Jejak Kopi Kompeni di Desa Taji, Lereng Bromo, Kabupaten Malang
Di bawah langit mendung Dusun Krajan, Desa Taji, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, udara terasa menusuk-nusuk tulang. Dingin dan basah. Tempat tersebut berada di ketinggian 1.300 mdpl. Berada di antara gugusan pegunungan Arjuno, Kawi, dan Bromo.
Di kawasan lereng gunung inilah Belanda menanam kopi endemik dengan jenis Arabica Java sekitar satu abad yang lalu. Mereka membawa sekitar 50.000 bibit kopi dan membagikannya kepada warga sekitar.
“Jadi kebun kopi peninggalan Belanda ini bermula ketika mereka menyerang desa kami. Jadi saat masa kolonial itu mereka membagikan bibit kopi kepada warga untuk ditanam,” ujar petani kopi Desa Taji, Kambang.
Kebun kopi warisan Belanda ini berada di balik bukit yang dikenal oleh warga sebagai Bukit Jeruk. Kebun itu berada di ketinggian 1.600 mdpl. Hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 jam 30 menit.
“Jadi lokasi kebunnya itu sangat jauh dengan luas lahan sekitar lima hektar. Pohonnya itu tumbuh secara sporadis. Sebab jauh. Tidak ada yang merawat,” kata Kambang.
Kebun kopi peninggalan Belanda itu masuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger-Semeru. Kebun kopi yang berada di tengah-tengah hutan rimbun, kicau burung dan tebing-tebing yang curam.
“Jadi pohon kopinya itu sangat besar. Untuk ketinggian saja bisa mencapai tujuh meter,” ujarnya.
Masa panen kopi biasanya masuk pada bulan kelima dan enam. Kambang biasanya memetik biji kopi merah dari kebun peninggalan Belanda tersebut sebanyak dua kali dalam satu tahun.
“Karena jauh, jadi hanya satu hingga dua kali dipetik. Satu pohon kopi itu bisa menghasilkan lima kilogram, ada yang sepuluh kilogram jadi bermacam-macam,” katanya.
Saat ini, kebun kopi peninggalan Belanda di Lembah Taji, Desa Taji, Kabupaten Malang tersebut bakal diajukan sebagai Hak Kekayaan Intelektual atas Indikasi Geografis oleh Universitas Widyagama Malang.
“Karena Desa Taji ini memiliki sejarah kopi yang kuat sejak era Belanda lalu. Saat ini kami sedang melakukan identifikasi geografis di lokasi kebun kopi yang ditanam Belanda,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Purnawan Dwi Negara.
Sementara itu, Penyuluh Pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Malang, Wahyulis Setyaningsih mengatakan bahwa kebun peninggalan Belanda ini bisa menjadi identitas dari komoditas kopi Desa Taji.
“Jadi di kebun itu hamparan pohon kopinya sporadis. Masuk di wilayah taman nasional. Jadi bijinya lebih kecil tapi ada cita rasa yang kuat. Harapannya dengan adanya sejarah seperti ini petani juga sudah mulai budidaya,” katanya.
Kopi Jadi Tanaman Konservasi
Selain dimanfaatkan untuk minuman, tanaman kopi di Desa Taji juga digunakan untuk pelestarian hutan. Pohon kopi masuk dalam kategori tanaman tegakkan dengan akar kuat yang berfungsi untuk mengikat tanah.
Pada tahun lalu kawasan hutan di Bukit Plawangan, Lereng Bromo, Desa Taji mengalami longsor akibat massifnya tanaman semusim seperti sayur-sayuran.
“Dulu di Desa Taji ini memang awalnya banyak yang menanam sayuran, sehingga menyebabkan longsor. Jadi bagi masyarakat yang ingin menyewa lahan di Perhutani diwajibkan menanam kopi,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Resor Pengelolaan Hutan (KRPH) Sukopuro, Agung Purwito mengatakan saat ini sudah ada sebanyak 100 hektar lahan di kawasan hutan Perhutani yang ditanami kopi.
“Jadi para petani kami dorong terus untuk bisa menanam kopi sebagai tanaman tegakkan. Jadi tidak full semuanya kopi. Di sela-sela itu ada sayuran,” katanya.
Total luas lahan hutan produksi yang dikelola oleh RPH Sukopura sebesar 700 hektar dan 100 hektar sudah ditanami kopi dengan jenis Arabica.
Salah satu petani di Desa Taji, Ngaturi mengatakan di lahan seluas lima hektare dia menerapkan pertanian dengan sistem tumpang sari yakni dengan menanam pohon kopi yang diselingi tanaman sayur seperti singkong hingga pohon pisang.
“Karena kopi ini kan panennya itu satu tahun. Jadi untuk bulanannya saya mengandalkan tanaman sayuran,” ujarnya.
Advertisement