Jejak Kaki Gus Dur, Bongkar Keangkuhan Istana
Ini hari bersejarah bagi warga Nahdliyin. Rabu, 30 Oktober 1999. “Jimat” warga NU, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden. Sholawat Badar menggema di dalam Gedung MPR. Di antara yang melantunkan Sholawat Badar itu adalah saya. Karena pada waktu itu, saya ditugasi oleh Jawa Pos meliput moment bersejarah itu.
Gus Dur terpilih menjadi presiden dalam sidang MPR RI yang dipimpin oleh Amien Rais. Gus Dur unggul atas Megawati melalui voting. Gus Dur mendapat suara 373 dan Mega 313 suara. 5 suara abstain.
Lika-liku Gus Dur menjadi presiden, saya relatif memiliki banyak memori. Sebab, sejak Januari 1999 saya ditugaskan ke Jakarta. Dengan tugas inti, mengawal dinamika tokoh-tokoh muslim: Gus Dur, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Syafii Ma’arif, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan juga beberapa intelektual muslim dari kampus. Dinamika ormas Islam (NU-Muhammadiyah) dan partai-partai Islam juga masuk dalam coveran saya.
Sebagai mantan mahasiswa pergerakan, saya benar-benar menikmati tugas itu. Dan Gus Dur menjadi konsen utama saya. Setiap hari saya berkomunikasi dengan orang-orang dekat Gus Dur; Mbak Ratih (belakangan diperistri Muhammad Fajrul Falaakh, almarhum), Mas Munif (menantu Mbah Djalil Mustaqim Tulungagung yang menjadi sekpri) dan juga Sulaiman (anggota Banser yang menjadi pengawal pribadi).
Sebelum akhirnya Gus Dur terpilih menjadi presiden, saya sering Cangkruk di Ciganjur hingga larut malam. Favoritnya di rumah Mas Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang terletak di depan rumah Gus Dur. Gus Ipul sebagai tuan rumah selalu nimbrung. Cak Imin (Muhaimin Iskandar) dan tokoh-tokoh muda lainnya kadang-kadang juga ikut serta.
Ngobrol ngalor-ngidul. Tidak fokus. Tapi, tak jauh-jauh dari dinamika politik. Hubungan Gus Dur-Mega-Taufik Kiemas, manuver Amien Rais dll. Saya sebagai jurnalis yang punya keleluasaan bergaul dengan berbagai poros, sering menyuguhkan temuan-temuan lapangan yang penting. Di detik-detik menjelang sidang MPR saya memetakan dukungan dari partai-partai non PKB.
Alhamdulillah. Akhirnya Gus Dur resmi menjadi presiden RI ke-4.
Setelah resmi menjadi presiden, Gus Dur tinggal di Istana. Saya pun ditugaskan untuk meliput di Istana. Perubahan besar langsung terjadi. Istana yang di zaman Pak Harto terkesan sangat seteril, sangat “angker” dan sangat angkuh, langsung diubah 180 derajat. Gus Dur datang ke Istana dengan membawa serta jati diri yang sesungguhnya. Tidak ada perubahan. Gus Dur yang sederhana. Gus Dur yang akrab dengan siapa saja. Gus Dur yang akrab dengan masyarakat bawah. Gus Dur yang aktivis. Gus Dur yang kiai. Juga Gus Dur yang tidak suka formalitas.
Maka, di hari-hari pertama Gus Dur tinggal di istana, sejumlah kiai NU berdatangan ke istana. Mereka datang ke istana dengan pakaian khasnya, bersarung dan bersandal ria. Di antara kiai itu, juga ada yang membawa serta khadimnya. Santri deso, bersarung dan berbaju koko sederhana. Alas kakinya? Ya.. sandal yang beli di pasar!
Beberapa aktivis juga datang. Penampilan mereka tidak jauh beda dengan para kiai tadi. Sederhana. (Maaf) agak “kumuh”. Pakai baju atau kaos ala kadarnya. Bersandal atau bersepatu kumal. Di punggungnya sering kali bergelantung tas lusuh bekas seminar.
“Istana Rakyat”. Sebutan itu mendadak populer. Publik pun menyambut riang gembira. Namun, tidak dengan mereka yang di dalam istana. Mereka kaget. Shock! Para pegawai istana yang semula melihat serba rapi dan teratur menjadi risih. Gremeng-gremeng di belakang. Apalagi melihat sandal masuk ke istana. Aturan standarnya, orang masuk istana harus bersepatu. Itu pun tidak boleh sepatu kets. Tapi harus pantofel. Syukur-syukur plus mengkilat…(hehehe). Berjas dan berdasi!
Kedatangan saya dan teman-teman meliput di istana, juga membuat shock. Jurnalis lama yang sudah puluhan tahun menjadi “penguasa” istana gerah. Aturan di zaman Pak Harto dan juga diteruskan di era B.J. Habibie, jurnalis yang akan meliput di istana, harus melalui skrining ketat. Harus magang dulu di Kantor Sekneg bertahun-tahun. Tugasnya membantu mentranskrip hasil wawancara wartawan senior yang sudah sah masuk ke dalam istana. Lamanya waktu skrining, tidak pasti. “Sesuai dengan amal ibadah masing-masing” (hehehe..). Yang jelas tidak mungkin sebentar.
Karena begitu rumit dan sulitnya masuk ke istana, maka wartawan yang sudah punya pas istana menjadi sangat istimewa. Sangat elite! Jumlah mereka terbatas. Oleh Pak Harto mereka juga mendapat perlakuan istimewa. Dapat jatah kendaraan (meski tidak semua) dan juga tunjangan. Jika Pak Harto kunjungan ke luar kota atau ke luar negeri mereka juga diikutkan. Anggaran untuk perjalanan dinas mereka juga tersedia. Pokoknya benar-benar mulia!
Ketika Gus Dur masuk istana, semua diubah. Siapa pun yang punya surat resmi sebagai jurnalis dari kantor medianya, boleh menjadi wartawan istana. Kata-kata yang populer dari Mbak Ratih, “Jangankan manusia, gajah pun kalau punya kartu pers dan punya surat tugas dari kantor medianya boleh meliput di istana”.
Ini, kelihatannya sederhana. Tapi serius dampaknya. Beberapa jurnalis menjadi tidak wellcome dengan kedatangan Gus Dur. Mereka agak ngambek! Berita-berita tentang istana, akhirnya sering bias. Miring! Cenderung disalahpahamkan atau bahasa politisnya, sering diplintir!
Pegawai istana pun, diam-diam “memboikot”. Konon, di era Pak Harto pegawai istana mendapat tunjangan “khusus” sebagai pegawai ring satu. Namun, di era Gus Dur mereka disamakan dengan pegawai pada umumnya. Bagi mereka, perubahan ini tentu berdampak serius. Gaya hidup sebagai “pegawai istimewa” terpaksa harus mendadak diubah. Mana tahan…!?
Lagi-lagi, meski kelihatan sederhana, namun juga berdampak serius. Mereka menjadi ogak-ogahan melayani kebutuhan istana. Saya ikut merasakan dampaknya. Jurnalis yang tugasl di istana, dibiarkan terlantar. Galon air meniral yang merupakan fasilitas satu-satunya yang disediakan di ruang wartawan, sering kosong. Tidak diisi. Akhirnya, seringa da yang iseng. Galon kosong itu ditabuh, dimainkan jadi gendang.
Dampak dari “boikot” oleh para pegawai itu, tidak hanya menimpa jurnalis. Tapi, juga menimpa orang-orang dekat Gus Dur yang berada di ring satu. KH Yahya Staquf yang saat itu menjadi juru bicara juga sering terlantar tidak mendapatkan jatah kosumsi. Sehingga, untuk mengganjal perut, dia menyuruh petugas bersih-bersih rumput di istana untuk membelikan nasi goreng di luar istana. Lucu…nasi bungkus, masuk istana.
Yach…ironis, tapi menggelikan! Di dalam istana akhirnya juga ada yang jual popmi (mie gelas). Yang “menyelundupkan” dagangan tukang rumput. Yang menjadi pelanggan setia, para jurnalis yang kelaparan. “Illegal” plus tidak pantas, tapi dibutuhkan. Sebab, untuk keluar-masuk istana, ada sejumlah pemeriksaan yang ketat dan ribet. Lha, kalau hanya sekedar mencari makan, akhirnya banyak yang malas. Apalagi di zaman Gus Dur, dinamika berita begitu cepat. Para jurnalis --terutama jurnalis elektronik dan online-- takut ketinggalan berita.
Persoalan ini, sempat saya komunikasikan ke Mbak Yenny Wahid. Anak kedua Gus Dur yang paling sering mendampingi ayahnya di istana. Namun, ternyata tidak mudah mengurainya. Masalah itu tetap berlangsung hingga Gua Dur dilengserkan dari istana pada 23 JUli 2001. Pelayanan kembali normal setelah Mega menggantikan Gus Dur menjadi presiden. Ruang wartawan dipindah. Setiap hari disiapkan makan minum yang cukup. Roti yang disediakan, ya roti pilihan. Kelas istana!
Gus Dur itu mantan orang LSM. Biasa apa adanya. Tidak terbiasa jaim (jaga image). Hidup merdeka, tanpa dikekang aturan-aturan kaku. Kebiasaan itu, ternyata tidak berubah setelah Gus Dur menjadi presiden.
Orang yang akan bertamu ke istana juga sangat longgar. “Siapa pun boleh ke istana. Setan sekali pun. Jika orang itu melakukan hal-hal yang melanggar hukum, biar polisi yang memprosesnya,” kata Mas Munif merespon usulan saya agar Gus Dur lebih selektif menerima tamu. Soalnya kasus Bulog yang melibatkan Soewondo, menurut saya, juga dipicu oleh masalah ini.
Gus Dur yang ulama dan sangat paham ilmu hakikat, tentu memandang jabatan presiden biasa-biasa saja. Hanya Presiden Rakyat. Tidak ada yang harus dianggap istimewa. Namun, bagi kultur politik pada umumnya, presiden tentu merupakan jabatan yang “maha penting”. Harga “jualnya” mahal. Bisa untuk menyulap segala hal. Apalagi, puluhan tahun Pak Harto mengkondisikannya.
Saya yakin, Gus Dur sangat paham situasi seperti itu. Namum, entah kenapa, beliau tetap membiarkan istana dan jabatan presiden sebagai ranah “profan” yang bisa diakses siapa saja. Imbasnya, beberapa orang memanfaatkan kondisi itu demi mengeruk keuntungan pribadi. Foto dengan Gus Dur, kedekatan dengan Gus Dur bisa diperjualbelikan dengan harga yang sangat mahal.
Kebaikan, berubah menjadi ancaman. Berbagai kasus pun muncul dampak dari kondisi itu. Anehnya, Gus Dur tetap cuek. “Begitu saja kok repot!” (bersambung)
Akhmad Zaini
Mantan jurnalis, kini aktif di IAINU Tuban.