Jayamahe
Oleh: Oki Lukito
Dipilihnya Laksamana Yudo Margono (YM) sebagai Panglima TNI sebetulnya tidak ada yang istimewa. Sebagai negara maritim Indonesia sudah sewajarnya jika pemimpin angkatan perangnya berasal dari matra laut. Ini untuk yang ketiga kalinya Jaladimantri dipercaya menduduki jabatan bergengsi itu. Sebelumnya seperti juga YM, mantan Kasal Laksamana Widodo AS menduduki jabatan Panglima TNI periode 1999-2002 dipercaya Presiden Abdurrahman Wahid, dan Laksamana Agus Suhartono periode 2010-2013 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejumlah persoalan besar saat ini sedang dihadapi Indonesia dan menjadi pekerjaan rumah YM antara lain, soal keamanan dan pengamanan laut dan potensi ekonomi maritime. Pertama, YM diharap mampu memulihkan nama baik Indonesia atas pelecehan China di perairan Natuna Utara. Seperti diketahui provokasi China di perairan Natuna Utara telah merendahkan bangsa Indonesia dengan manuvernya ratusan kapal nelayan China dan intevensi kapal penjaga pantai China di wilayah ZEE Indonesia sejak tahun 1993 dan berlanjut hingga tahun ini. YM dianggap mampu menjalankan misi Green Water Navy yang mampu menahan agresi, melumpuhkan lawan, menjaga stabilitas negara dan mendukung politik luar negeri.
Laut China Selatan (LCS) dan perairan Natuna Utara bukan satu satunya permasalahan yang perlu mendapat prioritas penanganan. Praktek illegal logging, illegal fishing, smuggling, kejahatan transnasional narkoba menggunakan laut dan memanfaatkan lemahnya pengawasan di sejumlah pelabuhan tikus tidak kalah penting. Data terakhir tercatatat sebanyak 3.227 pelabuhan pada tahun 2022 dan sebagian besar membutuhkan perhatian ekstra karena rentan kejahatan trannasional.
Luasnya laut membawa konsekuensi kebutuhan ideal Kapal Perang. Untuk menjaga wilayah laut dapat dihitung dari luas wilayah dibagi dengan kemampuan jelajah kapal. Bila sebuah frigat bisa mengawasi luas 300.000 km, kebutuhan kapal jenis ini adalah hampir 20 unit. Sementara untuk kapal patroli yang masing-masing punya jelajah pengawasan 50.000 km yang dibutuhkan adalah 116 kapal. Padahal, sekarang ini, armada kapal seperti dicatat The Military Balance IISS, jumlahnya belum memadai dan kondisinya diprediksi terbilang uzur dan teknologinya tertinggal.
Kedua, YM diharap mampu menginisiasi keberadaan Alur Laut Kepulauan (ALKI) I,II dan III sebagai potensi ekonomi maritime serta menstimulan keberadaan institusi Dinas Potensi Maritim (Potmar) Angkatan Laut bisa bekerjasama dengan stakeholder lainnya dan Departemen Keuangan menjadi lembaga yang mampu memberikan kontribusi untuk menambah income negara. Sebagai referensi ALKI I Meliputi kawasan Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda. ALKI II meliputi Laut Sulawesi, Selat Makasar, Laut Jawa dan Selat Bali. ALKI III meliputi Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sawu.
Sedangkan Dinas Pembinaan Potensi Maritim TNI AL (Dispotmar) yang dibentuk yahun 1997 merupakan Badan Pelaksana Pusat TNI Angkatan Laut yang berkedudukan langsung dibawah Kasal, menyelenggarakan pembinaan fungsi dan pelaksanaan kegiatan pembinaan potensi nasional maritim yang meliputi pembinaan sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan,
Sebagaimana halnya Selat Malaka dan selat Singapura potensi ekonomi kegiatan pelayaran kapal-kapal asing di ALKI juga belum tergarap secara maksimal. Jasa pemandu kapal-kapal asing di ketiga alur pelayaran tersebut zero economi. Kapal kapal yang lewat di kawasan ini berbagai macam kapal termasuk kapal tangker minyak berukuran besar yang membutuhkan jasa pemandu untuk keselamatan pelayaran dan perlindungan aspek lingkungan.
Sesuai pasal 198 ayat 1 UU No 17/2008 tentang Pelayaran, pemerintah dapat menetapkan perairan tertentu sebagai perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa. Artinya, setiap kapal yang berlayar di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa itu wajib menggunakan jasa pemanduan. Contoh di Selat Malaka tidak kurang dari 90 ribu kapal berbagai ukuran melintas per tahun atau 7.500 kapal per bulannya selama ini tanpa pemanduan.
Posmar TNI AL seyogyanya mampu menghitung dan menginisiasi kapal kapal yang melintas ALKI diberlakukan wajib pandu. Kapal VLCC misalnya, biaya pemanduannya sejak masuk ke wilayah perairan hingga ke luar lagi, dikenakan tarip 65 ribu dolar AS. Bisa dihitung berapa potensinya jika Indonesia bisa menerapkan undang undang pelayaran,
ALKI, Selat Malaka dan Selat Singapura diumpamakan seperti kapal-kapal minyak dari Timur Tengah berlayar ke negara-negara di Asia Pasifik. Ada banyak jasa pelayaran dan kepelabuhanan yang dapat ditawarkan kepada kapal-kapal asing, seperti lego jangkar, pengadaan logistik, dan jasa pemandu.
*Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan, dan Dewan Pakar PWI Jawa Timur