Penjahit Kampung “Mati Suri“ Menjelang Lebaran
Menjelang lebaran merupakan saat yang menyenangkan bagi penjahit di kampung kampung. Karena akan kebanjiran order untuk keperluan lebaran. Dari kebaya, baju koko, celana, sampai gamis. Sangking ramainya, banyak order yang terpaksa ditolak, takut tidak bisa selesai pada waktunya.
Hasil yang diperoleh dari menjahit baju jelang lebaran boleh dibilang cukup lumayan. Bisa ditabung untuk biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan yang lain. Sebab itu tidak ada capeknya ngelembur di rumah hingga larut malam, untuk mengejar "deadline".
"Ini saya bercerita kejayaan penjahit tempo dulu. Sekarang boro-boro. Satu bulan ini mesin jahit saya banyak nganggurnya," kata Nikmah seorang penjahit khusus baju perempuan dan anak di pasar Mayestik Kebayoran Jakarta Selatan.
Ia mencontohkan pernah satu hari hanya dapat satu, menambal jaket driver tukang ojek yang robek karena habis jatuh.
Selain Nikmah di pasar milik PD Pasar Jaya ini ada sembilan penjahit. Sebagian besar sudah tutup. Selain sepinya order, juga terkena peraturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah penularan virus corona.
"Saya saja yang nekat buka sambil menunggu netesnya "embun." Di rumah terus suntuk, kalau di pasar kan banyak yang diajak ngobrol berbagi cerita," katanya.
Nikmah mengatakan tidak pilih pilih kerjaan, apa saja yang berkaitan dengan jahit menjahit, akan dikerjakan. Permak baju dinas, jahit sprei korden seragam sekolah akan ditangani.
"Kecuali menjahit bibir lho, saya tidak sanggup," katanya.
Perempuan beranak satu ini meneruskan pekerjaan ibunya yang sudah udzur, dan harus istirahat di rumah. Di kalangan penjahit pasar Mayestik Nikmah cukup dikenal. Sejak di bangku sekolah SMP sering membantu ibunya di toko, meskipun sebatas masang kancing baju dan ngesum.
Setelah lulus SMK tata busana empat tahun lalu, Nikmah sekarang sudah bisa menggantikan pekerjaan ibunya secara penuh.
"Dulu menjelang lebaran seperti sekarang orang yang akan menjahitkan baju itu antre. Ibu saya sampai kewalahan. Sekarang boro-boro," kata penjahit kelahiran Kepanjen Malang ini mengenang masa lalu.
Penggemar lagu lagu religi Nissa Sabyan ini bercerita bahwa meredupnya masa kejayaan penjahit atau tailor di kampung, berawal sejak masuknya perusahaan garmen yang memproduksi berbagai jenis pakaian. Diperparah dengan masuknya pakaian dari China yang harganya lebih murah.
"Di Pasar Tanah Abang ada baju perempuan harganya Rp65.000. Lebih murah dari ongkos jahit," kata
Sehingga orang memilih beli pakaian jadi daripada menjahitkan. "Ini bisa dilihat di mal, sebelum puasa sudah ramai mempromosikan berbagai model baju dengan iming-iming diskon tinggi," kata Nikmah.
Soal perang diskon oleh Kera Ngalam (Arek Malang) dikatakan hanya tipuan, siasat pedagang untuk menarik pembeli. Caranya harga ditinggikan dulu kemudian dicoret diganti bandrol baru yang lebih murah katanya.
"Mati suri" ini juga dialami beberapa tailor khusus pakaian pria. Yang namanya menjahitkan baju atau celana hampir tidak ada lagi. Pertimbanganya pakaian jadi harganya lebih murah. Rp175.000 sudah dapat celana.
"Kalau menjahitkan Rp 175. 000 baru ongkosnya belum bahannya, kata Suganda, seorang penjahit di Pasar Slipi.
Pria brusia 63 tahun tetap menggeluti pekerjaannya sebagai penjahit meskipun hasilnya tidak menjanjikan. Alasannnya, hanya untuk menghabiskan sisa lakon yang harus dimainkan.
Seorang wanita karir, Deni S secara terpisah mengatakan dia lebih suka membeli baju di store karena simple dan banyak pilihan, sehingga puas dan enak di badan. Pertimbangan lain jatuhnya lebih murah.
"Kalau beli bahan terus dibawa ke penjahit ribet. Harus cari contoh dulu. Mekipun sudah diukur, setelah dipakai ternyata menclek, bongkar lagi," kata Deni. Tapi tidak semua penjahit seperti itu, ada yang baik dan bekerja secara profesional, pujinya.