Jangka Joyoboyo Mentahkan Kecanggihan Google? Begini Uraiannya
Sebentar lalu sangat hits ujaran zaman now. Hits-nya bukan kepalang. Cetar membahana kata artis Syahrini. Sedikit-sedikit bilang: ini zaman now.
Hingga memunculkan sugesti lain, bahwa yang tidak now harus minggir. Yang tidak now berarti old. Yang tidak now berarti jelek. Dan seterusnya. Hingga semua yang berbeda, bisa positif bisa negatif, adalah zaman now.
Mosok begitu sih...
Zaman now, boleh jadi, menemukan bentuknya pada piranti bernama Google. Atau, minimal, zaman now bersanding (baca: merujuk) pada zaman google.
Siapa sih saat ini yang tidak tahu zaman google? Rasanya tak ada. Ibaratnya anak baru lahir ceprot pun rasanya sudah tahu google.
Piranti lunak ini canggihnya bukan main. Kalangan muda gaul bahkan sudah lama menyebutnya sebagai Mbah Dukun Google.
Sekali jari menari di atas keyboard android, sekali klik, piranti nan canggih ini dalam hitungan detik akan menyajikan semuanya. Apa saja, semua yang diinginkan bakal klakon. Mulai yang remeh hingga gurameh.
Apa saja: foto, peta, tulisan, isi dasar laut, dalamnya gunung, tingginya langit, isinya tata surya, hingga kita nanti tua mau mati wajahnya seperti apa. Pokoknya ada semua.
Namun, aslinya, secanggih-canggihnya Google (minima begitu), dia tetap saja kalah dengan produk Indonesia asli bernama Jangka Joyoboyo. Sebuah piranti lunak dari yang paling lunak.
Masa iya sih? Beneran? Tak bohong? Ah jangan ngapusi!
Jawabnya benar. Karena memang benar. Dia aset besar negeri ini sebenarnya. Hanya karena secara fisik tidak bisa dilihat dengan cara ala zaman now, maka dia distempel sebagai zaman old. Seperti Kuno. Sudah lewat. Tidak lagi njamani.
Jangka Joyoboyo ini sesungguhnya potensi amat spesial. Saking spesialnya dia hanya “hidup” dan besar di ranah spiritual. Karena itu dia kerap dilupakan bahkan kian ditinggalkan.
Fenomena Google di abad 21 ini tidak saja membuat orang sejagad gumun. Saking fenomenalnya dia nyaris dipersamakan dengan dunia perdukunan.
Ya, dukun anyar yang satu ini begitu sakti mandraguna. Bisa mengetahui semua hal dalam hitungan kejapan mata. Kegumunan ini terus berlanjut manakala si mbah dukun Google ini juga jujurnya bukan main.
Jika ia tidak tahu, tidak menemukan apa yang dicari oleh pengguna jasanya, seratus persen ia tidak akan memberikan informasi apa-apa. Jelas ini sangat berbeda dengan dengan para dukun pada umumnya. Ketika tidak mengusai masalah, dia akan mencoba mencari celah. Mereka-reka apa yang bisa direka agar tetap dianggap sebagai yang paling sakti madraguna. Agar dapat duit tentunya.
Sebagai jujugan tempat mencari dan bertanya, Google selalu bisa menjawab. Nyaris tak ada yang tak bisa dijawab. Sekecil apapun pertanyaan itu dan sesepele apapun hal-hal yang ditanyakan. Termasuk di dalamnya urusan dunia ramal-meramal. Jadi makin tampak nyata kehebatan dan kesaktian si mbah Google ini.
Namun, bicara soal kesaktian, sejatinya Google tidaklah benar-benar sakti mandraguna seperti yang sudah dikatakan jutaan orang selama ini. Simak saja, ternyata Google hanya mampu meniru, mengutip, memuat sebuah peristiwa yang sudah pernah ada, sudah pernah dilakukan kemudian merangkum semuanya berdasarkan kata kunci. Selebihnya itu dia tak bakal mampu.
Itulah keyakinan Misri, 78 tahun. Lelaki sepuh itu. Lelaki teramat sederhana itu. Lelaki sepuh yang selama ini menjaga situs peninggalan tempat moksa Sri Aji Joyobo di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.
Misri memang tak kenal Google. Apalagi menggunakannya. Dia juga tidak pernah tahu apa kegunaannya. Tapi sehebat apapun fenomena google abad 21 ini tak lebih sebagai fenomena yang sudah lewat.
Lho!
Boleh dikata Google malah jadul. Ketinggalan zaman dalam bahasa Indonesianya. Betapa tidak, jauh-jauh hari sebelum Google mengabarkan kesaktiannya, yang serba tahu itu, lewat perangkat komputer, nun di tahun 1135-1157, jaman seperti Google ini sudah pernah ada. Jaman Joyoboyo namanya.
Kata Misri, jaman ini juga memiliki piranti canggih berkemampuan super, namanya Jangka Joyoboyo. Sebagai sebuah jangka, serba tahunya piranti ini malah jauh di atas kemampuan Google. Dia bukan merangkum peristiwa tetapi malah melintas batas ruang dan waktu. Mampu menjelaskan peristiwa yang akan datang dan belum terjadi. Dia juga sama jujurnya dengan Google, hanya saja Jangka Joyoboyo memakai bahasa simbol yang tidak lumrah.
“Kita ini mestinya jadi orang itu tidak perlu gumunan. Apalagi kalau hanya sekadar melihat zaman. Raja Kediri Sri Aji Joyoboyo dengan kesempurnaan pikirnya malah mampu melihat zaman yang belum terjadi. Fenomena-fenomenanya diurai bahkan tersurat nyata dalam serat yang kemudian terkenal dengan Jangka Joyoboyo itu,” ujar Misri, juru kunci keturunan ketiga di situs moksa Prabu Joyoboyo.
Kalau orang sejagad bisa gumun dengan keampuhan Google, harusnya orang sejagad pula, terutama di nusantara ini, lebih gumun lagi dengan adanya Jangka Joyoboyo. Namun karena situasi jaman, orang lebih demam Google ketimbang Jangka Joyoboyo.
Padahal demam Google hanya akan membuat orang mengetahui dunia, sementara jika deman Jangka Joyoboyo orang akan lebih mendalam memahami dunia karena ada tuntutan harus eling dan waspada dalam melihat dunia itu sendiri. Tapi jangan salah, piranti Jangka Joyoboyo itu juga sudah melukiskan jika keadaan gumunan seperti ini juga bakal terjadi.
Di situs Moksa Sri Aji Joyoboyo yang terawat baik meski tidak ada pendanaan dari APBD Kabupaten Kediri itu Misri juga berkisah, Sri Aji Joyoboyo sejak masih dalam kandungan sudah mempersatukan dua kerajaan yang terpisah oleh sebuah sungai, dan menjadi Kediri.
Sri Joyoboyo adalah buah hati dari kisah Romeo dan Juliet dari Tanah Jawa antara Putra Mahkota Jenggala dan Daha, yakni Raden Panji (Inu Kertapati) dan Dewi Sekartaji.
Semasa Joyoboyo menjadi Raja Kediri, wilayah kekuasaan dan pengaruhnya meliputi separuh nusantara. Pada masa itu juga kebudayaan Jawa mencapai puncaknya di bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan seni. Kitab-kitab dari Mahabarata dan Ramayana diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno.
Sri Aji Joyoboyo itu selain seorang nujum yang masyur juga sebagai Prabu titisan Bathara Wishnu yang dipercaya akan menitis selama tiga kali. Sebagai nujum, Sri Aji Joyoboyo kemudian menujumkan berbagai kejadian yang akan datang yang ditulis dalam bentuk tembang-tembang Jawa. Terdiri atas 21 pupuh berirama Asmaradana, 29 pupuh berirama Sinom, dan 8 pupuh berirama Dhandanggulo. Kitab tersebut kemudian dikenal dengan nama Kitab Musarar.
Nujum Sri Joyoboyo itu dibagi dalam 3 zaman yang masing-masing berlangsung selama 700 tahun. Yaitu, jaman permulaan (kali-swara), jaman pertengahan (kali-yoga) dan jaman akhir (kali-sangara). Dari sekian yang menarik pada nujum Joyoboyo adalah adanya jaman akhir (Kali-sangara). Itu akan terjadi dari tahun 1401 sampai dengan tahun 2100.
Ramalan Sri Joyoboyo dalam periode akhir tersebut menjadi akurat setelah dicocokan dengan catatan sejarah Indonesia pada periode tersebut. Simak saja bangkit dan runtuhnya kerajaan-kerajaan Jawa di Indonesia, naik-turunnya para raja-raja dan ratu-ratunya atau pemimpinnya yang terbagi dalam tiap seratus tahun sejarah. Yaitu Kala-jangga (1401-1500 Masehi), Kala-sakti (1501-1600 M), Kala-jaya (1601-1700 M), Kala-bendu (1701-1800 M), Kala-suba (1801-1900 M), Kala-sumbaga (1901-2000), dan Kala-surasa (2001-2100 M).
Salah satu contoh nyatanya adalah naiknya Presiden Soekarno sebagai pemimpin dan pendiri Republik Indonesia. Kisah Soekarno ini masuk dalam periode Kala-sumbaga (1901-2000). Akurasi yang lain, Soekarno digambarkan sebagai seorang raja yang memakai kopiah warna hitam (kethu bengi) yang sudah tidak memiliki ayah dan bergelar serba mulia.
Raja kebal terhadap berbagai senjata namun memiliki kelemahan mudah dirayu wanita cantik. Tidak berdaya terhadap anak-anak kecil yang mengelilingi rumah (Bahwa: peristiwa mundurnya Soekarno karena demo para pelajar dan mahasiswa).
Sang Raja sering mengumpat orang asing dengan lambang untuk menunjukkan bahwa dia anti imperialisme. Bunyi ramalannya: Ratu digdaya ora tedhas tapak paluning pandhe sisaning gurinda, nanging apese mungsuh setan thuyul ambergandhus, bocah cilik-cilik pating pendhelik ngrubungi omah surak-surak kaya nggugah pitik ratu atine cilik angundamana bala seberang sing doyan asu.
“Contoh yang lain sangat banyak. Tapi orang yang awam hanya akan mampu melihat kejadian ketika semua sudah terjadi. Namun orang-orang waskita yang yang jumlahnya tak banyak di negeri ini pasti akan mampu melihat seperti yang dinujumkan Sri Aji Joyoboyo,” kata Misri.
Karena isyarat-isyarat yang akurat itu, maka situs moksanya Sri Aji Joyoboyo ini masih terawat dan cukup banyak dikunjungi orang dari berbagi belahan nusantara. Utamanya pada malam-malam Selasa Kliwon dan Jumat Legi pada penanggalan Jawa. Atau pas bulan 1 Suro, tempat ini pasti menjadi lautan manusia.
Satu hal yang bisa dicatat, dari sekian banyak yang mengujungi situs ini hanya orang-orang tradisi dan masih mencintai tradisi saja yang masih setia mengangumi karyanya. “Yang lainnya hanya ikut-ikutan karena terbawa informasi mistis yang sesungguhnya menyesatkan,” pungkas Misri. Lantas bagaimana Google? Zaman now? “Ah dia lebih menang karena zaman!” kata Misri. (widi kamidi)