Jangan Sibuk Jadi Muadzin, NU dan Tafsir Politik
Nahdlatul Ulama (NU) telah memasuki abad kedua. Tonggak sejarah yang telah ditorehkan di abad pertama, menunjukkan komitmen NU membawa panji Islam yang rahmatan lil alamin. Islam moderat, sebagai representasi kekuatan Islam di Indonesia.
Ada banyak harapan dan pandangan terkait NU ke depan. Di antaranya, disampaikan Prof Nadirsyah Hosen, seorang guru besar di Universitas Australia. Berikut pandangannya:
Jangan sampai NU sibuk menjadi muadzin —memanggil orang untuk menjaga NKRI, tapi NU hanya selalu menjadi makmum —ikut agenda pihak lain, asal kebagian sarungnya saja kita sudah merasa cukup.
Tafsir khittah NU 1926, khususnya soal relasi NU dan politik, telah bergeser. Dan pergeseran ini menimbulkan gesekan.
Kalau dulu tafsir-nya itu PBNU menganakemaskan PKB sebagai anak kandung yang lahir dari rahim PBNU, maka tafsir saat ini adalah PBNU merangkul semua Parpol. Saya pernah jelaskan juga di podcast Akbar Faizal Uncensored (AFU) rasionalisasi tafsir ini bahwa politik NU adalah politik kebangsaan/keumatan bukan kekuasaan.
Tafsir itu tentu dinamis. Mungkin periode berikutnya, sesuai konteks yang berbeda, tafsir aplikasi khittah akan berbeda lagi.
Jadi, betul bahwa warga NU tidak haram memilih parpol manapun karena urusan siyasah ini memang bukan perkara halal-haram. Kalau PBNU periode sekarang dengan tafsirnya mau merangkul semua Parpol, ya oke saja. Tapi jangan berhenti di sini. Apa agenda kebangsaan dan keumatan yang hendak PBNU titipkan kepada parpol untuk diperjuangkan?
Saya bayangkan semua kader NU di semua parpol dipanggil secara rutin oleh PBNU dan diminta secara sungguh-sungguh, apapun parpolnya, untuk memperjuangkan kemaslahatan Nahdliyin. Ingat, jika Nahdliyin yang mayoritas ini sejahtera maka otomatis bangsa ini sejahtera.
Musuh kita bersama adalah ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan. Ini harus jelas -jelas diperjuangkan oleh semua kader NU di semua parpol.
PBNU jangan membiarkan warga NU jadi rebutan semua parpol tapi tidak ada agenda ke-NU-an dan kebangsaan yang dititipkan untuk diperjuangkan. Jangan sampai tafsir khittah di atas hanya menguntungkan pihak lain, tapi menggembosi warga NU sendiri. Ini yang perlu kita jaga dan ingatkan.
Jangan sampai kelak mereka berkuasa, tapi warga NU terus terpinggirkan di dalam kubangan ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan. Kalau ini yang terjadi maka tafsir aplikasi khittah di atas tidak lagi tasamuh, tawazun, tawasuth & i’tidal.
Dengan kata lain, jangan sampai NU sibuk menjadi muadzin —memanggil orang untuk menjaga NKRI, tapi NU hanya selalu menjadi makmum —ikut agenda pihak lain, asal kebagian sarungnya saja kita sudah merasa cukup😄
Bisa-bisa NU sebagai rumah kita masih ada, tapi perabotan rumahnya sudah habis diambil pihak lain.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Advertisement