saw (571-632 M) adalah kawasan yg penuh dengan oase menampung air hujan. Karena itu jemaah haji (JH) dapat minum puas ketika mereka singgah di Mina dan membawa bekal air secukupnya sebagai bekal untuk wukuf di Arafah yang kering kerontang.
Versi lain Tarwiyah diartikan sebagai rukya shadiqah (mimpi benar) Nabi Ibrahim as yang diperintah Allah Swt untuk menyembelih putra tunggalnya saat itu, Ismail as. Dari mimpi yang diyakini sebagai wahyu itulah, setelah proses kontemplasi wukuf di Arafah dua manusia pilihan ini rela mengeksekusi dan dieksekusi mimpinya itu pada 10 Zulhijah yang kemudian populer dengan yaum al-nahr. Kisah ini dijelaskan secara rinci oleh al-Azraqi dalam Alhbaru Makkah.
Manasik dua nabi: bapak-anak: Ibrahim-Ismail inilah yang diteruskan oleh Nabi Muhammad saw pada 10 H/632 M dengan memulai dengan ihlal (niat) dan singgah di Mina pada waktu Duha tanggal 8--Duha 9 Zulhijah.
Sunnah Rasul ini diperkuat dg sabda beliau:خذوا عنى مناسككم : " Ambillah manasik Anda dari aku.." (Hr. Nasai dan Bayhaqi).
Pelaksanaan manasik haji pada masa Khulafaur Rasyidin konsep Fikih (sunah, wajib dan rukun) belum muncul sebagai wacana akademik. Karena itu para sahabat dan keluarga Rasululllah saw meniru teknis manasik sesuai perintah hadis di atas. Nyaris semua bermanasik dengan bertarwiyah. Konsep Fikih yang menyatakan bahwa Tarwiyah itu berkonotasi hukum sunah itu muncul sekitar tahun 100 H.
Tarwiyah dalam fikih bisa ditinggalkan dan tak berakibat denda; fidyah atau hadyu/dam. Dalam dinamikanya fuqaha sepakat bahwa Tarwiyah itu adalah sunah haji yang sangat dianjurkan. Jemaah Haji yang meninggalkan Tarwiyah mendapatkan "keutamaan haji mnimalis". Dalam ungkapan lain; JH yang ingin mendapatkan "keutamaan haji secara maksimal" seharusnya melaksanakan Tarwiyah.
Cara pandang seperti ini "dihilangkan" dan sama sekali tidak muncul dalam Fikih Manasik Kemenag RI. Mengapa ? Demikian tanya Kiai Imam Ghazali Said. Dan jawabannya telah disampaikan secara resmi pihak Kemenag di atas.