Jebakan Pasal GPS di Jalan
Dilarang membaca GPS (The Global Positioning System) sambil menyetir. Kabar itu menyebar ke mana-mana. Di segala penjuru lini masa.
Banyak yang terkecoh berita itu. Masak jaman sekarang tidak baca GPS? Padahal itu bagian dari perkembangan teknologi yang tak bisa ditolak.
Dengan GPS semua orang dimudahkan. Tahu arah dengan gampang. Bisa merancang tujuan dengan pasti. Menghindari kemungkinan tersesat di jalan.
Masak berkendara di jaman now tak boleh menggunakan GPS? Masak harus tanya secara manual siapa saja yang ditemui di jalan? Atau baca peta buta.
Saya mengenal GPS sebagai alat bantu berkendara sejak tahun 2000-an. Saat itu, semua bus pariwisata di Eropa sudah menggunakannya.
Malah, GPS itu pula yang menjadi alat untuk mengontrol keberadaan busnya. Pemilik tahu posisi bus miliknya ada di mana. Terkontrol dan serba tertata.
Saat itu, sopir bus di sana sudah tidak bisa sembarangan mengubah jalur. Atau mengubah jadwal. Misalnya hari itu jadwalnya di Marseilles Perancis, pindah ke Paris.
Sopir bus pasti tidak akan mau meski ditambah bayarannya oleh pelanggan. Mereka akan ketat mengikui jadwal perjalanan. Kota tujuan dan jadwal waktunya.
"Nanti saya bisa dipecat kalau mengubah jadwal dan tujuan tanpa seijin perusahaan," kata sopir yang pernah membawa saya ke lima negara saat itu.
Waktu itu, Saya yang sudah mwngantongi tiket konser Genesis Reunion di Paris terpaksa harus naik kereta sendiri. Sementara bus rombongan menyusul sehari kemudian sesuai perencanaan.
GPS tak hanya memudahkan pengemudi. Tapi juga para pemilik kendaraan. Mereka bisa mengecek di mana posisi kendaraan yang dia punya. Mengurangi peluang penggelapan. Atau mobil dibawa lari sopirnya.
Polemik GPS ini bermula dari gugatan melalui Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 106 ayat 1 UU LLAJ. Pasal itu menyatakan, orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib membawa kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
Nah, definisi konsentrasi itu yang dianggap pemohon tak jelas. Bisa mulur mungkret penafsirannya. Termasuk soal penggunaan GPS atau aplikasi penunjuk jalan.
Malah, sebelumnya penggunaan GPS sempat dilarang. Ini yang dianggap merugikan. Akhirnya, komunitas Toyota Soluna dan pengemudi transportasi online mengajukan gugatn ke MK, Maret 2018.
Angkutan umum berbasis online sangat bergantung kepada GPS. Sebab, tata kelola dan kerja angkutan online memang bergantung kepada daring. Karena itu, keputusan MK bagi mereka belum memberi kepastian hukum.
Korp Lalu Lintas RI sempat mengeluarkan laragan penggunaan GPS. Mereka hanya membolehkan sopir mengikuti arahan suara GPS. Bukan penunjuk arah karena dikhawatirkan tidak konsentrasi mengemudi.
MK menganggap persoalan ini sangat teknis. Di mata MK penggunaan GPS tidak dapat dilarang sepanjang tidak mengganggu konsentrasi pengemudi selama berlalu lintas.
Nah, larangan Korp Lalu Lintas Polri dan keputusan MK ini tetap menjadikan pasal 106 ayat 1 UU LLAJ ini tetap menjadi pasal karet. Definisi konsentrasi tetap bisa mulur mungkret sesuai penafsiran di lapangan.
Kayaknya, masalah GPS ini masih akan tetap menjadi "jebakan" sewaktu-waktu bagi para pengemudi. Mereka akan tetap bisa dianggap melanggar UU LLAJ setiap saat.
Soalnya bukan itu masalah teknis dan di UU tidak ada larangan menggunakan GPS. Tapi tentang pasal konsentrasi yang bermakna sangat luas. Memperhatikan GPS bisa saja dianggap tidak konsentrasi memperhatikan jalan.
Masih banyak hukum di kita yang memang multitafsir. Atau memberi ruang penafsiran penegak hukum sehingga memungkinkan tak adanya kepastian hukum. Termasuk soal GPS ini.
Padahal, GPS tetap menjadi kebutuhan pengemudi kini dan akan datang. (Arif Afandi)