Jebolnya Capitol
Oleh: Andi Mallarangeng
Simbol demokrasi Amerika jebol. Bukan karena serbuan pasukan asing, tapi oleh sebagian rakyatnya sendiri. Mereka tidak menerima hasil pilpres yang lalu. Mereka menganggap bahwa integritas pilpres telah dicurangi. Seharusnya Trump yang menang, bukan Biden.
Sebagai champion of democracy, kejadian ini jelas mempermalukan Amerika di muka dunia. Seluruh dunia menontonnya, live. Amerika bagaikan negara Dunia Ketiga yang sedang belajar berdemokrasi. Yang politisinya mau menang dengan menghalalkan segala cara, yang tidak mau menerima kekalahan, lalu ngamuk.
Sejauh ini, satu nyawa sudah melayang. Massa menyerbu ruang sidang utama. Kantor Nancy Pelocy, Speaker of the House diduduki, dan para senator dan anggota Kongres diungsikan.
Kejadian ini memang diarahkan untuk mendesak Senat, yang mayoritasnya dari Partai Republik dan diketuai secara ex-officio oleh Wapres Pence, untuk tidak mengesahkan hasil penghitungan electoral college yang dilakukan bulan Desember yang lalu. Perhitungan electoral college ini dilakukan berdasarkan hasil pilpres di masing-masing negara bagian.
Presiden Trump dengan tim pengacaranya telah mengajukan tuntutan hukum di beberapa negara bagian atas berbagai "kecurangan" yang terjadi. Tapi tuntutan hukum itu ditolak oleh Mahkamah Agung negara bagian dan juga oleh Mahkamah Agung AS. Lalu, Trump kemudian "mengarahkan" pendukungnya untuk melakukan "protes" dan "mendesak" Senat untuk "mengubah" hasil pemilu sehingga dia tetap menjadi Presiden.
Persoalannya adalah, di Amerika, pemilu adalah kewenangan negara bagian, bukan pemerintah pusat. Perhitungan final ada di komisi pemilihan umum negara bagian. Kongres dan Senat hanya memberikan pengesahan atas perhitungan electoral college yang sudah dilakukan sebelumnya. Setelah itu, tanggal 20 Januari nanti, presiden (baru) akan dilantik.
Menarik untuk melihat apakah Presiden Trump akan hadir dalam pelantikan Presiden Biden, yang merupakan tradisi politik AS. Atau juga, apakah dia akan berusaha bertahan di Gedung Putih.
Politik AS memang sedang terbelah, antara konservatif dan liberal. Persoalannya adalah media Amerika pun terbelah mengikuti dua pasar besar ini. Masing-masing kelompok menonton atau membaca media yang sesuai dengan kecenderungan politiknya. Kaum konservatif menonton Fox News, dan kaum liberal menonton CNN. Masing-masing kaum juga mengembangkan sosmednya sendiri-sendiri. Walhasil, masing-masing kaum berada dalam gelembung dengan echo chambernya masing-masing.
Post truth politics memperparah keterbelahan ini, karena masing-masing kaum berpegang pada kebenarannya sendiri. Kebenaran yang nonpartisan menjadi langka. Dan inilah yang digunakan oleh Trump untuk mengobarkan semangat pendukungnya yang konservatif, bahkan memobilisasi mereka.
Tantangan terbesar Presiden Biden nantinya adalah bagaimana menyatukan kembali rakyat Amerika yang terbelah. Bagaimana menjadi Presiden bagi seluruh rakyat AS, dan bukan hanya menjadi Presiden bagi pendukungnya semata. Ironisnya, ini juga tantangan utama bagi para pemimpin Dunia Ketiga.
* Andi Mallarangeng, doktor bidang ilmu politik lulusan Northern Illinois University.