Jelang Musda DKJT: Kapal Minus Nahkoda
Oleh: M. Faishal Aminuddin
Sekira tahun 2015, ketika saya masih mondar-mandir Indonesia-Jerman, Ketua Lesbumi Jatim yang juga bendahara DKJT (Dewan Kesenian Jawa Timur), Nonot Sukrasmono, mengajak saya untuk bergabung dalam kepengurusan DKJT edisi revisi. Di dalam susunan baru, saya bekerjasama dengan Riadi Ngasiran dalam Departemen Humas dan Kerjasama.
Kepentingan saya cuma satu: berpartisipasi untuk memperluas jaringan luar negeri agar lembaga ini memperoleh manfaat dari proses perjumpaan, pertukaran dan saling belajar dengan lembaga sejenis di negeri asing.
Sejatinya, saya tidaklah terlalu banyak mengenal orang-orang yang duduk dalam kepengurusan, selain beberapa yang sudah menjadi teman lama ketika sama-sama belajar di Unair seperti Indra Tjahjadi dan Mashuri. Waktu itu, kami mempunyai wadah diskusi bernama FS3LP. Selebihnya, saya hanya pernah mendengar kiprahnya sebagai aktivis dan beberapa akademisi.
Sebagai orang baru dalam kotak DKJT, saya hanya bisa mengapresiasi semangat dari Taufik Haidayat atau Taufik Monyong yang memegang posisi sebagai ketua. Dia ingin agar seni budaya Jatim bisa bersuara di pentas yang lebih luas, baik nasional maupun internasional. Cita-cita bagus, sampai saya akhirnya menyadari bahwa infrastruktur dan pola manajerial lembaga ini bermasalah.
Rasanya kurang adil jika menimpakan akar permasalahan pada satu orang. Lembaga seperti DKJT yang mempunyai struktur pertangungan jawab dan mekanisme koordinasi, tentu tergantung pada dua hal: pola kepemimpinan dan derajat kolegialitas dalam pembagian kerja. Jika keduanya tidak berjalan dengan sinkron, sangat berat untuk mencapai tujuan-tujuan umum yang diinginkan.
Dalam pengamatan saya yang terbatas, ketua memegang kendali yang dominan dan kurang memperhatikan langgam penggerak organisasinya. Sosok Taufik, bagaimanapun adalah seorang pekerja keras. Tetapi dia minim visi dan kecakapan organisatoris untuk merangkul dan menghidupkan iklim kolegialitas yang berorientasi pada kerja.
Dalam lembaga seperti DKJT, ketua sebenarnya bukanlah figur sentral. Salah besar jika memposisinya sebagai titik pusaran organisasi. Justru independensi dan suara lantang dari komite-komite yang seharusnya disampaikan untuk mengingatkan arah dan gerak organisasi. Para punggawa yang duduk di dalam komite-komite adalah pekerja seni budaya, dan merekalah pemilik suara yang menentukan tujuan organisasi.
Ketua hanyalah nahkoda yang menjalankan kapal sesuai tujuan yang disepakati bersama. Dalam masa kerja Taufik, DKJT adalah kapal tanpa nahkoda. Inilah yang menyebabkan, Taufik tidak mempunyai pilihan lain selain memaksimalkan DKJT untuk menjalankan agenda-agenda pribadinya. Sekalipun dalam banyak hal bisa saja dianggap bersentuhan dengan jalannya organisasi.
Selama saya agak aktif dalam kepengurusan periode 2016-2017, ada tiga kegiatan yang menarik untuk saya catat.
Pertama, ketika gelaran rapat koordinasi dengan DK-DK se-Jatim dilakukan. Acara tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi penting yang idealnya menjadi plafon utama dalam penyusunan program kerja DKJT. Kendatipun yang terjadi, rancangan program tahunan DKJT diputuskan dalam Raker internal yang kurang mengakomodasi kebutuhan dalam rangka sinergi dengan DK-DK daerah. Ini momen pertama yang saya lihat sebagai kegagalan sinergi. Semua program DKJT pada akhirnya dijalankan sebagai event organizer untuk membelanjakan anggaran publik dari Pemprov yang sudah di slot untuk DKJT.
Kedua, ketika muhibah kebudayaan perdana ke Pusat Seni Budaya Bangkok (BACC) di Thailand. Di tempat ini, delegasi DKJT ditemui langsung oleh direktur BACC dan jajarannya. Saya mencatat banyak hal terkait dengan manajemen organisasi yang ideal dari pusat seni budaya bereputasi tinggi. Pelajaran penting terkait aspek manajerial, menjadikan lembaga yang menitikberatkan pada peranan manajer dan jajarannya sebagai pemberi layanan untuk pekerja seni budaya, dan menyambungkan hasil karyanya agar dinikmati oleh khalayak.
Selain itu ada aspek fasilitasi produksi karya seni dengan memaksimalkan peranan kegiatan seperti workshop yang difasilitasi secara langsung oleh pekerja seni budaya. Lalu, hubungan antara lembaga dengan pemerintah dan swasta.
Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas menyediakan gedung dan menanggung 60 persen pembiayaan operasional tahunan. Selebihnya, direktur dan jajaran manajemennya berhubungan dengan pihak swasta sebagai pemberi sponsor.
Lagi-lagi, hasil dari studi banding dan perluasan jaringan ini tidak pernah dijadikan patokan untuk penataan program yang sistematis di DKJT.
Dalam acara ketiga, kunjungan ke Pusat Seni Kyoto di Jepang. Mereka sudah membuka diri dengan menawarkan program residensial yang bisa menampung pekerja seni budaya di Jatim dalam bidang media art, film, seni teater dan pertunjukan. Mereka menyediakannya secara gratis karena disubsidi oleh pemerintah kota Kyoto.
Di lembaga ini kami juga mencatat banyak hal diantaranya bagaimana mereka menjadi penghubung pekerja seni budaya tradisional yang diberikan slot pementasan secara rutin. Belum lagi lembaga yang pintunya dibuka lebar untuk semua orang yang ingin belajar dan memamerkan hasil karyanya. Semuanya itu tidak bisa diformulasikan untuk ditindaklanjuti dengan baik oleh DKJT.
DKJT pada akhirnya dijalankan secara apa adanya, minim terobosan, dan eksponen pengurusnya menghabiskan energi untuk saling meniadakan peran satu dan lainnya.
Saya mulai tidak aktif lagi karena kesibukan di kampus, kendati masih tetap memberikan komitmen waktu saya untuk hadir dalam rapat-rapat pengurus yang diadakan pada akhir pekan. Konflik demi konflik mulai muncul dari keadaan kombinasi antara kepemimpinan ketua yang dianggap seenaknya sendiri, dengan kegagalan membangun kesadaran kolegial di antara pengurus untuk menjalankan mandat kerja dan kontrol bersama.
Saya melihat mundurnya sekretaris, bendahara, sampai sebagian besar pengurus, hingga diikuti dengan tuntutan forum DK-DK daerah yang sempat mencuat, mempertanyakan eksistensi ketua DKJT.
Saya sempat ikut mempertimbangkan untuk membuat surat pengunduran diri. Tapi bukan disebabkan karena keterlibatan saya dalam konflik, tapi murni karena keterbatasan energi dan waktu saya untuk terus mengabdi dalam kondisi lembaga yang koyak begitu.
Hari ini, 25 Juni 2019, Musyawarah Daerah DKJT mulai digelar. Saya dengar mulai bermunculan nama-nama yang akan memperebutkan posisi sebagai ketua. Belajar dari pengalaman setahun aktif di lembaga ini, saya ingin membagi beberapa kriteria ketua yang kurang lebih dibutuhkan untuk DKJT.
Pertama, dia harus mempunyai profesi. Jabatan ketua hanyalah manajerial yang bisa dijalankan secara kolektif. Bukan figur sakral yang mempunyai nama besar dalam dunia seni budaya.
Justru mereka yang duduk dalam komite-komite lah yang harus menjadi representasi nama-nama besar itu, karena mereka melakukan kegiatan reproduksi seni budaya yang menjadi bisnis inti lembaga semacam DKJT.
Manajer yang mempunyai profesi akan menjauhkan stigma bahwa dia akan menghamburkan anggaran publik yang dikelola DKJT untuk kepentingan pribadi atau menjual DKJT untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Kedua, mempunyai kacakapan membangun organisasi. Serta paham akan siklus dan penggunaan anggaran publik. Meski ini hal yang mudah dipelajari, namun paling tidak, dengan anggaran yang diberikan, sosok ketua bisa mendelegasikan secara proporsional pemanfaatan anggaran tersebut untuk memfasilitasi. Sebab funfsi dan pekerjaan DKJT bukanlah sebagai event organizer.
Lalu terakhir, jika, sosok ketua DKJT dianggap bisa mengakomodasi segenap represnetasi kepentingan daerah, maka DK-DK daerah bisa mengajukan calon dari wilayahnya yang dianggap mempunyai komitmen untuk meluangkan waktu, energi dan pikirannya dalam mengabdi membangun seni budaya Jawa Timur.
* M. Faishal Aminuddin, Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Departemen Humas dan Kerjasama DKJT 2014-2019.