Jawara Menyeduh Kopi Cacat Jadi Seduhan Kopi Enak
MALANG: Ngudek kopi mah gampang. Taruh kopi sesuai selera, bikin air panas lalu tuang seukuran gelas. Bubuhi gula kalau ingin manis, kasih susu kalau suka yang legit, tidak pakai gula kalau pingin kopi yang asyik.
Gampang bukan? Sesederhana itu bukan? Kalau gampang, kalau sederhana, mengapa sekarang banyak rumah kopi, kedai kopi, kafe-kafe yang tumbuh bak jamur kala hujan seringkali terlihat njlimet bikin kopinya.
Pakai ditimbang-timbang, pakai dibau-bau, pakai digiling buang giling buang seperti orang ndak butuh kopi, pakai air dikucur-kucur seperti daerah kurang air dan seterusnya.
Kopi ya kopi. Diapa-apakan kopi ya seperti itu, hitam. Citarasanya juga pahit. Karena kopi harus digoreng dulu agar bisa dinikmati, maka kopi yang semula keras menjadi empuk setelah melalui proses goreng. Karena digoreng maka warnanya menjadi hitam.
Itu dulu. Itu era lama. Itu the power of tradisional. Kopi identik dengan hitam. Kopi juga dekat dengan kepahitan. Lebih-lebih kalau nasib lagi tak bagus, namanya bukan kopi pahit lagi, melainkan berubah menjadi kepahitan hidup.
Bicara soal kopi, kopi yang sudah berbalut dengan tren kekinian, bolehlah kita mendengarkan cerita menarik Sigit Tri Prasetya asal Kota Malang ini. Pria ganteng berkacamata ini adalah brewer profesional yang berhasil memenangi sebuah even kompetisi kopi bergengsi di Jakarta.
Even kopi bergengsi itu tak lain adalah Pasar Kopi Mandiri. Babak penyisihannya saja, kata Sigit, dilakukan di 3 kota Besar. Masing-masing di Jogjakarta, Surabaya, dan Medan. Kota-kota itu menunjukkan perwakilan wilayah, barat, tengah, dan timur. Sedangkan babak finalnya di gelar di Jakarta.
Antusiasme membludak. Saling bersaing untuk menjadi yang nomer satu di ajang lomba "mengaduk" kopi kelas nasional itu. Padahal, secara image, apa sih tukang aduk kopi? Seberapa kerennya?
Kalau tidak keren, tidak bakal ada babak penyisihan segala rupa. Penyisihan sampai 3 wilayah pula: Barat, Tengah, dan Timur. (Tidak ada utara dan wilayah selatan ya.) Ya tidak ada dong, Indonesia hanya mengenal WIB, WITA, dan WIT. Tiga wilayah itu saja, pendaftar yang terferifikasi nyaris mencapai ribuan.
Dari babak penyisihan, jelas Sigit yang berhasil menggondol Juara 3 di even bergengsi itu, dari tiga wilayah tersebut ketemu 79 peserta untuk berlaga di Jakarta. Dari Indonesia timur 27 peserta, 46 dari barat, 27 peserta hasil penyisihan dari wilayah tengah.
Di Jakarta, dari 79 peserta diambil terbaik 27 orang. Semifinal menyisakan 9 orang. Babak final tinggal 3, dan Sigit "Kera Ngalam" ini berada diurutan ketiga. Selamat.
Dijelaskan Sigit Tri Prasetyo, kompetisi yang dilakoninya boleh dibilang berat dan panjang. Belum lagi karena tekanan atmosfir kompetisi. "Tapi semua fair kok. Mulai aturan kompetisi, informasi soal biji kopi yang harus diseduh dan diulik, hingga tingkat penjurian. Semua oke, dan peserta tinggal bagaimana mampu menyeduh kopi yang enak, dan bukan karena nasib baik maka kopi yang diseduh menjadi enak."
Kopi yang harus diulik (bukan diudek lho ya, red), kata Sigit, adalah Kopi Honduras Magdalena Rodriguez. Roastery-nya dari Bandung dan kopi kompetisi itu sengaja dibuat cacat. Dibikin tidak enak. Tapi, dengan kecacatan yang dibuat secara sengaja itu, para brewers harus menguliknya menjadi seduhan enak. Antara lain: harus balance antara aromatik, manis, bodi, kenyamanan saat diminum, dan lain-lain.
Mengudeg kopi dengan cara biasa tentu tidak bisa. Sebab itu perlu teknik, perlu skill, perlu jam terbang, perlu kesabaran, perlu ketenangan, perlu penghayatan, perlu inneraction, dan seterusnya, yang pas untuk menjadikan kopi cacat rasa menjadi kopi yang nyaman dinikmati sekaligus menjadi acuan juri untuk dipilih menjadi seduhan terbaik. Seduhan pemenang untuk sebuah kompetisi menyeduh kopi. widikamidi
Advertisement