Jaran Bodhag, Seni Tradisional yang Tak Dirindukan
Jangankan dibandingkan dengan seni kontemporer atau modern, dibandingkan dengan kesenian tradisional lainnya, Jaran Bodhag termasuk di nomor buncit. Pemkot Probolinggo berusaha mengangkat Jaran Bodhag melalui festival.
Festival sebagai pembuka ajang Seminggu di Kota Probolinggo (Semipro) 2019 itu digelar di Jalan Panglima Sudirman, Kota Probolinggo, Sabtu, 31 Agustus 2019. Pemkot Probolinggo berharap, seni “yang tak dirindukan” itu kembali bisa dikenal luas oleh khalayak Probolinggo.
“Mudah-mudahan warga Kota Probolinggo bangga dengan kesenian tradisionalnya, Jaran Bodhag,” ujar Wali Kota Probolinggo, Hadi Zainal Abdidin saat membuka Festival Jarang Bodhag.
Festival diikuti puluhan penari dari kalangan pelajar dan pegiat seni di Kota Probolinggo. Sejumlah kepala daerah seperti dari Bangkalan, Kota Madiun, hingga Banyuwangi tampak menyaksikan festival yang digelar di depan Makodim 0820 Probolinggo itu.
Istilah ‘Jaran Bodhag’ berasal dari kata ‘jaran’ (kuda) dan ‘bodhag’ (wadah). Jaran Bodhag di Probolinggo dikenal mulai awal masa kemerdekaan.
Jaran Bodhag sebenarnya merupakan turunan dari kesenian lain yang lebih dulu ada yakni, Jaran Kencak (Kuda Menari). “Hanya saja Jaran Bodhag tidak menggunakan kuda asli tetapi kuda tiruan dari bahan rotan dan kayu yang menyerupai kepala kuda,” ujar Slamet, pegiat Jaran Bodhag.
Kemudian leher kuda itu disambungkan dengan badan kuda tiruan yang tengahnya berlubang. Di dalam lubang itulah kemudian penari (orang) masuk. Sehingga terkesan, sang penari seperti menunggang kuda.
Jaran Bodhag, kata Slamet, lahir dari keinginan masyarakat miskin di sejumlah pedesaan di Probolinggo semasa awal kemerdekaan. Karena tidak mampu memiliki kuda, mereka pun membuat kuda tiruan hingga berwujud Jaran Bodhag.
Dalam Festival Jaran Bodhag, aktivis seni di Kota Probolinggo, Peni Priyono mencoba menyuguhkan Jaran Bodhag tampil lebih berwarna. Selain gerakan tarinya yang dimodifikasi, pakaiannya juga semakin “berwarna”.
Bahkan di akhir pertunjukan di badan Jalan Panglima Sudirnam, para penari Jaran Bodhag “mandi” asap berwarna-warni. Demikian juga musik kenong telok yang biasa dibawakan empat orang (gong, kendang, dan sronen) untuk mengiringi Jaran Bodhag pun diperkaya dengan gamelan komplet.
Penari Jarang Bodhag (janis) yang biasanya dilakukan dua penari tua, diganti remaja yang lebih menawan untuk dipandang. “Biar lebih menarik, janisnya anak-anak remaja. Kan lebih memikat untuk dilihat,” kata Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar), Tutang Aribowo.
“Syukur alhamdulillah, pada 2014 lalu, Jarang Bodhag sudah masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda milik Kota Probolinggo,” kata wali kota. Agar semakin digemari perlu sering digelar festoval Jaran Bodhag.
Advertisement