Jangan Putus Asa, Guru Sufi: Terkabulkan Doa pada Saat Tepat
Ibnu Athaillah al-Sakandari :
لَا يَكُنْ تَأَخُّرُ أَمَدُ الْعَطَاءِ مَعَ الْاِلْحَاحِ فِى الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَأْسِكَ فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ الْاِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لَا فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَفِى اْلوَقْتِ الَّذِى يُرِيْدُ لَا فِى اْلوَقْتِ الَّذِى تُرِيْدُ
“Tertundanya pemberian Tuhan sesudah engkau mengulang-ulang permintaan kepada-Nya, hendaklah tidak membuatmu putus asa. Dia menjamin pemenuhan permintaanmu sesuai dengan apa yang Dia pilih bukan yang kamu pilih, dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada saat yang kamu kehendaki”.
IBADAH
Manakala masyarakat beragama ditanya mengenai tujuan hidup, mereka akan menjawab : ibadah kepada Allah. Dalilnya antara lain :
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Lalu apakah makna atau bentuk ibadah itu?. Apakah ia hanya praktik ritual-ritual seperti shalat, puasa, haji, membaca al Qur'an, membaca shalawat dan sejenisnya?.
Bagaimana dengan aktifitas sosial dan kemanusiaan?. Apakah juga bisa disebut ibadah?.
Sa’di Syirazi, sufi-penyair besar dari Persia, menyampaikan pandangan yang sangat menarik dalam puisinya yang indah :
أَىْ / بَنُوا آدَمَ جِسْمٌ وَاحِدٌ اِلَى عُنْصُرٍ واحِدٍ عَائِدُ
إِذَا مَسَّ عُضْواً أَلِيمُ السَّقَامِ فسَائِرُ أَعْضَآءِهِ لاَ تَنَامُ
إِذَا أَنْتَ لِلنَّاسِ لَمْ تَأَلَّمْ فَكَيْفَ تَسَمَّيْتَ بِالْآدَمِى
O, Ya
Anak-anak Adam adalah satu
Kepada keasalan yang Satu ia (datang) dan kembali
Bila lara menyentuh satu tubuh
Tubuh-tubuh yang lain berget terjaga-jaga
Bila kau tak merasa lara
Bagaimana mungkin menyebut diri anak Adam
Lalu ia mengatakan :
لَيْسَتِ الْعِبَادَةُ سِوَى خِدْمَةِ النَّاسِ
لَيْسَتْ بِالتَّسْبِيحِ وَالسَّجَادَةِ وَارْتِدَآءِ الدَّلِق
أَبْقَ أَنْتَ عَلَى عَرْشِ سُلْطَانَتِكَ
بِأَخْلَاقٍ طاهِرَةٍ وَكُنْ دَرْوِيشاً
Pengabdian kepada Tuhan
Adalah pelayanan kepada manusia
Bukan hanya dan semata memutar biji tasbih
Menggelar sajadah dan menyandang kain sorban di pundak
Duduklah kau di atas singgasana kekuasaan
Dengan etika yang bersih
Jadilah kau seorang Darwisy
Di bawah pandangan ruh kemanusiaan (al-Ruh al-Insaniyyah) itu Sa’di lalu menatap para bijakbestari (al-Arifin), sambil mengatakan :
أَنَّ الْعَارِفَ اَوْ الصُّوفِى هُوَ الَّذِى يَخْدُمُ النَّاسَ, لاَ الَّذِى يَخْتَار الْعُزْلَةَ وَالْاِعْتِكَافَ. وَاَنَّهُ لَا بُدَّ لَهُ اَنْ يَتَزَوَّدَ بِالْعِلْمِ. وَيَطْلُبُ مِنْ كُلِّ النَّاسِ حَتَّى الْحُكَّامِ اَنْ يَتَخَلَّقُوا بِأَخْلاَقِ الدَّرْوِيشِ.
“Seorang bijakbestari adalah dia yang mengabdi kepada dunia manusia, bukan yang memilih menepi dalam sepi dan berdiam diri di atas sajadah. Untuk pengabdian itu dia harus berbekal ilmu pengetahuan. Dia meminta semua manusia dan para pejabat negara, agar mengenakan etika Darwisy.
Demikian catatan KH Husein Muhammad. Semoga bermanfaat. (14.10.22/HM)