Jejak Sejarah Tsunami di Museum Tsunami Aceh
Menyebut Provinsi Aceh langsung terlintas dipikiran terkait bencana besar nan hebat Tsunami yang menewaskan ratusan ribu orang pada 26 Desember 2004. Bahkan, bangunan-bangunan di wilayah pesisir pantai di Banda Aceh saat itu rata dengan tanah.
Kini, untuk mengenang sejarah menyedihkan itu berdirilah sebuah Museum Tsunami Aceh yang diresmikan oleh Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, 26 Desember 2009. Letaknya berada di tengah kota di Jalan Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh
Gedungnya tampak unik menyerupai kapal dengan arsitektur yang modern hasil karya Ridwan Kamil. Dengan gedung yang luas dan empat lantai, Museum Tsunami Aceh tak hanya jadi sebagai wisata edukasi saja tapi juga tempat evakuasi jika terjadi bencana serupa. “Di sini bisa menampung sampai 2.000 orang,” terang Damayanti, Staf Museum Tsunami Aceh.
Bikin Merinding
Berdiri sebagai wisata sejarah, tak ada salahnya memanfaatkan waktu luang mengunjungi lokasi ini untuk belajar dan mengenang sejarah kelam tersebut. Untuk masuk, tak butuh mengeluarkan banyak biaya, dengan Rp 3.000 untuk anak-anak dan Rp 5.000 untuk orang dewasa sudah bisa masuk ke gedung yang banyak cerita sejarah.
Memasuki gedung, pengunjung langsung dibuat seakan-akan merasakan sedang berada di tepi pantai dengan debur ombak besar di sebuah lorong gelap dengan aliran air di dinding yang menciprati (terpercik) ke pengunjung.
Pasca keluar dari lorong tersebut, pengunjung akan dibawa masuk ke ruangan yang berisikan gambar-gambar foto terkait awal tsunami, suasana hancurnya Kota Banda Aceh, dan tayangan video tsunami saat itu.
Dari situ pengunjung semakin dibuat merasakan kesedihan karena bencana tersebut di Sumur Doa. Tempat ini merupakan sebuah ruangan berbentuk lingkaran dengan ukiran nama-nama korban tsunami yang melingkar di dinding ruangan dengan penerangan cahaya remang-remang.
Merinding, bulu tangan tiba-tiba menjadi berdiri karena hati ikut merasakan betapa hancurnya perasaan keluarga yang ditinggalkan oleh korban akibat tsunami tersebut.
“Tiap masuk sini saya selalu mau menangis bang karena saya merasakan langsung,” ungkap Hermawan Syahputra, warga Aceh Besar.
Saat kejadian ia ingat betul bersama keluarganya tengah berada di dekat pantai sedang menikmati liburan sembari makan. Setelah itu, gempa pun tiba dengan begitu kencangnya membuat tanah patah.
“Kami langsung lari melihat itu, tiba-tiba datang tsunami saya dan keluarga kena juga tapi selamat,” kenangnya.
Tak berhenti di situ, perjalanan museum ini juga menceritakan tentang gajah yang menjadi hewan mitra kemanusiaan dalam relawan kebencanaan. Dalam proses evakuasi pasca tsunami tersebut, gajah memiliki peran besar sebagai alat transportasi dan untuk membantu mengangkat benda-benda berat.
Paling penting pula, lokasi ini juga menyampaikan informasi detail soal bencana yang terjadi, mulai kekuatan gempa, tinggi gelombang, jumlah korban, hingga bantuan dari pihak luar. Termasuk memamerkan beberapa barang-barang korban seperti Alquran, uang kertas, buku, dan banyak lagi.
Kearifan Lokal Simeulue
Wilayah Sumatera, termasuk Aceh memang menjadi salah satu tempat yang rawan bencana. Dari informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, Geofisika (BMKG) memang wilayah Sumatera dilalui jalur gempa megathrust yang berdampak besar.
Nah, jauh sebelum kejadian tsunami 2004 itu, Aceh ternyata sudah 10 kali mengalami gempa besar. Termasuk gempa dan tsunami di Kepulauan Simeulue berkekuatan 7,6 skala Richter di tahun 1907 silam.
Gempa tersebut meninggalkan trauma mendalam dan menjadi pembelajaran masyarakat Simeulue. Pengalaman tersebut kemudian diabadikan melalui cerita rakyat yang dinamakan Smong. Smong sendiri berarti hempasan gelombang.
“Salah satu pembelajaran yang efektif caranya dinyanyikan kepada anak-anak saat mau tidur,” tutur Damayanti.
Berikut bunyi Pantun Simeulue:
Enggel mon sao surito (Dengarlah suatu kisah)
Inang maso semonan (Pada zaman dahulu kala)
Manoknop sao hampong (Tenggelam suatu desa)
Uwi lah da sasewan (Begitulah diceritakan)
Unen ne alek linon (Gempa yang mengawali)
Fesang bakat ne madi (Disusul gelombang raksasa)
Manoknop sao fano (tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mauwi (secara tiba-tiba)
Anga linonn ne mali (Jika gempanya kuat)
Dek suruik sahuli (Disusul air yang surut)
Mahepa mi hawala (Segeralah cari tempat)
Fano me senga tenggi (Dataran tinggi agar selamat)
Ede Smong kahan ne (Itulah Smong Namanya)
Curian da nenek ta (Sejarah nenek moyang kita)
Mi redeem teher ere (Ingatlah ini semua)
Pesan nafi-nafi da (Pesan dan nasehatnya)
Smong dumek-dumek mo (Smong mandi-mandi mu)
Linon uwak-uwak mo (Gempa ayun-ayunan mu)
Eklaik kedang-kedang mo (Petir gendang-gendang mu)
Kilek suluh-suluh mo (Halilintar suluh-suluh mu)
Hal tersebut kemudian terbukti ketika kejadian tsunami 2004 sangat sedikit korban di kepulauan tersebut. Berbeda dengan masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya yang banyak menjadi korban.
Tsunami Momen Perdamaian GAM dan Indonesia
Di setiap kejadian selalu ada hikmahnya. Bencana ini membuat banyak orang berempati untuk sama-sama membantu percepatan evakuasi bagi korban terdampak.
Namun, lebih dari itu bencana ini justru memberikan hikmah terhadap perdamaian Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Setelah berkali-kali gagal dalam perundingan, kedua belah pihak kembali ke meja perundingan. Wakil Presiden RI kala itu, Jusuf Kalla, pada waktu itu menginisiasi dan mendorong untuk kembali bersedia berunding dan melakukan kompromi sehingga tercapainya kesepakatan damai dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.