Jazz Mawa Cara, Ngayogjazz Lebarannya 'Penghuni' Yogja
Tidak gampang membuat event pertunjukan yang bisa berlangsung sukses sampai 12 kali. Ini yang terjadi pada Ngayogjazz. Sabtu, (17/11/2018) agenda tahunan itu digelar di Desa Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul, Yogyakarta.
Tahun ini, pertunjukan yang menggabungkan festival musik jazz dengan pesta rakyat itu kembali berlangsung dengan mengesankan. Diperkirakan 30 ribu penonton memadati desa, 30 menit perjalanan darat, di selatan Kota Yogyakarta.
Para maestro jazz Indonesia ikut memeriahkan acara yang berlangsung mulai jam 10 pagi hingga tengah malam ini. Ada Idang Rasjidi, Syahrani, Tompi, Margie Segers dan Tohpati. Ada grup band dari Spanyol, Perancis, dan Italia. Selain sejumlah grup band lokal yang tidak kalah giras.
Tapi bukan hanya para penyaji maestro jazz itu yang istimewa. Setting pertunjukan yang menyatu dengan suasana dan warga desalah yang membedakan event ini dengan pertunjukan musik pada umumnya. Ini bukan hanya pertunjukan musik, tapi kegiatan yang penuh pesan bermakna.
"Bermusik itu layaknya berkenduri... Bersenang-senang. Melihat acara semalam, saya tertegun bagaimana suasana kerakyatan digerakkan, musik menjadi energi yang menghidupkan kampung-kampung," kata Tompi lewat pesan whatsapp yang dikirim ke ketua panitia Ngayogjazz Djadug Ferianto.
Tompi memang baru kali pertama tampil di festival tahunan ini. Penyanyi jazz papan atas itu baru sekali merasakan aura pertunjukan jazz yang berbeda dengan pertunjukan pada umumnya. Ia pun memerlukan hadir ke Yogya setelah pulang dari lawatannya ke Rusia.
Ia menjadi penyaji terakhir di paanggung utama dari 7 paanggung yang disiapkan panitia. Halaman rumah dan pekarangan warga yang dibersihkan penuh sesak penonton tua dan muda. Kelas sosial penggemar musik jazz dari kalangan menengah atas menyatu dengan penonton lainnya. Termasuk warga desa yang mungkin baru kali itu melihat Tompi dari jarak dekat.
Ngayogjazz merupakan event musik tahunan yang di gelar dari desa ke desa. Setiap tahun dipilih desa yang berbeda sebagai venunya. Pemilihan desa dilakukan melalui riset awal. Mulai dengan melihat potensi masyarakatnya, peta sosiologis warganya, sampai dengan potensi ekonomi yang mungkin digerakkan.
Warga desa yang terpilih tak hanya menjadi penonton dari festival musik jazz. Mereka menjadi bagian aktif dari pertunjukan. Mereka juga ikut menikmati berkah dari hadirnya puluhan ribu penikmat festival jazz yang berdatangan dari berbagai kota di Indonesia.
Hattakawa, salah satu penggagas Ngayogjazz menjelaskan, dari awal event ini disetting sebagai ajang reriungan alias tempat bercengkerama. Pertunjukan jazz adalah instrumen bertemunya semua elemen manusia dari berbagai lapisan dan asal daerah.
"Kami dari awal membayangkan Ngayogjazz seperti lebarannya orang-orang yang kangen dengan Yogyakarta. Mereka bisa melampiaskan kekangenannya, bisa menjadi tempat bertemu antar kawan lama, dan menjadi tempat melepas kepenatan dari rutinitas keseharian," kata Hatta.
Karena itu, panggung pertunjukan disebar ke sejumlah pelosok desa yang menjadi venue. Warung dan tempat-tempat makanan yang disediakan warga juga menyediakan tempat masing-masing komunitas cangkrukan sambil menyaksikan sajian penyaji yang digemarinya.
"Para sponsor yang terlibat pun belakangan menyesuaikan dengan suasana yang terbangun di Ngayogjazz. Mereka menyediakan booth-booth dengan tempat duduk khusus untuk para penonton dari berbagai komunitas," tambah Hatta.
Para musisi yang tampil di Ngayogjazz umumnya keranjingan untuk bisa tampil lagi. Bagi mereka ini bukan sekadar festival yang dibangun sebagai sekadar tontonan. Tapi sebuah peristiwa kesenian yang menggerakkan. Dibikin dengan visi yang jelas dan disiplin yang terjaga.
Sponsor pun tak bisa mendikte panitia. Misalnya, semua panggung bersih dari brand sponsor. Panggung merupakan ruang bebas pesan komersial. Ia murni menjadi tempat para seniman mengekspresikan karya seninya. Menghibur semua yang hadir dengan hati.
Yang istimewa, festival dengan penyaji para maestro musik dan kelompok band dari berbagai negara dan daerah iti disajikan secara gratis. "Sampai sekarang ada orang-orang yang secara personal membantu kita. Mereka sukarela karena event ini memang bermakna sosial," tutur Hatta.
Ngayogjazz yang tahun ini mengambil tema Negara Mawa Tata, Jazz Mawa Cara benar-benar menjadi peristiwa yang ngangenin mereka yang pernah menyaksikan. Menjadi lebaran tahunanya orang yang kangen dengan suasana Yogyakarta.
Pingin merasakan istimewanya Ngayogjazz? Tunggu tahun depan. (arif afandi)