Jelang Pemilu, Waspadai Menghindari Gratifikasi Spiritual
Tahun 2019 merupakan tahun politik. Pada tahun ini bisa dipastikan "Sang Tokoh Spiritual akan panen karena tahun ini adalah tahun politik," kata Prof KH Nasarudiin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.
Untuk memberikan pencerahan dalam suasana menjelang Pemilu sekarang ini, berikut tulisan mantan Wakil Menteri Agama dipetik dari judul "Menghindari Gratifikasi Spiritual". (Redaksi)
Gratifikasi spiritual banyak bentuknya. Gratifikasi spiritual Iblis kepada Abu Hurairah, sebagaimana diuraikan dalam artikel terdahulu, membuat Abu Hurairah betul-betul menyesal. Pengalaman Abu Hurairah juga sering terjadi di dalam masyarakat kita. Mungkin bentuknya berbeda tetapi sifatnya sama, yaitu membuat seseorang terpedaya yang pada akhirnya melakukan sesuatu yang sesungguhnya menyalahi ketentuan dan perundang-undangan atau kaedah-kaedah sosial yang berlaku umum.
Seseorang mendatangi ahli spiritual, boleh jadi kiai ulama sepuh, resi, pendeta, pastor, atau mungkin dukun, untuk sebuah hajat lebih besar dan memohon bantuan sang tokoh spiritual. Sang Tokoh Spiritual bersedia menolong dengan acaranya sendiri dengan catatan, bilamana berhasil maka ia harus memenuhi persyaratan yang biasanya akan ditentukan kemudian.
Setelah berhasil, maka Sang Tokoh Spiritual meminta macam-macam, mau-tidak mau, yang bersangkutan harus mengabulkannya karena ia berada dalam under pressure. Terkadang Sang Tokoh Spiritual membawa seorang rekanan untuk dimenangkan, membawa anggota keluarganya untuk dipegawaikan atau dipekerjakan di instansinya, membawa proposal (tidak peduli itu proposal fiktif atau bermasalah), minta diumrahkan, mengundang sang pejabat untuk datang memberikan legitimasi lembaga yang dipimpinnya sehingga kelihatan lembaga Sang Tokoh Spiritual itu legitimed karena dihadiri pejabat, tentu selanjutnya menjadi "PR" (public relation) untuk pengguna jasa berikutnya.
"Bayangkan jika Sang Tokoh Spiritual memiliki 10 orang saja "anak asuh", dikalikan 1% dari total jumlah proyek yang berada di bawah control sang pejabat, maka wajar jika Sang Tokoh Spiritual hidup di dalam dunia gemerlapan."
Terkadang gratifikasi spiritual ini lebih berbahaya daripada sekedar gratifikasi uang atau materi. Sang Tokoh Spiritual boleh jadi terus menerus menyandera sang pejabat yang dibantunya dengan ancaman super natural. Apa lagi jika Sang Tokoh Spiritual memang professional di bidang ini.
Banyak tokoh spiritual semacam ini gentayangan di mana-mana. Ada yang menawarkan benda-benda sakral seperti cincin permata, keris, jimat-jimat "bertuah". Ada juga seorang perantara yang memanfaatkan keunggulan Sang Tokoh Spiritual. Mungkin Sang Tokoh memang baik-baik, tetapi ada tokoh perantara yang secara professional mengomersialkan kewibawaan dan keajengan Sang Tokoh Spiritual.
Akhirnya dengan memperatas namakan Tokoh Sang Spiritual, pejabat yang sudah ditolong harus menerima kenyataan sebagai "sapi perah" sang makelar spiritual tadi.
Termasuk indikasi gratifikasi spiritual jika seorang pejabat rajin mengunjungi tokoh-tokoh tertentu, tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral, semisal pondok pesantren yang dipimpin oleh kiai atau pemilik padepokan spiritual yang dianggap mumpuni, kemudian dengan sendirinya ia harus balas jasa terhadap kebaikan sang tokoh spiritual.
Atas dasar ketundukan spiritual itu keluarlah kebijakan untuk membangun jalan akses ke lokasi itu, merehab bangunan yang tua, dan memberi bantuan kendaraan operasional, atau bantuan materi lainnya dengan biaya tidak sedikit, yang sesungguhnya berada di luar kewenangan pejabat yang bersangkutan. Akibatnya terjadilah kasus relokasi anggaran besar-besaran.
Bayangkan jika sekiranya 10% pejabat publik kita, dan mungkin bisa lebih karena ini seperti fenomena gunung es, yang berada di bawah pressure tokoh spiritual, maka boleh jadi uang negara dalam jumlah besar berada di dalam kontrol tokoh spiritual. Tidak heran jika di mana-mana beberapa tokoh spiritual memiliki kekayaan yang tidak wajar, misalnya rumah mewahnya ada di mana-mana, isterinya juga di mana-mana, mengoleksi mobil-mobil mewah, anak-anaknya juga hidup di dalam kemewahan.
Bayangkan jika Sang Tokoh Spiritual memiliki 10 orang saja "anak asuh", dikalikan 1% dari total jumlah proyek yang berada di bawah control sang pejabat, maka wajar jika Sang Tokoh Spiritual hidup di dalam dunia gemerlapan.
Tahun 2019 ini bisa dipastikan Sang Tokoh Spiritual akan panen karena tahun ini adalah tahun politik. Semuanya ingin menang! Astagfirullah. (*)
Advertisement