Jawa Pos Tanpa Dahlan Iskan
Bisakah Jawa Pos tanpa Dahlan Iskan? Pertanyaan ini yang terbersit begitu mendapat kabar kalau founder dan owner koran terbesar di Indonesia yang terbit dari Surabaya ini akan melego sahamnya ke taipan properti Ciputra.
Memang kabar itu akhirnya tak jadi kenyataan. Mula-mula, Warta Ekonomi yang memviralkan berita tersebut. Itu terjadi hampir bersamaan dengan RUPS LB lanjutan Jawa Pos Group di Jakarta. Saya tidak tahu dari mana sumber kabar tersebut. Sebab, dalam berita itu memang tak disebutkan sumbernya.
Saya pun langsung menshare berita itu ke whatsapp Azrul Ananda, Direktur Utama Jawa Pos Koran (JPK) yang baru saja mundur dan digantikan Hidayat Jati, anak Goenawan Mohamad yang juga pemegang saham Jawa Pos. Ulik --demikian Azrul biasa dipanggil-- adalah anak Dahlan.
"Ulik, iki piye ceritae (bagaimana ceritanya ini?," tanya saya dibawah link berita yang saya share. "Abah (panggilan Dahlan, red) lebih bisa menjelaskan dengan baik, Mas," katanya tanpa beban dan sambil tertawa.
Sebetulnya, saya sudah mendengar slentingan Dahlan akan melepas saham ke pemegang saham lain ini agak lama. Namun, melihat gelagat Dahlan yang tanpa beban setiap ketemu, maka saya pun tak berminat menanyakan.
DAHLAN ANTARA ERIC DAN GM
Dahlan adalah satu dari sedikit wartawan di Indonesia yang sukses menjadi pengusaha media. Memulai karir jurnalistiknya sebagai wartawan Tempo. Ia dipasrahi mengelola Jawa Pos sejak tahun 1982. Koran yang dulunya merupakan surat kabar komunitas Tionghoa itu diambil alih Tempo Group setelah oplahnya tinggal 3 becak.
Bos Tempo Eric Samola melihat bakat bisnis Dahlan lewat sorot matanya. Ia pun mempercayakan pengelolaan Jawa Pos kepada pria asal Magetan Jawa Timur ini. Eric tidak hanya orang yang percaya atas kemampuan Dahlan. Tapi sekaligus menjadi guru bisnisnya. Ia mengasah instink bisnis Dahlan sekaligus membimbingnya hingga Jawa Pos menjadi koran besar.
Ternyata benar. Instink Eric Samola tentang Dahlan tepat. Dengan tangan dinginnya, Dahlan berhasil membangun Jawa Pos yang tadinya hampir mati menjadi koran besar. Bahkan, Jawa Pos sempat tercatat dalam rekor MURI sebagai koran dengan pertumbuhan oplah tercepat di Indonesia. Dahlan pun kemudian dikenal sebagai raja media di negeri ini.
Jika dalam bisnis Eric menjadi orang paling berjasa dalam hidupnya, lain halnya dalam jurnalistik. Orang yang dianggap sebagai guru jurnalistiknya adalah Goenawan Mohammad. Founder dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini dianggap Dahlan sebagai suhu dalam dunia kewartawanan. Tidak hanya saat masih menjadi wartawan Tempo, tapi juga ketika ia membesarkan Jawa Pos.
Secara jurnalistik, Jawa Pos menggunakan gaya jurnalistik Majalah Tempo. Baik dalam hal penulisan maupun dalam kebijakan keredaksian. Jawa Pos di tangan Dahlan bisa disebut sebagai majalah harian. Memberitakan peristiwa dengan banyak angle dan tuntas. Gaya penulisannya bertutur seperti pada umumnya majalah jaman itu. Asyik. Saat itu, menjadi pionir jurnalisme baru koran di Indonesia.
Jadi, dalam perjalanan karir Dahlan, ada dua orang yang paling berjasa: Eric Samola dan Goenawan Mohammad. Eric guru bisnisnya, sedang GM --demikian Goenawan biasa dipanggil-- guru jurnalistiknya. Masing-masing secara pribadi pemegang saham Jawa Pos. Itu di luar kepemilikan saham keduanya di PT Grafiti Pers sebagai pemegang saham korporasi terbesar grup koran yang berkantor pusat di Surabaya ini.
Selain Eric Samola dan Goenawan Mohamad, pemegang saham pribadi Jawa Pos antara lain Haryoko Trisnadi, Fikri Jufri, dan Dahlan Iskan sendiri. Sedangkan Ciputra adalah pemegang saham Jawa Pos secara tidak langsung. Ia adalah salah satu pemegang saham PT Grafiti Pers yang menjadi penerbit Majalah Tempo dan pemegang saham terbesar Jawa Pos.
Dalam perkembangannya, Dahlan tidak hanya jago dalam jurnalistik. Ia telah berkembang menjadi enterpreneur, sebagai pengusaha. Tidak hanya dalam hal media tapi juga bidang lainnya. Kelebihannya dalam membaca peluang bisnis dan instingnya yang kuat dalam melihat bakat anak buahnya, telah menghasilkan para pengusaha baru yang membangun gurita bisnis Jawa Pos di seluruh Indonesia.
Ada sedikit kesamaan antara Eric dan Dahlan dalam hal kepekaan melihat bakat orang. Jika Eric menemukan potensi Dahlan melalui sorot matanya, Dahlan menemukan kader-kader bisnisnya melalui cara menyetir. Di mata dia, cara menyetir seseorang menunjukkan karakter dan sikap. Ada yang cepat tapi sembrono, ada yang suka kenceng dan aman, ada yang lambat atau lelet.
Ia punya gaya kepemimpinan yang mendorong lahirnya pengusaha-pengusaha baru di lingkungan Jawa Pos. Ia pintar memancing kreatifitas anak buahnya, gampang memberi otoritas besar untuk melatih tanggungjawab dan keberanian mengambil keputusan, serta keras dalam hal keuangan. Sikap terakhir ini sering dipersepsikan anak buahnya sebagai pimpinan yang pelit.
Perkembangan Dahlan yang lebih sebagai pengusaha ketimbang jurnalis ini membuat dia sukses sebagai pebisnis. Ia lantas tidak hanya menjadi operator bisnis para pemegang saham Jawa Pos, tapi juga berkembang sebagai pribadi pegusaha yang berhasil menjadikan dia sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Ia bisa menyalip jauh kekayaan pemegang saham Jawa Pos yang menjadi gurunya.
Entah karena kepengusahaan Dahlan atau hal lainnya, ia seakan lebih dekat dengan keluarga Eric ketimbang dengan Goenawan. Sejak Eric meninggal dunia, Dahlan seakan menjadi pembimbing pengganti anak-anaknya. Anak-anak Eric juga melihat Dahlan seperti ayahnya.
Singkatnya, Dahlan lah yang ikut menata karir anak-anak Eric setelah pengusaha asal Manado itu tiada. Anak-anak Eric juga sangat dekat dengan Ulik yang setelah Dahlan tak aktif di Jawa Pos menjadi penerusnya.
Sedangkan, Goenawan tetap dianggap sebagai seorang guru yang sangat dihormati namun tidak begitu dekat hubungan kekeluargaannya. Mungkin selain Goenawan tetap berkutat sebagai jurnalis dan budayawan sampai kini, keluarga dan anak-anaknya tidak ada yang ikut berkiprah di Jawa Pos Grup.
Keluarga Goenawan selama ini berkecimpung di unit usaha lainnya seperti Majalah Femina yang belakangan terancam bangkrut.
DAHLAN ADALAH JAWA POS
Ashadi Siregar, ahli komunikasi UGM yang kini sudah pensiun, punya teori tentang personifikasi media di Indonesia. Dia melhat hampir semua media besar di negeri ini adalah personifikasi dari para foundernya. Kompas merupakan personifikasi Jacob Utama, Tempo dengan Goenawan Muhammad, Media Indonesia dengan Surya Paloh dan Jawa Pos adalah Dahlan Iskan.
Walaupun Jawa Pos telah melakukan regenerasi kepemimpinan lebih dini dibanding grup media lainnya, namun Jawa Pos tetap identik dengan Dahlan. Malah sebagai korporasi, Jawa Pos termasuk yang melakukan regenerasi kepemimpinan dengan cepat. Ia jauh mendahului grup dan pengusaha kenamaan lain yang berkembang bersamaan dengan Jawa Pos seperti Grup Pakuwon dan Maspion.
Proses regenerasi yang cepat itu memunculkan Azrul Ananda sebagai bintang baru di Jawa Pos. Namun, proses tampilnya Ulik --pangilan akrabnya-- bukan tiba-tiba. Ia memulai proses dari bawah. Sebagai wartawan, melahirkan rubrik anak muda bernama Deteksi, Pemimpin Redaksi, dan akhirnya sebagai Dirut Jawa Pos Koran (JPK). Sementara holding Jawa Pos Group tetap dipegang orang lama, yakni Ratna Dewi alias Wenny.
Ulik sebagai generasi baru Jawa Pos menjadi CEO Jawa Pos. Sedangkan Wenny mewakili generasi lama yang masih tersisa dalam kapal induk Jawa Pos tersebut. Wenny adalah ''warisan'' dari pemilik Jawa Pos lama sebelum diambil alih PT Grafiti Pers: The Chung Sen. Perempuan inilah yang ikut Dahlan dalam proses pertumbuhan Jawa Pos kecil menjadi konglomerasi.
Tampilnya Ulik yang lulusan pendidikan di Amerika Serikat memang memberi warna baru Jawa Pos. Ia membawa Jawa Pos ke dalam jurnalisme baru yang lebih memberi ruang pada pembaca muda. Juga membawa pendekatan bisnis media yang lebih berwarna marketing ketimbang editorial. Di tangan penghobi sepeda ini lahir DBL (Deteksi Basket Liga) dan sejumlah kegiatan off print lainnya.
Sementara regenerasi dari keluarga Eric Samola sebagai pemegang saham pribadi terbesar Jawa Pos juga terjadi. Ikut dalam gerbong Ulik antara lain Maesa Samola. Dia juga tidak langsung berada di pucuk pimpinan Jawa Pos. Ia memulai karirnya dari bawah. Kini, selain menjadi salah satu komisaris di Jawa Pos, ia Dirut JTV, jaringan TV lokal yang dikembangkan grup media itu.
Dalam soal manajemen, Dahlan sangat rasional. Ia selalu menekankan sistem meritokrasi. Menempatkan orang sesuai dengan prestasi dan kemampuannya. Bahwa keluarga pemegang saham bisa memiliki karir lebih cepat itu soal lain. Namun, ia tidak terbiasa mengedepankan nepotisme dalam manajemen, tapi lebih kepada pertimbangan prestasi.
Ini juga yang diberlakukan untuk para keluarga pemegang saham utama Jawa Pos Grup. ''Semua harus pernah mengalami proses dari bawah. Harus menunjukkan prestasi mengelola sesuatu. Yang melalui proses tempaan seperti ini pasti akan lebih handal,'' katanya suatu ketika.
Apakah isu pengalihan saham Dahlan di Jawa Pos dan mundurnya Ulik dari CEO Jawa Pos itu terkait dengan kemunculan tiba-tiba generasi pemegang saham lain dalam jajaran puncak grup media ini? Hanya Dahlan yang tahu.
Yang pasti, penghormatan besar Dahlan kepada para guru dan orang yang berjasa seperti Eric Samola dan Goenawan Mohamad memungkinkan ia bersikap lebih baik mundur dari emperium bisnis yang dibangunnya ketimbang harus ''melanggar'' prinsip manajemen yang selama ini diugemi.
Apalagi, Dahlan kini sudah berhasil membangun emperium bisnis baru di luar media dan Jawa Pos Grup yang nilai asetnya jauh lebih besar dari Jawa Pos media. Sebuah bisnis yang dibangun dari kejeliannya melihat peluang dan bisnis bermasa depan seperti listrik, tambak udang, dan lain sebagainya.
Sebagai tokoh media dan pengusaha, Dahlan juga telah menjadi nama yang jauh lebih besar dari Jawa Pos yang dibangunnya. Ia pernah menjadi menteri, bahkan sempat mencuat namanya sebagai salah satu calon Presiden di Indonesia. Ketokohan bisnisnya, jaringan internasionalnya, dan kiprahnya selama ini membuat ia menjadi sosok yang diperhitungkan di mana saja.
Namun, saya yang pernah bekerja selama 14 tahun di media ini tidak bisa membayangkan jika Jawa Pos tanpa Dahlan Iskan.
*) Arif Afandi adalah mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos, JTV, Direktur Eksekutif Jawa Pos Pro Otonomi (JPIP), Dirut JP Book, dan Wakil Walikota Surabaya.
Advertisement