Jelang Debat Cawapres, Kiai Ma’ruf Banyak Baca Buku dan Kitab
Calon Wakil Presiden nomor urut 1, K.H. Ma’ruf Amin, lebih banyak meluangkan waktu untuk membaca buku dan kitab klasik. Di samping membaca, agenda Kyai Ma’ruf juga lebih banyak berdiskusi tentang isu terkini bersama tim. Tak ada agenda menerima tamu atau menghadiri kegiatan di luar daerah, hingga perhelatan debat, pada Minggu, 17 Maret 2019 mendatang.
“Menjelang debat, selain saya mendengarkan informasi dari para pengambil keputusan, pelaksana teknis dan para akademisi, saya juga membaca tulisan (buku dan artikel), komentar (di media). Saya juga memperbanyak baca kitab klasik,” ujarnya.
Menurut Kiai Ma’ruf, dalam kitab juga banyak isu kekinian yang sebetulnya sudah dibahas oleh para ulama klasik. Tinggal bagaimana kita menyesuaikan dengan konteks yang terjadi saat ini, kemudian dikomparasikan dengan teori para sosiolog, antropolog, ekonom, ahli kesehatan dan penelitian mutakhir.
”Dalam kitab juga banyak sumber-sumber yang bisa dijadikan rujukan. Juga paradigma-paradigma, mabadi'-mabadi' yang menurut saya penting untuk jadi landasan berpikir,” papar Kyai Ma'ruf, Rabu, 13 Maret 2019.
Kiai Ma’ruf dikenal mumpuni dalam mengulik teori fiqih dan Ushul fiqh yang kemudian, setelah dibahas bersama ulama lain dan para pengambil kebijakan, jadi landasan hukum dan pokok pikiran dalam sejumlah regulasi yang diundangkan secara resmi oleh DPR dan Pemerintah. Di antaranya, UU Nomor 21 tahun 1998 tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal tahun 2014, tentang Jaminan Produk Halal dan lain-lain.
“(Dalam debat nanti), saya juga akan mengombinasikan pemikiran yang secara konsep, (dengan pelaksanaan) secara teknis dan juga pandangan-pandangan ulama yang sangat filosofis,” imbuhnya.
Pembina Master C19, Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf (Gus Oqi) menambahkan, tradisi mengombinasikan Mabadi' fiqhiyyah, Ushul fiqh dan pemikiran ulama klasik dengan teori kekinian, itulah yang biasa dilakukan para kiai pesantren dalam membahas sebuah persoalan. Di NU tradisi itu dilembagakan dalam Bahtsul Masa'il. Sementara di Muhammadiyah ada Lembaga Tarjih.
"Maka setiap keputusan Bahtsul Masail di NU, selalu menjadi salah satu rujukan pesantren dalam musyawarah atau membahas persoalan yang terkait. Karena dalam Bahtsul Masail itu, para kiai mumpuni berkumpul dan mengkaji berbagai persoalan dengan berlandaskan pada pendapat ulama klasik dan pendapat kekinian para pakar," ujar Gus Oqi. (man)