Jatim Usulkan AHWA Dilembagakan di Munas-Konbes NU
Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar mengatakan, ada sejumlah usulan yang hendak disampaikan dalam forum tertinggi kedua setelah Muktamar ini. Yakni, Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama.
"Kami ingin menyampaikan agar konsep Ahlul halli wal aqdi (AHWA) bisa dikembangkan menjadi lembaga. AHWA akan dilembagakan ditentukan secara periodik. Sehingga, AHWA bisa menentukan dan menunjuk Rais, bila Rais Syuriah yang meninggal dunia atau berhalangan.
"Dengan begitu, AHWA bersidang dan langsung menyelesaikan kekosongan kepemimpinan dalam NU. Tidak harus menunggu adanya muktamar luas biasa (MLB) yang akan menghabiskan biaya," tutur Kiai Marzuki Mustamar, Rabu 27 Februari 2019.
"Indonesia tetap menjaga identitasnya. Masyarakat Islam tetap berkembang namun tidak kehilangan identitasnya sebagai manusia Indonesia. Sehingga, antara Keindonesiaan dan Keislaman itu menyatu dalam wujud Islam Nusantara," tutur Kiai Marzuki Mustamar.
Konsep Ahlul halli wal-aqdi (AHWA) telah diberlakukan sejak Mutamar ke-33 NU di Jombang. Konsep ini merupakan Formatur beranggotakan para ulama sepuh, yang dipilih cabang-cabang NU. Para kiai sepuh inilah yang bermusyawarah untuk menentukan figur Rais Am PBNU. Demikian pula berlaku untuk tingkatan PWNU ketika Konferensi Wilayah dan PCNU ketika melakukan Konferensi Cabang (Konfercab).
Pengasuh Pesantren Sabilur Rosyad Gasek Malang ini, mengungkapkan hal itu terkait usulan yang disampaikan utusan PWNU Jatim dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Banjar, Jawa Barat, 27 Februari - 1 Maret 2019.
Selain itu, Kiai Marzuki Mustamar juga menegaskan, NU menyikapi kehidupan kenegaraan kita.
"Indonesia tetap menjaga identitasnya. Masyarakat Islam tetap berkembang namun tidak kehilangan identitasnya sebagai manusia Indonesia. Sehingga, antara Keindonesiaan dan Keislaman itu menyatu dalam wujud Islam Nusantara," tutur Kiai Marzuki Mustamar.
Di Arena Munas
Belasan ribu warga Nahdlatul Ulama mulai memadati lokasi pembukaan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat.
Selain peserta dan tamu dari 34 provinsi, mereka datang dari wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. Jalanan menuju panggung utama padat merayap. Nahdliyin siap menyambut kehadiran Presiden RI Joko Widodo yang dijadwalkan membuka Munas dan Konbes NU, Rabu siang 27 Februari.
Sebelumnya, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Robikin Emhas mengatakan, Munas Alim Ulama dan Konbes NU merupakan amanat konstitusi NU. Forum tertinggi di NU setelah Muktamar ini dalam satu periode kepengurusan (lima tahun) harus diselenggarakan minimal dua kali.
Munas Alim Ulama membahas berbagai hal penting terkait keagamaan dan kebangsaan. Selama ini populer disebut dengan istilah bahtsul masail. Meliputi Bahtsul Masail Waqiiyyah (Aktual), Maudluiyyah (Tematik) dan Qonuniyyah (Perundang-Undangan). Itu domain Munas Alim Ulama.
“Sedangkan Konbes NU membahas berbagai hal strategis terkait dengan internal NU. Satu dan lain hal agar kualitas layanan NU semakin meningkat,” ujar Robikin, Selasa 26 Februari 2019 di Kota Banjar.
Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 mengambil tema Memperkuat Ukhuwah Wathaniyah untuk Kedaulatan Rakyat.
Pemilihan tema ini dilandasi situasi menjelang pelaksanaan pesta demokrasi rakyat yaitu pemilu serentak untuk memilih Presiden/Wakil Presiden serta para wakil rakyat tahun 2019.
Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan bahwa sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, hasil pemilu harus mampu menjunjung, menegakkan, dan mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendi kebijakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Mandat sejati dari kekuasaan adalah kemaslahatan rakyat, kesejahteraan sebesar-besar rakyat Indonesia.
“Karena itu, Pilpres, Pileg, dan Pilkada tidak boleh berhenti sebagai ajang suksesi kekuasaan, tetapi momentum penyegaraan kembali komitmen penegakan kedaulatan rakyat di tengah situasi zaman yang berubah dan bergerak cepat,” jelasnya.
Mengapa? Nahdlatul Ulama didirikan dengan dua mandat besar, yaitu peran dan tanggung jawab keagamaan (mas’ūliyah dīniyah) dan peran dan tanggung jawab kebangsaan (mas’ūliyah wathaniyah).
NU bukan hanya terpanggil untuk mengurus masalah ubudiyah, fikrah dīniyah, atau harakah Islâmiyah, tetapi juga masalah-masalah kebangsaan. Dalam kapasitas yang dimungkinkan, NU selalu berupaya membantu program-program Pemerintah yang mendukung kesejahteraan rakyat.
“NU juga memastikan bahwa NKRI adalah kesepakatan final yang tidak boleh dirongrong siapa saja. Karena itu, siapa saja yang mengancam NKRI, berniat menggerogoti dan merobohkan NKRI, akan berhadapan dengan NU,” tandas Robikin. (Red)