Jejak Dokter dalam Sejarah Berdirinya Kementerian Agama
Awal tahun ini, diperingati sebagai Hari Jadi Kementerian Agama RI ke-78. Departemen Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter Bidang Organisasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencatat jejak para dokter yang pernah terlibat dalam pembentukan Kementerian Agama RI, juga yang pernah mengembangkan departemen tersebut.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, DR Dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT mengatakan, “Dokter dan IDI memiliki peran yang penting dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia; yakni peran di bidang medis, politik, dan sosial. Para dokter dan organisasi profesi dokter ini telah memberikan kontribusi yang besar bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan".
DR Dr Muhammad Isman Jusuf, Sp.N dari Departemen Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter Bidang Organisasi PB IDI mengatakan, tercatat ada empat dokter yang pernah terlibat dalam pembentukan dan pengembangan Kementerian Agama RI, yakni dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dr. Moewardi, dr. Marzoeki Mahdi, dan dr Tarmidzi Taher.
Usulan pembentukan Kementerian Agama pertama kali disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada 11 Juli 1945.
Dalam rapat yang dipimpin oleh dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, Mr. Muhammad Yamin mengusulkan perlu diadakannya kementerian istimewa yang berhubungan dengan agama. Namun usulan tersebut belum direspon oleh para peserta sidang BPUPKI sampai akhirnya lembaga ini bubar pada 7 Agustus 1945. Lantas, digantikan dengan berdirinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Usulan pembentukan kementerian agama kembali dikemukakan pada rapat PPKI. Pada 19 Agustus 1945 dilangsungkan sidang PPKI untuk membicarakan pembentukan Departemen Agama. Usulan tentang Kementerian Agama tidak disepakati oleh anggota PPKI, karena dari 27 Anggota PPKI, 19 anggota menyatakan tidak setuju berdirinya Kementerian Agama secara khusus.
Usulan pembentukan Kementerian Agama kembali muncul pada sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang diselenggarakan pada 25-27 November 1945. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) merupakan Parlemen Indonesia periode 1945-1950.
Dalam Sidang yang dipimpin oleh Ketua KNIP Sutan Sjahrir, utusan Komite Nasional Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas yaitu K.H. Abu Dardiri, K.H.M Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro menyampaikan usulan pembentukan Kementerian Agama.
Melalui juru bicara K.H.M. Saleh Suaidy, utusan KNI Banyumas mengusulkan, "Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disampaikan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri”.
Usulan anggota KNI Banyumas mendapat dukungan dari anggota KNIP khususnya dari partai Masyumi, di antaranya Mohammad Natsir dan M. Kartosudarmo. Termasuk dua orang dokter ikut mendukung yaitu dr. Moewardi dan dr. Marzoeki Mahdi.
Dr Moewardi adalah alumni School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA) tahun 1933, yang kemudian melanjutkan studi ke Geneeskuundige Hogeschool (GH) dan lulus sebagai dokter spesialis Telinga Hidung Tenggorokan (Sp.THT) pada tahun 1939.
Tokoh kelahiran Pati, Jawa Tengah, 30 Januari 1907 ini, tak hanya aktif sebagai dokter. Ia juga aktif dalam bidang pencak silat, gerakan kepanduan, menerbitkan Koran Banteng dan mendirikan Bank Banteng. Dr. Moewardi memegang peranan yang cukup penting dalan persiapan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebagai Ketua Barisan Pelopor cabang Jakarta, ia mempersiapkan pelaksanaan dan pengamanan prosesi pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dilaksanakan di Pegangsaan Timur Jakarta.
Untuk menghargai jasa-jasanya, maka pemerintah menetapkan dr. Moewardi sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 190 Tahun 1964. Namanya juga diabadikan sebagai Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi di Solo, Jawa Tengah melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada 24 Oktober 1988.
Dr Marzoeki Mahdi merupakan lulusan STOVIA tahun 1918. Tokoh kelahiran Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1890 ini dikenal sebagai pelopor gerakan kesehatan jiwa di Indonesia dan pernah memimpin Rumah Sakit Jiwa Bogor. Aktif sebagai Pengurus Besar Vereeniging van Indonesische Geneeskundige (VIG), dan persatuan dokter Indonesia di Jakarta yang menjadi cikal bakal berdirinya Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Selain berkiprah di bidang kesehatan, ia juga aktif dalam pergerakan nasional diantaranya pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo cabang Semarang, Ketua Partai Indonesia Raja (Parindra) Bogor, anggota Pengurus Besar Parindra dan anggota Tyuo Sang In (Badan Penasihat Pemerintah Pusat Bala Tentara Jepang).
Untuk menghargai jasa-jasanya, maka nama dr Marzoeki Mahdi diabadikan menjadi nama RS Jiwa Pusat dr.Marzoeki Mahdi di Bogor Jawa Barat, pada 1 Juli 2002.
Akhirnya secara aklamasi sidang KNIP menerima dan menyetujui usulan pembentukan Kementerian Agama. Pembentukan Kementerian Agama oleh Kabinet Sjahrir II ditetapkan melalui Penetapan Pemerintah No 1 tanggal 3 Januari 1946.
Pengumuman berdirinya Kementerian Agama disiarkan pemerintah melalui siaran Radio Republik Indonesia. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Agama RI pertama. Sehari setelah pembentukan Kementerian Agama, Menteri Agama H.M. Rasjidi menyampaikan pidato yang disiarkan oleh RRI bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya. Akhirnya, setiap tanggal 3 Januari diperingati sebagai Hari Amal Bakti Kementerian Agama.
Seiring berjalannya waktu, Kementerian Agama Republik Indonesia pernah dipimpin oleh 24 orang Menteri Agama, dimana salah seorang diantaranya berlatar belakang dokter yaitu Laksda TNI (Purn) dr. Tarmidzi Taher.
Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya tahun 1964 ini selama hampir tiga dasawarsa meniti karier di TNI AL. Diantaranya menjadi Perwira Kesehatan di KRI Irian, Kepala Dinas Pembinaan Mental TNI-AL. Akhirnya, ia menjadi Kepala Pusat Pembinaan Mental ABRI.
Setelah pensiun dari militer dengan pangkat Laksamana Muda, tokoh kelahiran Padang 7 Oktober 1936 ini diangkat sebagai Sekjen Departemen Agama Indonesia selama lima tahun, sampai akhirnya diberi amanah sebagai Menteri Agama Kabinet Pembangunan VI periode 1993-1998. Selama menjabat Menteri Agama, ia meninggalkan legacy berupa pengembangan Siskohat (Sistem Komputerisasi Haji Terpadu) dan pembentukan Dana Abadi Umat (DAU).
Dr Tarmizi Taher pernah menulis buku Medical Ethics (2003). Dalam bukunya tersebut beliau menjelaskan bahwa perkembangan ilmu kedokteran di dunia modern tidak lagi hanya sebatas kajian medis sesuai ilmu kedokteran konvensional, tetapi sudah harus melibatkan disiplin keilmuan yang lain seperti psikologi, filsafat dan agama.
Saat ini ada tren baru dalam dunia kedokteran yang melibatkan pendekatan non-medis, yaitu mental dan spiritual. Kondisi ini ternyata dimanfaatkan oleh kementerian Agama dengan melakukan transformasi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri. Dari awalnya Institut Agama Islam Negeri menjadi Universitas Islam Negeri.
Konsekuensi dari alih status tersebut mengharuskan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam untuk membuka program studi dan fakultas non keagamaan. Salah satu fakultas yang dibuka adalah Fakultas Kedokteran. Sejumlah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam telah mempunyai Fakultas Kedokteran.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tercatat sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri pertama yang membuka Fakultas Kedokteran, disusul UIN Alauddin Makassar dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Saat ini UIN Wali Songo Semarang dan sejumlah UIN lainnya sedang melakukan persiapan pembukaan Fakultas Kedokteran.
Fakultas kedokteran di lingkungan kementerian Agama diharapkan memiliki kekhususan tersendiri, yang tidak hanya mengajarkan ilmu kedokteran murni, namum membekali para mahasiswanya dengan perspektif keagamaan. Para dokter lulusan Fakultas Kedokteran dari Kementerian agama dalam menjalankan praktik kedokteran tidak hanya sekadar mengikuti tuntutan profesi sesuai ilmu yang dipelajarinya, melainkan didasari oleh visi untuk melayani pasien sebagai ciptaan Tuhan.
Diharapkan para dokter lulusan Fakultas Kedokteran Kementerian Agama dapat meneladani sosok sejumlah dokter sekaligus ulama Indonesia seperti Dr. Med. Ahmad Ramali, Dr. H. Ali Akbar, dr. H. Subki Abdulkadir, dr. H. Kusnadi, Prof. Dr. dr. Dadang Hawari termasuk dr.Moewardi, dr. Marzoeki Mahdi dan dr. Tarmidzi Taher. Semoga!
Selamat Hari Amal Bakti ke-78 Kementerian Agama Republik Indonesia. "Indonesia Hebat Bersama Umat".