Jelang Musda; Lepaskan DKJT dari Warna Partai
Tulisan ini saya buat menjelang Musyawarah Daerah ke V Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) yang berlangsung 25 Juni mendatang. Tidak ada maksud lain kecuali harapan agar DKJT makin tahun semakin bermanfaat bagi seniman di Jawa Timur.
Pada Musda DKJT tahun 2014, saya hadir sebagai peninjau. Waktu itu hanya ingin dan berharap DKJT bisa seperti Dewan Kesenian Jakarta yang moncer selama dua dekade antara 70 sampai 90an. Terutama ketika KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang pada tahun 1980 menjadi Ketua Umum DKJ, yang menimbulkan pro dan kontra dari kalangan NU.
Pasca 90-an, saya diajak almarhum Bambang Ginting untuk terlibat DKJ dengan menyelenggarakan Diskusi Lenong, mengundang pelaku teater tradisi onal, teater modern dan film. Kebetulan kuratornya adalah sutradara film yang sudah almarhum, Ami Priyono. Dari even itu, Lenong yang tradisional ditangkap dengan baik oleh Rano Karno dan dikembangkan menjadi suguhan film fenomena, Si Doel Anak Sekolahan.
Illustrasi nuansa di atas sepertinya ingin saya hembuskan ke Musda DKJT Tahun 2014. Lantas saya acapkali diskusi dengan almarhum Ahmad Fauzi yang dalam Musda itu terpilih kembali untuk masa jabatan kedua. Kepada almarhum saya usulkan diadakannya pemetaan kesenian dan tokoh maestro untuk dikaji nafas dan karya-karya mereka.
Kenapa? Karena di situlah terletak puncak-puncak kebudayaan daerah, yang akan menjadi kebudayaan nasional.
Terus terang, saya sering bergesekan pendapat dengan almarhum Fauzi sebelum sakit dan tumbang. Karena dia faham aturan yang pada awalnya digariskan melalui instruksi Mendagri tersebut.
Ahmad Fauzi meninggal bulan April 2015. Penggantinya melalui PAW (Pergantian Antar Waktu) adalah Taufik Hidayat alias Taufik Monyong, tokoh demonstran yang kemudian dekat dng kekuasaan.
Di bawah kepemimpinan Taufik Monyong, persoalan demi persoalan muncul di tubuh DKJT. Sepertinya persoalan tak pernah reda. Satu demi satu, bagai daun yang layu, fungsionarisnya mundur teratur dari kepengurusan.
Bila ada masalah, pengurus-pengurus itu tidak berani menyampaikannya apalagi memprotes kepada Taufiq, karena dihitung secara matematika politik mereka itu tidak mungkin bisa menang. Inilah nuansa tidak sehat yang saya tangkap, telah terjadi di dalam kepengurusan DKJT di bawah kepemimpinan Taufiq Monyong.
Saya tidak akan menilai program yang digulirkan DKJT di bawah Taufik Monyong, termasuk program yang digelar Komite Film DKJT. Di komite film ini saya acapkali diajak oleh ketua komitenya yaitu Zulfikar M.Yunus alias Ujang, sebelum wafat tahun lalu.
Melalui tulisan singkat ini saya mengeluh, beginilah ricuhnya kesenian yang dibalut warna politik praktis. Saat pemilihan Wali Kota Surabaya tahun 2015 silam, Taufik sudah memasukkan calon ke salah satu acara pertemuan DKJT. Sampai Saudara Nasar Batati yang sekarang sebagai ketua OC, saya lihat gibras-gibras. Tetapi tetap saja dia tidak bisa berbuat apa-apa .
Begitu runyamnya botekan DKJT oleh kepentingan warna partai. Jangankan membuat semacam garis besar haluan program,DKJT rebyek melayani kepentingan kekuasaan. Maka kepengurusan mendatang rumuskan , buat aturan untuk menghentikan itu !
Dalam Musda nanti salah satu yang agenda terpenting adalah pemilihan ketua. Lantas kandidat yang bagaimana harusnya yang terpilih? Saya mendengar ada beberapa orang dari dalam DKJT dan dari Dewan Kesenian Kabupaten/Kota.
Menurut saya adalah baik jika di pengurusan nanti ada tokoh daerah berprestasi yang terpilih. Asal dia sebelumnya bisa mempertanggung jawabkan kepengurusan di daerahnya, kalau dia memang sebelumnya duduk ke kepengurusan Dewan Kesenian Kabupaten/Kota. Untuk memegang amanah yang lebih besar dan berat, tantangan juga tidak ringan. Kalau dia tidak mampu, maka dapat dipastikan DKJT ibarat keluar dari mulut buaya masuk ke mulut anjing laut yang lapar. Selamat bermusda. (Semar Suwito)