Jelang Musda DKJT: Bangkrutnya Dewan Kesenian
Bukan cuma bank yang bisa bangkrut, karena rush atau mis manajemen. Semua institusi bisa mengalaminya, termasuk Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). Makna bankrut berkaitan dengan tata cara, prosedur dan manajemen yang tidak diterapkan secara benar. Marilah kita lacak fakta yang ada.
DKJT yang sudah demisioner sejak Maret 2019 akan menyelenggarakan pemilihan ketua umum untuk periode yang akan datang. Satu poin ini saja sudah menyalahi prosedur, yakni peralihan masa jabatan yang telah dilanggar.
Pada prosedur yang sudah biasa diterapkan dengan landasan berpikir yang sehat, beberapa bulan sebelum masa periode selesai, DKJT sudah harus membentuk tim kerja atau OC-SC yang akan menangani pemilihan ketua. Dan pemilihan juga diselenggarakan sebelum pengurus habis masa jabatannya.
Pada momentum periode selesai itulah serah terima jabatan disampaikan, sekaligus menyerahkan pertanggungjawaban pengurus periode lama.
Jadi, jika pengurus demisioner DKJT tanpa membentuk tim kerja peralihan, tenggang waktu pemiliihan dengan waktu yang sangat mendesak, maka pertanyaannya, ada apa dengan DKJT? Dan kenapa DKJT begitu lamban, tidak sigap?
Jawabnya gampang, cek manajemen DKJT dalam aspek keuangan dan aspek relasi sosial. Dalam konteks ini DKJT makin kelihatan jelas, apalagi pada tahun yang lalu ada pernyataan dari 20an Dewan Kesedian Daerah-Kota di Jatim yang menyatakan permintaan pertanggungjawaban dan sekaligus penolakan terhadap pengurus periode 2015-2019.
Singkat kata, eksistensi pengurus DKJT sesungguhnya sudah ditolak, dalam konteks ini kepengurusan Taufik Monyong (TM).
Sudah lama saya mendengar banyak suara yang menolak TM bersama faksinya yang selalu bermain sepihak. Pada sisi lainnya, penolakan terhadap TM and his gang bukan hanya karena manajemen yang tidak transparan, tapi juga karena program DKJT yang dianggap tidak bermutu.
Kritik ini terus terdengar sepanjang tahun 2016-2018. Tapi TM bergeming dengan cara kerjanya: DKJT=TM, dan TM yang berkeliling ke berbagai daerah mencari pencitraan. Sayangnya TM lupa bahwa pengurus dewan kesenian di berbagai daerah sangat mengenal Surabaya dan Jawa Timur, yang justru membuat citra TM jadi jeblog.
Kesan itu saya dapatkan dari beberapa pertemuan saya dengan pengurus dewan kesenian di daerah lain, yang menanyakan, apakah sesungguhnya profesi TM?
Nampaknya pertanyaan itu personal. Tapi di balik itu sesungguhnya eksistensi TM bukan cuma di Jatim yg mengalami krisis dan bahkan tidak diakui, juga di luar Jatim.
Fakta ini ingin menyatakan bahwa DKJT telah diidentikan dengan kepentingan pribadi TM, dan di sinilah lobang menganga ke arah kebankrutan yang diakibatkan mis manajemen, ketidak piawaian dalam menyusun program yang berdampak program tidak bermutu, dan menjalar ke dalam rusaknya relasi sosial akibat identifikasi diri sebagai rezim.
Suatu rezim memang harus dibongkar. Kebangkrutan ini harus diatasi oleh kaum seniman dan stake holder kebudayaan. Jika tidak, bukan cuma citra Jatim yang rusak, tapi juga seluruh mekanisme kerja kebudayaan dan sistem manajemen akan kian membusuk. Pohon dan dedaunan yang membusuk bisa menjadi humus bagi tanaman lainnya. Tapi, manajemen yang membusuk akab jadi penyakit menular. (Halim HD)