Mampir Ngopi di Tanah Rencong, Bukan Main Spesialnya
Minum kopi bagian dari budaya yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.
Kalau Anda berkunjung ke Banda Aceh, tentu akan menjumpai kedai kopi di kanan-kiri jalan-jalan utama di Banda Aceh. Tak pernah sepi pengunjung.
Masing-masing kedai kopi menyuguhkan suasana dan kopi racikan andalan masing-masing.
Kopi yang ditawarkan mulai dari kopi hitam hingga kopi sanger.
Apa itu kopi sanger? Tak lain adalah kopi susu. Kopi dicampur dengan krimer kental manis. Ada juga menu seperti espresso, kopi luwak, kopi telur.
Ada menu yang ditawarkan sesuai jenis biji kopi dan pemrosesannya seperti gayo, peaberry kopi jantan, manis ala honey, kopi proses natural dan sebagainya.
Uniknya, kebanyakan kedai kopi itu menyuguhkan kedai dengan proses seduh manual, bukan memakai mesin kopi seperti halnya di waralaba kedai kopi internasional.
Yang jelas, harganya sangat bersahabat di kantong, yakni 3 in 1 Coffee memiliki harga kopi Rp 5.000 sampai Rp 25.000 dan Oz Coffee memiliki harga Rp 10.000 sampai Rp 35.000.
Para pelayan biasanya menyuguhkan panganan kecil seperti gorengan hingga roti selai sarikaya sebagai teman minum kopi supaya betah berlama lama di kedainya.
Para pemilik kedai kopi itu paham betul selera kaum milenial. Selain pencahayaan kedainya dibuat remang remang, ada fasilitas wifi dan musik yang mendayu dayu.
"Cukup dengan Rp 25 ribu bisa berselancar di dunia maya sampai tengah msl sambil menyedu kopi," kata pengelola kedai kopi "99" M Rizal kepada ngopibareng.id ketika berkunjung ke Banda Aceh, Sabtu 20 April 2019.
Bila malam menjelang, kedai-kedai kopi itu makin ramai saja. Warga Aceh berkumpul bersama teman dan kerabat sambil ngobrol.
"Orang sini suka nongkrong di kedai kopi, dari dulunya begitu, membahas politik, ekonomi, silaturahminya di situ orang Aceh. Ada tamu ya kita tawarkan kopi," tutur M Rizal.
Ada 2 macam kopi di Aceh, robusta dan arabika, budaya kita dari dulu robusta. Robusta mungkin lebih dulu, arabica dikenal setelah tsunami 2004. Arabica berkualitas tinggi. Dari zaman Belanda orang kita dilarang minum arabika, karena mereka tak punya cukup kuota kopi arabika untuk dibawa ke sana, kita diminta minum robusta. Robusta kan kopi kelas dua. Arabica sulit tumbuh maka diarahkan minum robusta, padahal yang enak arabica," tutur Rizal.
Kopi jenis robusta, menurut Rizal , kebunnya banyak berada di Aceh Tengah. Sedangkan kopi arabica, perkebunannya tersebar luas mulai dari Gayo, Aceh Tengah, Bener Meriah hingga Gayo Lues.
Tentang keunggulan kopi arabika yang berasal dari dataran tinggi Gayo ini dikatakan sudah mendapat pengakuan dunia dengan diterimanya sertifikat Indikasi Geografis (IG) Kopi Arabika Gayo pada tanggal 27 Mei 2010 yang lalu. Sementara dalam even Lelang Spesial Kopi Indonesia yang digelar di Bali pada tanggal 10 Oktober 2010, kopi arabika yang berasal dari dataran tinggi Gayo ini dinyatakan sebagai kopi organic terbaik di dunia berdasarkan cupping score yang dilakukan oleh para ahli tes cup kopi sedunia.
Pola pertanian organic yang terus dipertahankan dalam budidaya kopi arabika Gayo inilah yang kemudian membawa kopi Gayo menjadi kopi termahal di dunia, bahkan jauh di atas harga di pasar lelang kopi dunia di New York.
"Terjadi beragam obrolan di kedainya dari soap politik, pilpres bisnis, gosip, cerita masyarakat sampai teknologi terkini jadi teman minum kopi, selain, tentu pendmping bermalam minggu. Mereka paling lama 3-4 jam, paling cepat 1 jam, kopinya juga nggak segelas, bergelas-gelas," katanya.
Budaya minum kopi di Aceh ini tidak hanya diminati pria, kaum hawa pun menyukai dan ikut nongkrong di kedai kopi, tanpa melanggar aturan, yakni tetap berhijab, sesuai dengan undang undang syariah di Aceh.
"Masing-masing kedai kopi di Aceh punya specialty kopi sendiri-sendiri ya. Dan trennya sekarang lebih menggali kopi Nusantara dengan teknik seduh manual, bukan mesin," tuturnya.
Beberapa pengunjung menuturkan nongkrong di kedai kopi, merupakan hiburan murah meriah dan bersahabat. "Jangan bicara pernah ke Aceh, kalau belum mampir di kedai kopi Aceh," ujar Mariska Syafitri, seorang mahasiswi di smester akhir sebuah perguruan tinggi di Banda Aceh. (asmanu)