Jelang Musda DKJT; Antara Kantong Seni dan Institusi Seni
Oleh: Amang Mawardi
Belakangan saya begitu tertarik oleh kantong seni atau iven yang tumbuh dengan gagah di sementara kawasan, seperti Omah Padma di Dusun Semambung, Kecamatan Purwodadi, Pasuruan, yang dikelola oleh novelis Wina Wibowo Bojonegoro; Sanggar Merah Putih di Surabaya yang dipimpin oleh wartawan senior M. Anis yang melahirkan dan mengkontinyukan Pasar Seni Lukis Indonesia; Warung Mbah Cokro milik pemerhati seni Yuyun Zurqon di Prapen, Surabaya, dengan berbagai aktivitas seni; komunitas pecinta budaya Suroboyo yang dikoordinasi oleh Kuncarsono Prasetyo di kawasan Peneleh; atau Wahyu Nugroho di Pasuruan dengan komunitas pelukis Gandheng Renteng, atau juga Rumah Dedikasi Soetanto Soephiadhy di Semolo Waru Elok, Surabaya, yang getol menggelar aktivitas seni budaya- - - dan masih banyak lagi kantong dan iven lainnya.
Mereka bergerak secara mandiri, menjadi minyak dalam api kesenian dan kebudayaan di Tanah Air.
Keberadaan institusi kesenian yang bergandengan tangan dengan pemerintah tidak begitu menarik perhatian saya, setidaknya untuk belakangan ini. Apakah bergandengan tangan selalu berkonotasi negatif? Oh tidak! Tetapi karena dana yang dikelola berasal dari APBD, maka segala kehati-hatian sudah selayaknya dilakukan dengan super ketat. Dari situ lantas timbul hipotesis: tentu saja institusi ini gampang bergerak, lha wong dapat kucuran dana dari pemerintah, sementara yang kantong seni itu dana sebagian besar diperoleh secara jungkir balik dari upaya-upaya lintas lembaga dan perusahaan yang seringkali tidak secara periodik kucuran jatuh. Bahkan banyak yang 100 persen berasal dari kocek pribadi.
Saat menuliskan artikel ini, saya jedah sejenak, mencoba merenung.
Begini duduk soalnya: DKJT (Dewan Kesenian Jawa Timur) adalah institusi yang sejumlah personilnya saya (pernah) kenal cukup dekat, seperti pada awal-awal berdirinya - - - terutama dengan Aribowo, Cak Kadar (alm.), Akhudiat, Setya Yuwana Sudikan, A. Fauzi (alm.).
Belakangan saya juga cukup dekat dengan Taufik Monyong. Kedekatan ini membuahkan: beberapa buku saya setiap terbit selalu dikoleksi oleh DKJT untuk sekian ekslemparnya. Bahkan saat buku saya ke-5 berjudul "Dalam Lintasan Seni" (Henk Publica) yang terbit pada tahun 2015, DKJT menjadi sponsor launching dan bedah bukunya di Ruang Sawunggaling Taman Budaya Jawa Timur. (Suwun Mas Taufik Monyong).
Meski saya cukup dekat dengan para pengelolanya, saya tidak dekat dengan program-programnya. Entah apa sebabnya. Setahu saya hanya ini, DKJT rajin menerbitkan majalah budaya Kidung, juga beberapa buku di bawah masing-masing biro, dan serangkaian diskusi seni budaya. Selain itu saya dengar para pengurusnya rajin sosialisasi ke kabupaten dan kota di Jatim.
Untuk kegiatan lainnya, saya menilai saat menyelenggarkan festival pertunjukan naskah-naskah Akhudiat, acara ini sukses, dihadiri bejibun pecinta teater dari Surabaya dan kota-kota lain di Jatim.
Soal penerbitan buku, saya jumpai kejanggalan, dalam hal ini yang berkaitan di bawah masing-masing biro. Pernah saya baca kovernya yang menunjukkan editor buku tersebut ditangani oleh kepala bironya sendiri yang setahu saya bukan seorang penulis, atau paling tidak pernah jadi wartawan. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah menulis mencantumkan namanya sebagai editor. Ini yang aneh. Apakah berkaitan dengan "project"? Embuh! Tidak tahu lagi kalau ada editor dalam "editor".
Ada kejanggalan lainnya lagi. Suatu saat bersama wartawan senior Toto Sonata kami bertandang ke sekretariat DKJT setelah menemui Pak Katno (kepala Taman Budaya Jawa Timur) untuk urusan marketing buku-buku saya.
Suasana sekretariat sepi mamring. Oleh Mas Office Boy dijelaskan, bahwa hampir semua pengurus DKJT ada tugas ke Kalimantan. Saya membatin: iki opo-opoan rek... lha ngene iki lak podho ambek bedol deso!
Ganjelan saya yang lain, saat pengurus terlibat urusan dukung mendukung politik, terutama saat pilwali Surabaya tiga tahun lalu. Mestinya tidak usah terseret dalam arus seperti itu. Kendati pengurusnya partisan, hendaknya berusaha menahan libido politik untuk tetap berada di kotak netral.
Buat DKJT yang akan segera bermusda, silakan pilih siapa saja untuk menjadi ketua, tapi saya masih lebih tertarik dengan Wina, Anis, Zurqon, Wahyu Nugroho, Kuncar, Soetanto dan... He-he hampir lupa : Mardi Becak! (Amang Mawardi).
Advertisement